SBSINews – Kartu Sehat berbasis NIK (KS) memang semacam kartu ajaib yang banyak memberikan solusi pada situasi yang ulit saat seseorang menderita sakit.
Pada awal peluncuran 2017 Jelang Pilkada 2018 dengan tanpa seleksi semua warga dapat menggunakan kartu ini walaupun warga telah mempunyai BPJS (kecuali bpjs- PBI). Serta bisa langsung ke RSUD maupun RS swasta yg bekerja sama tanpa rujukan.
Ibarat asuransi unlimited, tentu saja KS berkonsekuensi memerlukan penyiapan dana yang besar. Jika pemerintah daerah memiliki kemampuan keuangan, tanpa mengorbankan sektor kehidupan masyarakat lainnya, tidak masalah untuk membiayai kesehatan warganya sendiri.
Di samping kemampuan keuangan daerah, tentu saja kesesuaian dengan aturan dari pemerintah pusat juga harus dijadikan pegangan karena kita hidup di NKRI. Pemerintah pusat menghendaki layanan kesehatan di daerah diintegrasikan dengan program JKN yang berlaku secara nasional.
Itulah sebabnya, dalam pembahasan LKPJ 2018, Pansus LKPJ yang diketuai oleh Saudara Daryanto dari partai Golkar mengeluarkan rekomendasi agar KS diintegrasikan dengan program JKN. Memang pada saat itu yang membacakan laporan akhir pansus adalah Saudara Choiruman dari PKS atas permintaan pimpinan Sidang Paripurna saat itu.
Adalah sebuah kesalahan saat kisruh kartu sehat semua kesalahan dialamatkan kepada ketua DPRD dari PKS. Sebagai orang yang pernah membidani lahirnya Kartu Bekasi Sehat (KBS) sebelum lahirnya KS, tentu saja tidak logis kalau PKS menolak pemberlakuan KS, JUSTRU dulu saya yang menginisiasi lahirnya KBS. Hanya saja, secara normatif tetap harus sejalan dengan berbagai aturan perundangan yang ada. Itulah yang diinginkan oleh PKS.
Di sisi lain, menjadi semakin aneh jika PKS jadi pihak yang disalahkan. Apalagi Ketua DPRD juga telah mengetuk palu pengesahan APBD 2020 yang di antaranya adalah persetujuan dilanjutkannya program kartu sehat dengan anggaran hampir Rp. 400 miliar, Jadi tidak dihentikan.(wartasidik.co.id/Jacob Ereste)