oleh : Andi Naja FP Paraga
Secara resmi Pemerintah telah menetapkan kenaikan Upah Minimum Propinsi (UMP)2019 sebesar 8,03 persen dan kenaikan tersebut telah diumumkan oleh masing masing kepala daerah sejak 1 November 2018. Namun demikian ada sejumlah propinsi yang menaikkan UMP lebih dari angka 8,03 persen untuk mengejar nilai Kebutuhan Hidup Layak (KHL), hal ini sesuai dengan isi Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan per 15 Oktober 2018 yang menyebut berdasarkan pasal 63 Peraturan Pemerintah(PP) Nomor: 78 tahun 2015 tentang pengupahan.
Isi Pasal 63 tersebut menegaskan : Bagi daerah yang upah minimumnya (UMP atau UMK) masih dibawah Kebutuhan Hidup Layak wajib menyesuaikan upah minimumnya sama dengan KHL paling lambat pada 2019. Sampai disini sesungguhnya semua sangat jelas bahwa pemerintah daerah berkewajiban menyesuaikan UMP daerahnya dengan menghitung nilai 60 item KHL. Namun tidak semua kepala daerah melakukan hal yang sama misalnya Pemerintah DKI Jakarta yang tetap menggunakan formula penetapan jumlah UMP sesuai besaran yg ditetapkan pemerintah pusat tapi menawarkan subsidi pangan Rp 196.000, naik bus transjakarta gratis dan Kartu Jakarta Pintar (KJP) kepada anak anak pekerja dengan perincian Sekolah Dasar (SD) Rp,250.000,Sekolah Menengah Pertama (SMP) Rp 300.000,Sekolah Menengah Atas (SMA) Rp 420.000 dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Rp 450.000,-
Jadi hitungannya kalau subsidi pangan Rp 196.000,- ditambah KJP ninimal Rp 250.000 sama dengan Rp 446.000,- belum termasuk transjakarta yang gratis. Kalau UMP DKI Jakarta 2019 sebesar Rp3.940.973 ditambah subsidi Rp446.000 maka pendapatan pekerja sebesar Rp 4.386.973 angka yang lebih besar dari yang dituntut Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) yaitu Rp 4.373.820.02,-. Itupun jika memiliki Kartu Pekerja dan menjadi anggota Serikat Pekerja/Serikat Buruh(SP/SB). Lantas bagaimana dengan pekerja yang tidak bergabung dalam SP/SP, tentu kebijakan ini tidak adil dan syarat itu seharusnya dihapuskan karena sebagai warga DKI Jakarta yang pekerja berhak mendapatkan Kartu Pekerja (PK).
Tetapi yang harus diperhatikan dan harus menjadi tuntunan organisasi Serikat Buruh/Serikat Pekerja adalah pengawasan dan penegakan hukum yang serius dari pemerintah daerah dalam hal ini pengawas dari Kantor Dinas Ketenagakerjaan. Masih banyak pekerja di Jakarta belum mendapatkan upah sesuai UMP DKI Jakarta dan Disnaker pun harus mewajibkan kepada perusahaan memiliki struktur dan skala upah guna memastikan upah pekerja. Bahkan Pengurus SP/SB Fokus pada Pasal 45 PP 78/2015 yang mengamanatkan setelah 5(lima) tahun jumlah komponen KHL dan kualitasnya ditinjau ulang dan mendorong agar komponen KHL tersebut ditingkatkan jumlah dan kualitasnya sehingga.
Akhirnya perdebatan tentang pro – kontra PP No.78 tahun 2015 sudah seharusnya diakhiri karena sudah terlalu lama diributkan. Marilah lepaskan ego sektoral masing – masing dan memaksimalkan peran unsur Tripartit demi kesejahteraan Pekerja Indonesia. Jangan sampai ego sektoral yang dikedepankan membuat industri mati,investor takut berinvestasi dan ujung-ujungnya semua gigit jari. (02/11/18)
Andi Naja FP Paraga: Mantan Sekjend SBSI