Tiba-tiba profil Desa Punjulharjo Rembang di Jawa Tengah itu menjadi buah bibir. Tak butuh waktu lama, kunjungan mulai dari warga biasa hingga pejabat diterima desa tersebut. Itu dimulai ketika di desa tersebut ditemukan sebuah kapal pada July 2008.

Apa yang membuat penemuan itu begitu spektakuler adalah usia dari kapal itu. Penanggalan karbon atas estimasi berapa usia kapal tersebut ternyata adalah lebih dari 1400 tahun. Kapal itu berasal dari abad 6 atau 7 M. Itu bahkan lebih tua dibanding usia Candi Borobudur.

Dengan lebar 5 meter dan panjang lebih dari 15 meter, itu adalah kapal dengan ukuran sedang.

“Berarti itu adalah bukti valid bahwa pada tahun 600 an bangsa kita telah berlayar dong?”

Dengan ditemukannya kapal tersebut dalam kondisi yang relatif utuh, jelas akan semakin mengokohkan catatan sejarah terkait kita sebagai bangsa bahari. Itu bukti fisik yang semakin melengkapi asal usul siapa bangsa ini dulu.

Merujuk pada abad 7, jelas ini terkait dengan masa kejayaan dari Kerajaan Sriwijaya. Di Jawa Tengah, Wangsa Syailendra sebagai unsur keterkaitan dengan Sriwijaya, kelak kerajaan Medang atau Mataram Kuno hadir dimana Candi Borobudur adalah peninggalannya.

Sriwijaya adalah salah satu kerajaan bahari yang berdiri di pulau Sumatra dan banyak memberi pengaruh di Asia Tenggara khususnya pada cakupan Nusantara.

Kekuasaannya membentang dari Sumatra, Kepulauan Riau, Bangka Belitung, Singapura, Semenanjung Malaka, Thailand, Kamboja, Vietnam Selatan, Kalimantan, Jawa Barat dan Jawa Tengah.

Dengan fakta kekuasaan membentang demikian luas dan laut adalah sebagai pembatasnya, adakah selain armada laut yang super kuat menjadi andalannya, itu fakta yang tak perlu dibuat dalam saling berbantahan lagi.

Dengan kata lain, teknologi perkapalan hingga navigasi kelautan adalah ilmu yang telah amat sangat dikuasai oleh bangsa ini sejak dahulu kala.

Dan benar kapal-kapal milik bangsa ini memang merajai lautan. Bukan hanya Asia Tenggara, bahkan pada hampir seluruh sudut bumi ini telah nenek moyang kita singgahi jauh sebelum masa keemasan dunia pelayaran pada bangsa-bangsa barat.

“Apa buktinya?”

Pernah dengar kata barus? Konon, barang itu telah digunakan oleh raja-raja Mesir saat dimakamkan. Artinya, barus atau kamper telah digunakan ribuan tahun lalu oleh Mesir yang berjarak bukan lagi pulau tapi benua. Padahal, kamper adalah sejenis pohon yang hanya hidup di negeri kita.

Dengan apakah kita jual barang milik kita itu ke Afrika yang berjarak ribuan kilometer itu? Secara logis, hanya dengan kapal laut.

“Apa buktinya itu menggunakan kapal milik kita?’

Bila berbicara tentang catatan, keterangan paling tua mengenai Barus berasal dari abad ke-2 Masehi itu berdasar pada kitab ilmu bumi karangan Ptolomeus yang berjudul Geographike Hyphegesis tahun 160 Masehi. Pada buku itu ada tertulis bahwa negeri ini telah berhubungan dagang dengan China, India, dan Arab melalui pelabuhan Barus.

Wilayah Barus disebut memiliki kedudukan yang penting sebagai bandar internasional yang memperdagangkan barus dan kemenyan. Kedua jenis komoditi ini nilainya sangat tinggi pada zaman purba dan hanya dapat ditemui di pelabuhan Barus.

Letaknya yang berada di tepi pantai barat Sumatera bagian utara ini, membuat wilayah Barus banyak dikunjungi saudagar-saudagar dari luar nusantara.

” Itu tidak membuktikan bahwa kita sudah punya kapal. Bukankah para pedagang itu yang mendatangi dan maka mereka yang punya kapal dong?”

Buku abad ke-3 berjudul “Hal-Hal Aneh dari Selatan” karya Wan Chen pernah mendeskripsikan adanya sebuah kapal yang masuk ke Pelabuhan China dimana kapal itu tercatat mampu membawa 700 orang bersama dengan lebih dari 10.000 kargo. Itu kira-kira sama dengan 250-1000 ton.

Kapal itu berasal dari K’un-lun yang berarti “kepulauan di bawah angin” atau “negeri Selatan” (dari China). Kapal-kapal yang disebut K’un-lun po itu panjangnya lebih dari 50 meter dan tingginya di atas air adalah 4-7 meter.

Kapal raksasa itu kelak sering disebut atau dinamai dengan Jong atau Jung.

