Aksi peringatan Hari Perempuan Sedunia—IWD yang digelar pada 8 Maret oleh sejumlah organisasi pergerakan di Indonesia, mendapatkan respons yang keras dari pihak aparat keamanan. Di beberapa daerah, seperti Malang, Makassar, dan Papua mendapatkan tindakan represif dari aparat kepolisian dan ormas reaksioner.

Di Makassar misalnya, saat peserta aksi hendak meninggalkan lokasi aksi, sekelompok ormas yang dikawal oleh polisi mengintimidasi peserta aksi dengan mengatai mereka sebagai kelompok yang anti pancasila dan melanggar norma agama karena dalam aksi itu turut terlibat kelompok LGBT dan mahasiswa Papua. Bukan hanya mengintimidasi, usai aksi itu, dua peserta aksi bahkan diangkut oleh aparat dan sempat ditahan.

Selang dua hari setelah aksi peringatan IWD yang digelar secara nasional oleh jejaring organisasi buruh, mahasiswa, perempuan, petani dan kelompok pro demokrasi lainnya, beredar kabar bahwa Nining Elitos menerima surat panggilan dari Polda Metro Jaya yang dijadwalkan pada 15 Maret 2021.

Dalam surat panggilan itu, Nining Elitos sebagai terlapor diminta menghadap untuk dimintai keterangan—bahasa dalam surat itu menyebut sebagai klarifikasi. Kepolisian menggunakan Pasal 160 dan 169, Pasal 216, dan Pasal 55 KUHP. Selain itu juga Pasal 98 UU No.6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.

Ia dianggap menghasut orang banyak untuk melawan kekuasaan dan mengabaikan protokol kesehatan karena memimpin demo di tengah pandemi covid 19  pada momentum peringatan IWD di Jakarta. Kabarnya, Nining Elitos adalah penanggung jawab aksi itu. Nining adalah ketua Konfederasi KASBI, sebuah organisasi buruh yang memiliki anggota cukup besar yang tersebar di banyak daerah di Indonesia. KASBI dan KPBI serta banyak organisasi rakyat lain di Jabodetabek, tergabung dalam GEBRAK—Gerakan Buruh Bersama Rakyat. Gebrak adalah aliansi yang di dalamnya tergabung organisasi buruh, mahasiswa, petani, perempuan dan NGO.

Sudah sejak lama, bahkan sebelum pandemi covid 19, GEBRAK sudah sering melakukan aksi besar-besaran dan menasional dalam rangka menentang kebijakan pemerintah yang dianggapnya dapat merugikan rakyat, terutama buruh dan petani. UU Omnibus Law Cipta Kerja salah satu di antaranya.

UU Cipta Kerja disahkan oleh DPR di tengah pandemi covid 19 sedang ganas-ganasnya. Ia dianggap sebagai penawar krisis yang ditimbulkan oleh pandemi, dengan jalan mempermudah investasi dan menekan upah buruh. Pada saat hari-hari menjelang disahkannya UU Cipta Kerja, Gebrak dan banyak aliansi gerakan rakyat yang lain di hampir seluruh kota di Indonesia melakukan aksi agar UU itu tidak disahkan. Walau di tengah pandemi, orang-orang tetap berkerumun.

Orang-orang yang terlibat dalam aksi-aksi itu, pun kelompok-kelompok yang mengorganisir aksi, cukup sadar bahwa dengan berkerumun angka penularan covid 19 bakal semakin bertambah. Mereka berusaha meminimalisir penularan dengan tetap menerapkan protokol kesehatan seperti jaga jarak sebisanya dan tetap menggunakan masker. Pemerintah dan DPR tidak pernah mempertimbangkan masukan-masukan mereka, maka jalan terakhir adalah dengan turun ke jalan dengan berbagai risiko yang bukan tanpa disadari.

Belakangan pemerintah sibuk membuat Peraturan Pemerintah (PP), PP itu dimaksudkan untuk mengkongkritkan apa yang diatur dalam UU Cipta Kerja. Kesemua PP yang menjadi aturan turunan dari UU Cipta Kerja itu semacam menjadi karpet untuk melayani investasi.

Pemerintah memang berlebihan dalam melayani investasi. Hak-hak buruh dalam bentuk kepastian kerja,  upah, pesangon dan jaminan sosial, yang selama ini bahkan belum seutuhnya terpenuhi, kini semakin mengkhawatirkan akibat UU Cipta Kerja dan turunan-turunannya itu.  Begitu juga dengan perlindungan terhadap petani dan masyarakat adat, melalui UU Cipta Kerja pemerintah seolah menempatkan mereka di pinggir jurang kehancuran.

UU ini mempermudah perampasan tanah rakyat, mempermudah proses alih fungsi lahan dan hutan menjadi industri perkebunan dan pertambangan. Dan tidak kalah parah, walau pada kenyataannya mengandung racun, pemerintah tidak lagi memasukkan limbah industri tambang batu bara dan kepala sawit dalam kategori limbah yang berbahaya.

Reaksi atas segala kebijakan pemerintah yang bisa membahayakan kehidupan rakyat itulah, berbagai organisasi rakyat memilih melakukan aksi demonstrasi pada 8 Maret 2021. Berisiko memang, tapi niat jahat di balik UU Cipta Kerja jauh lebih berbahaya jika tidak ada perlawanan atasnya.

Pemerintah tidak mau mendengar masukan rakyat jika hanya sekadar berdialog, karena berdialog dengan pemerintah memang tidak pernah bermakna diskusi tapi lebih pada sosialisasi. Tapi ketika rakyat melakukan aksi demonstrasi, aparat keamanan dengan sigap menangkapi mereka dengan berbagai dalih. Dan dalih untuk menangkap Nining Elitos, ia dianggap menghasut di muka umum dan melanggar pasal dalam UU Kekarantinaan Kesehatan.

Ironisnya, UU Kekarantinaan Kesehatan itu justru tidak digunakan oleh pemerintah untuk mengatasi virus, tapi malah menjadi senjata untuk mengkriminalisasi gerakan rakyat.

SUMBER : DAYANALAR.COM

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here