SBSINews – Ketua Umum DPP PKB, Muhaimin Iskandar alias Cak Imin tidak mendatangi panggilan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) Selasa (19/11/2019). Alasannya sedang bertugas. KPK pun berharap Cak Imin memenuhi panggilan pemeriksaan berikutnya.

“Pemanggilan oleh aparat hukum itu kewajiban hukum yang yang harus dipenuhi,” kata juru bicara KPK, Febri Diansyah, di kantornya, Jakarta, Jumat, 22 November 2019 sebagaimana ditulis tempo.co.

Sementara, ada dua masalah yang bakal diklarifikasi kepada Cak Imin. Pertama, pengakuan Musa Zainuddin. Bekas koleganya di PKB ini telah membuka fakta baru mengenai dugaan aliran duit ke petinggi PKB. Tak tanggung-tanggung, Musa membuka semua dugaan itu melalui surat pengajuan sebagai justice collaborator (JC) kepada KPK.

Febri memastikan penyidik bakal menjadwal ulang pemeriksaan kepada Cak Imin. Namun, ia belum menyebutkan tanggal pastinya. KPK, kata dia, meminta Muhaimin Iskandar hadir dalam pemeriksaan itu. “Akan dipanggil lagi sesuai kebutuhan penyidikan,” katanya.

Pengakuan Musa ini telah ‘diungkap’ habis oleh Majalah Tempo. Musa membeber kronologi uang 6 miliar mengalir ke Cak Imin. Musa juga mengungkap peran sekretaris fraksi PKB yang saat itu dijabat Jazilul Fawaid.

Jazilul, kata Musa, diperintahkan Ketua Umum PKB (Cak Imin) menerima uang tersebut. Uang diserahkan politisi asal Lampung itu ke Jazilul melalui orang kepercayaannya Jailani dan Mutaqin.

Kemudian, untuk memastikan duit sudah sampai, Musa mengontak Ketua Fraksi PKB Helmy Faisal dan meminta untuk menyampaikan pesan kapada Muhaimin bahwa uang Rp 6 miliar sudah diserahkan melalui Jazilul.

Saat itu Musa sendiri ditunjuk sebagai ketua kelompok fraksi, konon atas instruksi ketua umum PKB Muhaimin Iskandar melalui ketua fraksi PKB di DPR, Helmy Faishal. Dalam arahannya, Helmy menyatakan bahwa fraksi adalah kepanjangan tangan partai. Karena itu, Musa diminta mengawal kebijakan partai dan mengamankan jatah anggaran PKB.

Sempat ‘Minta Damai’?
Saat tengah berjibaku membongkar kasus tersebut, Musa mengaku didatangi utusan Muhaimin, Jazilul, dan Helmy, dan berpesan agar dirinya menghentikan surat permohonan JC.

Hal itu juga diungkap majalah TEMPO edisi 21-27 Oktober 2019, rubrik Hukum bertajuk ‘Main Anggaran Petinggi PKB’. Dalam rubrik itu, nama KH Abdul Ghofur, Anggota Dewan Syuro PKB ikut disebut.

Musa terus ‘mengejar’. Setelah surat JC saya ajukan, beber Musa dalam wawancara khusus dengan wartawan TEMPO, seorang pengurus dan KH Abdul Ghofur mendatangi saya di LP Sukamiskin. “Keduanya mengaku diutus Muhaimin, Jazilul, dan Helmy, dan berpesan agar saya menghentikan surat permohonan justice collaborator,” imbuhnya.

Kiai Ghofur sendiri tidak membantah telah menemui Musa, namun dia tak terima pengakuan Musa yang menyebut bahwa pertemuan itu atas perintah Muhaimin, Jazilul dan Helmy. “Saya juga tak meminta dia menarik surat permohonan menjadi justice collaborator,” kilah Kiai Ghofur.

Tak kalah seru, soal uang titipan. Saat mendatangi LP Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat, Kiai Ghofur membawa uang sejumlah Rp 30 juta untuk diberikan ke Musa. Namun terpotong Rp 300 ribu untuk tol dan lain-lain, tersisa Rp 29.7 juta. “Saya ambil Rp 300 ribu untuk biaya jalan tol dan lain-lain saat ke Bandung,” ucap Kiai Ghofur. Nah?

Duit yang diduga bukan berasal dari kantong Kiai Ghofur sendiri itu, kemudian diserahkan Musa ke KPK. Hal itu membuat Kiai Ghofur kecewa. Tetapi, bisa jadi, pemilik duit tersebut jauh lebih kecewa. “Kalau tahu (dilaporkan ke KPK) begini, mending saya sumbang ke tempat lain saja,” ujar Kiai Ghofur.

‘Bidikan’ Mustofa Tak Kalah Serius
Masalah kedua, adalah ‘dibidikan’ Mustofa. Ini terkait dugaan mahar politik di kasus korupsi Bupati Lampung Tengah. Seperti diberitakan senayanpost.com, kasus korupsi eks Bupati Lampung Tengah Mustafa, kini memasuki babak baru.

KPK menelisik adanya dugaan mahar dari Mustafa kepada Dewan Pengurus Wilayah Partai Kebangkitan Bangsa atau PKB Lampung. KPK menduga Mustafa memberikannya saat maju sebagai Calon Gubernur Lampung pada 2018.