Adakah negeri di selatan China dengan deskripsi kepulauan tak berbicara tentang Nusantara?

Pernah dengar sosok bernama I-Tsing? I-Tsing (635 – 713) adalah seorang biksu Buddha Tionghoa yang berkelana melalui laut ke India melalui Jalur Sutra untuk mendapatkan teks agama Buddha dalam bahasa Sanskerta.

Dia kemudian membawa teks agama Budha itu pulang ke Tiongkok dan menerjemahkannya ke dalam bahasa Tionghoa. Dia tinggal di Kuil Xi Ming selama beberapa waktu di Chang’an, ibu kota Dinasti Tang.

Dalam catatan perjalanan keagamaan I-Tsing (671-695 M) dari Kanton ke Perguruan Nalanda di India Selatan disebutkan bahwa ia menggunakan kapal Sriwijaya, negeri yang ketika itu tercatat sebagai yang menguasai lalu lintas pelayaran di ”Laut Selatan”.

Adakah catatan-catatan itu bukan bukti bahwa Nusantara memang raja di laut pada saat itu? Dan dengan demikian, pasti memiliki kapal-kapal tercanggih di masanya?

Bila kurang, kita lihat dari kekuatan laut Majapahit.

Ketika menyerang kerajaan Pasai, tercatat bahwa Majapahit menggunakan jong secara besar-besaran sebagai kekuatan lautnya.

Tidak diketahui secara pasti berapa tepatnya jumlah total jong yang digunakan oleh Majapahit, tetapi mereka dikelompokkan menjadi 5 armada.

Jumlah terbesar jong yang dikerahkan dalam sebuah ekspedisi adalah sekitar 400 jong yang disertai dengan Malangbang, Kelulus dan Pelang yang tak terhitung banyaknya.

Untuk lebih mudah memahami kegunaan 4 jenis kapal itu, bayangkan saja kapal induk AS yang gak pernah berlayar sendirian. Dia selalu dikawal dengan banyak kapal lain mulai dari kapal perusak, kapal penjelajah hingga banyak kapal lain dengan fungsinya masing-masing. Demikianlah Jong, dia adalah persepsi kapal induk.

Malangbang adalah salah satu dari kapal perang utama Majapahit setelah jong dan kelulus. Tidak banyak yang diketahui dari jenis kapal ini, selain dari fakta bahwa kapal itu juga menggunakan dayung selain layarnya yang lebar untuk bergerak dan berlambung datar. Kapal ini berukuran “sedang”, antara ukuran jong dan kelulus, namun lebih besar dari pelang.

Ekspedisi militer terbesar kedua, invasi Singapura pada tahun 1398, Majapahit mengerahkan 300 jong dengan tidak kurang dari 200.000 orang dengan lebih dari 600 orang di setiap jong. Untuk kapal pendampingnya, tak terhitung banyaknya.

Sebagai catatan, jong terkecil panjangnya 33 meter dengan perkiraan kapasitas 220 ton bobot mati, dengan awak 120 orang. Sementara, Jong yang besar dapat membawa 800 orang dan panjangnya mencapai 50 depa atau sekitar 90–100 m.

“Kalau semua itu benar, kenapa saat penjajah Eropa datang kita tak berdaya?”

Portugis datang saat Majapahit sudah runtuh. Dan luar biasanya, Majapahit runtuh karena sebab dari dalam. Demak yang konon berada dibalik keruntuhan Majapahit menggantikan peran penguasa lautan itu.

Meski sangat jauh dari kekuatan Majapahit saat sebelum kerajaan itu mengalami kemunduran, angkatan laut armada angkatan laut Kerajaan Demak berhasil membuat Portugis kewalahan.

Pada Januari 1513 Patih Unus mencoba mengejutkan Malaka dengan membawa sekitar 100 kapal dengan 5.000 tentara Jawa dari Jepara dan Palembang. Sekitar 30 dari kapal-kapal itu adalah jong besar seberat 350-600 ton (pengecualian untuk kapal utama Patih Unus), sisanya adalah kapal jenis lancaran, penjajap, dan kelulus. Kapal-kapal itu membawa banyak artileri yang dibuat di Jawa. .

Pada 1574, ratu Kalinyamat dari Jepara menyerang Melaka yang dikuasai Portugis dengan 300 kapal, yang meliputi 80 jong dengan tonase 400 ton dan 220 kelulus. Penyerangan dihentikan setelah perbekalan menipis dan Portugis berhasil membakar 30 jong.

Meski menang, Portugis mengalami kerugian sangat besar. Bukan kerugian sangat besar mereka dibuat terkejut, pada kemampuan navigasi hingga kekuatan armada laut yang dimiliki para penyerangnyalah Portugis tak mudah dibuat paham.

“Maksudnya?”

Ketika Afonso de Albuquerque menaklukkan Malaka pada 1511, Portugis mendapatkan sebuah peta dari seorang mualim Nusantara. Peta itu menampilkan bagian dari benua Amerika.

