Oleh: Dina Y. Sulaeman
Debat Keempat Pilpres kemarin saya ikuti dengan seksama karena temanya cocok dengan bidang studi saya, Hubungan Internasional. Ada hal yang menarik untuk ditelaah, soal diplomasi dan ‘kepentingan nasional’.
Pertanyaan dari panelis adalah, “…Keberhasilan dalam diplomasi internasional tergantung pada kemampuan negara menawarkan keungguannya kepada negara-negara lain. Keunngulan tersebut bisa dalam bentuk kebudayaan, ekonomi, pertahanan, dan gagasan solutif. …Menurut Bapak apa keunggulan bangsa Indonesia yang akan ditawarkan dalam diplomasi internasional dan bagaimana strategi utk mewujudkannya?
Jawaban Presiden Jokowi, keunggulan kita adalah “Indonesia merupakan negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia.”
Hal ini direspon Capres Prabowo bahwa diplomat asing itu “menghitung kekuatan kita”. Yang dimaksud Prabowo adalah kekuatan militer, karena selanjutnya yang disebutnya adalah ‘berapa kapal selam, pesawat, peluru kendali yang kita punya?’
Dalam tulisan singkat ini, saya hanya ingin menjelaskan bahwa secara paradigmatik, kedua tokoh ini berbeda bagai bumi dan langit.
Diplomasi ala Prabowo (yang memandang bahwa kekuatan militer adalah kunci kemenangan diplomasi) adalah diplomasi old school, alias zadoel (zaman-doeloe), atau kalau ini disampaikan para penstudi HI, berarti rujukannya masih buku Morgenthau yang terbit tahun 1948, Politics Among Nations.
Dalam buku itu, Morgenthau memang masih melihat bahwa diplomasi dilakukan untuk mencegah perang; kalau gagal berdiplomasi, resikonya perang. Ya iyalah, tahun 1948, gitu loh. Zaman itu, aktor [=pelaku, bukan ‘bintang film’] diplomasi memang negara saja. Diplomasi zadoel dilakukan oleh sekelompok elit di balik pintu tertutup (istilahnya: club diplomacy, orang elit saja yang bisa gabung). Di balik pintu tertutup, tentu bisa diduga, negara kaya/kuat akan menekan negara miskin/lemah dengan bujukan atau ancaman. Seperti kata Morgenthau: “diplomasi menggunakan kompromi, bujukan, atau bahkan kadang-kadang ancaman kekerasan untuk mencapai tujuannya.”
Seperti ditulis Andre F Cooper dkk (2013), esensi diplomasi sebenarnya menjalin hubungan di antara aktor-aktor internasional dengan cara-cara damai. Menurut Cooper, di zaman now, ketika dunia semakin mengglobal dan semakin border-less (karena manusia sudah sangat mudah berinteraksi satu sama lain), diplomasi sudah tidak lagi melulu urusan perang & damai, tapi sudah meluas ke isu-isu kesehatan, lingkungan, pembangunan, sains&teknologi, pendidikan, hukum, dan bahkan seni.
Aktor diplomasi juga bukan lagi sebatas negara (state), melainkan juga IGO, NGO, MNC, dan civil society. Diplomasi era ini diistilahkan dengan network diplomacy.
Nah, jawaban yang diberikan Presiden Jokowi menunjukkan paradigma diplomasi zaman now ini. Karena fokusnya bukan perang lagi, pilar utama kekuatan diplomasi di era modern ini adalah manusia, bukan senjata.
Kesadaran bahwa Indonesia bangsa yang besar dengan populasi Muslim terbesar di dunia adalah kekuatan yang dahsyat dalam berdiplomasi. Misalnya, di hadapan Saudi dalam kasus-kasus penyiksaan TKW, para diplomat seharusnya bisa menekan Saudi karena “Kami ini negara Muslim terbesar lho, penyumbang devisa yang paling besar untuk Saudi dalam bisnis haji&umroh. Anda yang rugi kalau hubungan kita rusak, jadi hormati warga kami!”
Atau, bisa menekan negara asing produsen makanan untuk memperhatikan kehalalan produk yang akan mereka jual di Indonesia. “Kalau tidak halal, kami larang masuk!” Tidak perlu kapal selam. Ketakutan kehilangan pasar ratusan juta warga Muslim sudah bisa bikin lawan mengkeret.
Kesadaran bahwa Indonesia adalah bangsa Muslim terbesar, dapat menjadi modal besar bagi para diplomat kita saat berbicara di forum OKI dan membantu Palestina, Rohingya, dan Afghanistan. Kita ini punya “legitimasi moral” untuk melawan Israel yang terus melakukan perampasan tanah & rumah, penahanan, bahkan pembunuhan terhadap warga Palestina; untuk membela warga Muslim Rohingya; untuk menjadi mentor bagi Afghanistan dalam upaya penyelesaian konflik internalnya.
Mungkin ada yang bertanya: ah, ngapain bantu negara orang melulu? Yang harus diutamakan itu kepentingan nasional!
Lho, kata siapa membantu Palestina, Rohingya, dan Afghanistan bukan kepentingan nasional kita?
Kepentingan nasional itu, selain itung-itungan keamanan & ekonomi, juga kepentingan memperjuangkan nilai-nilai yang kita anut di kancah internasional. Amanah UUD kita adalah “ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”.
Dari upaya menjaga perdamaian dunia itu, peluang keuntungan ekonomi pun bisa didapat. Ibaratnya sebuah perusahaan, ngapain sih harus mengeluarkan dana CSR? Tentu agar tercipta image sebagai perusahaan yang peduli rakyat, bukan perusahaan rakus dan egois. Dampaknya, perusahaan itu akan disukai dan diterima baik oleh publik. Dan dana yang keluar pun akan ‘balik modal’ seiring dengan semakin berkembangnya perusahaan tersebut.
Itu pula di antara kepentingan nasional kita dalam berdiplomasi. Secara teori, negara-negara yang kita bantu akan memberi konsesi ekonomi, ketika badai sudah berlalu.
Khusus untuk Palestina, saya sudah pernah jelaskan, selama Rezim Zionis masih menjajah Palestina, dampak negatifnya (secara ekonomi) pun akan terus dirasakan oleh Indonesia. Baca saja tulisan saya soal ini, kepanjangan konflik ditulis ulang.
Demikian sedikit ulasan soal diplomasi. (ANFPP)