Dugaan tersebut ditelusuri penyidik komisi antirasuah saat memeriksa empat saksi pada Jumat, 22 November 2019. Keempat saksi itu yakni pegawai negeri di Dinas Bina Marga Lampung Tengah Hendi Setia Jaya, Ketua Dewan Syuro Dewan Pengurus Cabang PKB Tulang Bawang Muslih Zein, Ketua Dewan Syuro DPC PKB Pringsewu Muhlas, dan Ketua Dewan Syuro DPC PKB Pesawaran Jumal.

“KPK mendalami pengetahuan saksi tentang aliran dana untuk mahar politik dari Mustafa ke DPW PKB Lampung,” kata Juru bicara KPK, Febri Diansyah, Jumat, 22 November 2019 seperti dikutip tempo.co.

Menurut Febri dari keempat saksi itu, dua orang mangkir yakni Hendi dan Muhlas. Febri sendiri urung menjelaskan jumlah mahar politik yang diduga diberikan oleh Mustafa.

Awalnya, KPK menetapkan Mustafa menjadi tersangka penyuap anggota DPRD Lampung Tengah terkait persetujuan pinjaman daerah. Dia sudah divonis 3 tahun penjara dalam kasus ini.

Tetapi, belakangan, KPK kembali menetapkan Mustafa menjadi tersangka penerima gratifikasi senilai Rp95 miliar sepanjang 2017-2018. Duit itu diduga berasal dari ijon proyek. KPK menduga Mustafa menarik fee 10-20 persen dari nilai proyek.

KPK terus mencermati dan menelisik kemungkinan adanya nama-nama baru yang muncul dalam persidangan Tipikor kasus mantan Bupati Lampung Tengah ini. “Kalau bahasa Humas KPK akan menjadi perhatian penyidik jika nama-nama kesebut di persidangan,” ujar Kepala Satuan Tugas Koordinasi Supervisi Pencegahan Koordinator Wilayah (Kasatgas Korsupgah Korwil) III KPK, Dian Patria, kepada awak media di Gedung Balai Keratun Kompleks Kantor Gubernur Lampung, Rabu (16/10/2019).

Ia mengatakan, walaupun ‘nyanyian’ Mustafa itu terungkap dalam persidangan, namun belum bisa digunakan untuk menentukan bersalah atau tidaknya seseorang di mata hukum. “Tidak cukup hanya orang yang bicara di persidangan saja, kan tidak bisa langsung dipakai. Tetap harus ada dua alat bukti yang cukup,” katanya.

Sebelumnya, dari persidangan kasus mantan Bupati Lampung Tengah di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Senin (7/10/2019) lalu, Mustafa mengaku sempat menyerahkan uang sebesar Rp18 miliar kepada petinggi PKB Provinsi Lampung untuk mahar sebagai bakal calon kontestan Pilgub 2018 lalu.

Dalam persidangan itu, Mustafa merasa dikhianati oleh Nunik –panggilan Chusnunia Chalim– yang kini jadi wakil gubernur Lampung berpasangan dengan Arinal Djunaidi. Nunik sendiri sempat diperiksa KPK terkait kasus ini, pada (5/6/2019). Sebelumnya, mantan bupati Lampung Timur itu juga pernah diperiksa KPK awal Maret lalu, (1/3/2019).

“PKB mengingkari saya. Saya merasa dimanfaatkan, dipermainkan dan dibohongi Saudari Chusnunia Chalim,” katanya pada sidang yang digelar di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Senin (7/10/2019).

Uang untuk ‘membeli’ perahu senilai Rp18 Miliar yang diserahkan kepada dua petinggi partai, akhirnya dikembalikan Rp14 miliar kepada Mustafa. Sisanya, Rp4 Miliar, belum dikembalikan.

Menurut Mustafa, dia memperoleh Rp18 miliar itu dari meminjam uang ayah kandung, kerabat, dan menggadaikan asetnya. Berbeda dengan pengakuan Mustafa, menurut JPU Sobari, uang Rp4 miliar yang belum dikembalikan berasal dari “ijon” proyek.

Tapi, Mustafa juga membenarkan ada pengumpulan uang Rp12,5 miliar dari dua pengusaha, yakni Rp7,5 miliar “setoran” dari Budi Winarto alias Ali dan Rp5 miliar dari Simon Susilo.

Yang menarik, kupastuntas.co sempat mewawancarai ajudan Cak Imin, Fahmi. Ia ditanya seputar pertemuan antara Cak Imin, Mustofa dan Nunik (Chusnunia Chalim). Begitu juga soal aliran dana Rp 18 M dari Mustofa. “Bapak (Cak Imin red.) nggak tahu itu malah,” jawab Fahmi yang tidak keberatan namanya dikutip.

Kupastuntas.co mendapat informasi bahwa pertemuan Cak Imin, Mustofa dan Nunik itu terjadi di Jl Empu Sendok, Jakarta Selatan, bersebelahan dengan Rumah Makan Empu Sendok. Fahmi berjanji akan menanyakan informasi itu kepada Cak Imin. “Caba nanti saya tanya ke Bapak (Cak Imin) dulu,” tandasnya seperti dikutip kupastuntas.co. (mky,tempo.co,senayanpost.com,kupastuntas.co/duta.co/SM)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here