Peta besar yang berisi Tanjung Harapan, Portugal dan tanah Brazil, Laut Merah dan Laut Persia, Kepulauan Cengkeh, navigasi orang Cina dan Gom, dengan garis rhumb dan rute langsung yang bisa ditempuh oleh kapal, dan dataran gigir (hinterland), dan bagaimana kerajaan berbatasan satu sama lain ada tercatat dengan sangat detil.

“Bagiku, Tuan, ini adalah hal terbaik yang pernah saya lihat.” kata Alfonso dalam suratnya pada Raja Manuel pada April 1512.

Pujian yang lain datang dari Diogo do Couto dalam buku Da Asia, yang terbit tahun 1645. Pada buku itu dia menyebutkan :

“Orang Nusantara adalah orang-orang yang sangat berpengalaman dalam seni navigasi, sampai mereka dianggap sebagai perintis seni paling kuno ini, walaupun banyak yang menunjukkan bahwa orang Cina lebih berhak atas penghargaan ini, dan menegaskan bahwa seni ini diteruskan dari mereka kepada orang Jawa. Tetapi yang pasti adalah orang Jawa yang dahulu berlayar ke Tanjung Harapan dan mengadakan hubungan dengan pulau São Lourenço (San Laurenzo – Madagaskar), dimana sekarang banyak dijumpai penduduk asli berkulit cokelat di pulau itu yang mengatakan bahwa mereka adalah keturunan orang Jawa.”

Bukan hanya itu, Ludovico di Varthema (1470-1517), dalam bukunya Itinerario de Ludouico de Varthema Bolognese menyatakan bahwa pelaut kita telah berlayar ke “negeri jauh di selatan” hingga mereka tiba di sebuah pulau di mana satu hari hanya berlangsung selama empat jam dan lebih dingin daripada di bagian dunia mana pun”.

Penelitian modern telah menentukan bahwa tempat tersebut terletak setidaknya 900 mil laut (1666 km) selatan dari titik paling selatan, Tasmania.

Artinya, pelaut kita, menurut cara pandang mereka, justru telah mendahului sampai daerah yang belum pernah mereka jangkau.

“Tapi kenapa hari ini kita terlihat seolah takut sama air dan memilih bertani?”

Kekalahan Demak atas Portugis membawa dampak negatif atas cara pandang penguasaan laut. Demak berganti Pajang dan Pajang berganti Mataram.

Hilangnya tradisi maritim kita tidak lain adalah akibat kebijakan kerajaan pengganti Demak itu sendiri. Setelah kekalahan mereka terhadap Portugis dalam penyerbuan Malaka, mereka kemudian lebih memusatkan pada kekuatannya di darat.

Sikap represif Amangkurat I dari Mataram terhadap kota kota pesisir utara Jawa adalah salah satu bukti. Amangkurat I pada 1655 memerintahkan agar pelabuhan-pelabuhan ditutup dan kapal-kapal dihancurkan demi mencegah kota-kota pesisir memberontak.

Paradigma bahwa di laut kita jaya telah berubah. Dari laut ada kekuatan besar yang siap menghancurkan dan membuat penguasa alergi terhadap laut.

Ini jelas menghancurkan ekonomi dan kekuatan maritimnya yang dibangun sejak zaman Sriwijaya dan Majapahit. Mataram berubah menjadi negara agraris.

Selain itu, hilangnya selat Muria yang terjadi karena pendangkalan telah menjadi faktor hilangnya banyak jung. Galangan kapal besar sepanjang Rembang-Demak menjadi “terdampar” di tengah daratan tanpa akses ke laut.

Dulu, antara gunung Muria dan pulau Jawa terpisah selat kecil dan di sana galangan kapal untuk membangun kapal hadir.

Pun ketika VOC mendapat kekuasaan di Jawa, serta merta mereka langsung melarang penduduk setempat untuk membangun kapal dengan tonase lebih dari 50 ton, dan menugaskan pengawas Eropa ke setiap galangan kapal.

Setelah tahun 1700-an, peran jong telah hilang. Kapal besar kebanggan Nusantara itu telah digantikan oleh jenis kapal dari Eropa.

Dan manakala pertiwi berbisik dan lalu sebuah kapal yang telah tidur selama lebih dari 1400 tahun dibangunkan di sebuah desa tak kita kenal namanya, kita terkejut. Seperti disiram air dingin saat tertidur, kita diminta untuk segera bangun dalam utuh sebuah kesadaran.

Akankah kesadaran tentang siapa kita di masa lalu itu mampu memberi spirit bagi warganya untuk menjemput takdir itu?

Jalesveva Jayamahe, Justru di Laut Kita Jaya seharusnya adalah tentang moto kita sebagai negara kepulauan di mana laut adalah halaman tempat kita bermain dan bercengkerama.

RAHAYU
Penulis
Karto Bugel

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here