Untuk adik – adiku yg terlahir setelah Orde Baru…
Dan untuk kalian…yang berlaga LUPA..

Kesaksian Nezar Patria, TEMPO 2008

Ada perintah pada masa Orde Baru, untuk menculik sejumlah aktivis mahasiswa. Empat orang dari mereka yang diculik belum kembali
sampai hari ini. Wartawan Tempo Nezar Patria, pada 1997 adalah aktivis
Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi yang menjadi satu dari korban
penculikan yang selamat.

PERISTIWA itu terjadi sepuluh tahun lalu, tapi semuanya masih tetap basah dalam
ingatan. Kami berempat: Aan Rusdianto, Mugiyanto, Petrus Bima Anugerah, dan
saya adalah anggota Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID).
Baru sepuluh hari kami bertempat tinggal di rumah susun Klender, Duren Sawit,
Jakarta Timur itu.

Tak seorang tetangga pun tahu bahwa kami anggota gerakan antikediktatoran.
Saat itu, Maret 1998, politik Indonesia sedang panas. Di tengah aksi protes
mahasiswa, Sidang Umum MPR kembali mengangkat Soeharto sebagai Presiden RI. Di
kampus, gerakan menentang rezim Orde Baru kian marak. Setiap hari, kemarahan
membara di sekujur negeri. Kota-kota dibungkus selebaran, spanduk, dan poster.
Indonesia pun terbelah: pro atau anti-Soeharto.

Sejak dituding sebagai dalang kerusuhan 27 Juli 1996 (tapi tak pernah terbukti
di pengadilan), SMID dan semua organisasi yang berafiliasi ke Partai Rakyat
Demokratik (PRD) dinyatakan oleh pemerinah sebagai organisasi terlarang. Sejak
itu, hidup kami terpaksa berubah. Kami diburu aparat keamanan Orde Baru. Maka,
tak ada jalan lain kecuali bergerak gaya bawah tanah. Nama asli berganti alias.
Setiap kali berpindah rumah, harus menyaru sebagai pedagang buku atau lainnya.

Tapi petualangan bawah tanah itu berhenti pada 13 Maret 1998. Malam itu,
sekitar pukul tujuh, saya baru saja pulang dari Universitas Indonesia, Depok.
Ada rapat mahasiswa sore itu di sana. Aan, mahasiswa Universitas Diponegoro
Semarang sudah berada di rumah. Setelah mandi, saya menjerang air. Mugiyanto
berjanji pulang satu jam lagi, dan dia akan membeli makan malam. Sementara,
Bima Petrus berpesan pulang agak larut.

Tiba-tiba terdengar suara ketukan. Begitu Aan membuka pintu, empat lelaki kekar
merangsek masuk. Mereka menyergap dan memiting tangan Aan. Saya kaget.
Sekelebat saya melongok ke arah jendela. Kami berada di lantai dua, dan di
bawah sana sejumlah “tamu tak diundang” sudah menunggu. Mereka memakai seibo
(penutup wajah dari wol), tapi digulung sebatas tempurung kepala. Wajah mereka
masih terlihat jelas. “Mau mencari siapa?” tanya saya. “Tak usah tanya, ikut
saja,” bentak seorang lelaki. Setelah mencengkeram Aan, dua lainnya mengapit
saya.

Kami digiring menuruni tangga. Saya agak meronta, tapi dengan cepat seseorang
mencabut pistol. Sekejap, kesadaran saya bicara: saya diculik! Dan dua mobil
Kijang sudah menunggu di bawah.

Di dalam mobil, mata saya ditutup kain hitam. Lalu mereka menyelubungi kepala
saya dengan seibo itu. Saya juga merasa mereka melakukan hal yang sama pada
Aan. Dompet saya diperiksa. Sial, mereka mendapat KTP saya dengan nama asli.
“Wah, benar, dia Nezar, Sekjen SMID!” teriak salah satu dari mereka.

Di mobil, mereka semua bungkam. Kaca tertutup rapat. Lagu house music diputar
berdebam-debam. Lalu kendaraan itu melesat kencang, dan berhenti sejam
kemudian. Tak jelas di daerah mana. Terdengar suara handy talkie mencicit,
“Merpati, merpati.” Agaknya itu semacam kode mereka. Rupanya, mereka meminta
pintu pagar dibuka.

Mata kami masih tertutup rapat saat digiring masuk ke ruangan itu. Pendingin
udara terasa menusuk tulang. Terdengar suara-suara orang, mungkin lebih dari 10
orang. Saya didudukkan di kursi. Lalu, mendadak satu pukulan melesak di perut.
Setelah itu, menyusul bertubi-tubi tendangan. Satu terjangan keras mendarat di
badan, sampai kursi lipat itu patah. Bibir terasa hangat dan asin. Darah
mengucur. Setelah itu, saya dibaringkan ke velbed. Tangan kiri diborgol dan
kaki diikat kabel. Mereka bertanya di mana Andi Arief, Ketua Umum SMID. Karena
tak puas dengan jawaban, alat setrum mulai beraksi. Dengan garang, listrik pun
merontokkan tulang dan sendi. “Kalian bikin rapat dengan Megawati dan Amien
Rais, kan? Mau menggulingkan Soeharto kan?” tanya suara itu dengan garang.

Absurd. Saat itu, kami mendukung Mega-Amien melawan kediktatoran. Tapi belum
pernah ada rapat bersama dua tokoh itu. Saya tak banyak menjawab. Mereka
mengamuk. Satu mesin setrum diseret mendekati saya. Lalu, kepala saya
dijungkirkan. Listrik pun menyengat dari paha sampai dada. “Allahu akbar!”
saya berteriak. Tapi mulut saya diinjak. Darah mengucur lagi. Satu setruman di
dada membuat napas saya putus. Tersengal-sengal. Saya sudah setengah tak sadar,
tapi masih bisa mendengar suara teguran dari seorang kepada para penyiksa itu,
agar jangan menyetrum wilayah dada. Saya merasa sangat lelah. Lalu terlelap.

ENTAH pukul berapa, tiba-tiba saya mendengar suara alarm memekakkan telinga.
Saya tersentak. Terdengar suara Aan meraung-raung. Ini mungkin kuil penyiksaan
sejati, tempat ritus kekerasan berlaku tiap menit. Alarm dibunyikan tiap kali,
bersama tongkat listrik yang suara setrumannya seperti lecutan cambuk. Saya
juga mendengar jeritan Mugiyanto. Rupanya, dia “dijemput” sejam setelah kami
ditangkap. Hati saya berdebar mendengar dia dihajar bertubi-tubi. Sekali lagi,
mereka ingin tahu apa betul kami terlibat konspirasi rencana penggulingan
Soeharto.

Selama dua hari tiga malam, kami disekap di tempat itu. Penyiksaan berlangsung
dengan sangat metodis. Dari suara alarm yang mengganggu, pukulan, dan teror
mental. Pernah, setelah beberapa jam tenang, mendadak kami dikejutkan tongkat
listrik. Mungkin itu tengah malam atau pagi hari. Tak jelas, karena mata
tertutup, dan orientasi waktu hilang. Selintas saya berpikir bahwa penculik ini
dari satuan profesional. Mereka bilang, pernah bertugas di Aceh dan Papua
segala.

Klik. Suara pistol yang dikokang yang ditempekan ke pelipis saya. “Sudah siap
mati?” bisik si penculik. Saat itu mungkin matahari sudah terbenam. Saya diam.
“Sana, berdoa!” Kerongkongan saya tercekat. Ajal terasa begitu dekat. Tak
seorang keluarga pun tahu bahwa hidup saya berakhir di sini. Saya pasrah. Saya
berdoa agar jalan kematian ini tak begitu menyakitkan. Tapi “eksekusi” itu
batal. Hanya ada ancaman bahwa mereka akan memantau kami di mana saja. Akhirnya
kami dibawa ke suatu tempat. Terjadi serah-terima antara si penculik dan
lembaga lain. Belakangan, diketahui lembaga itu Polda Metro Jaya. Di sana kami
bertiga dimasukkan ke sel isolasi. Satu sel untuk tiap orang dengan lampu lima
belas watt, tanpa matahari dan senam pagi.

Hari pertama di sel, trauma itu begitu membekas. Saya takut melihat pintu angin
di sel itu. Saya cemas, kalau si penculik masih berada di luar, dan bisa
menembak dari lubang angin itu. Ternyata semua kawan merasakan hal sama.

Sepekan kemudian, Andi Arief (kini Komisaris PT Pos Indonesia) diculik di
Lampung. Setelah disekap di tempat “X”, dia terdampar juga di Polda Metro Jaya.
Sampai hari ini, peritiwa itu menjadi mimpi buruk bagi kami, terutama
mengenang sejumlah kawan yang hilang dan tak pernah pulang. Mereka adalah
Herman Hendrawan, Bima Petrus, Suyat, dan Wiji Thukul.

Setelah reformasi pada 1998, satu regu Kopassus yang disebut Tim Mawar sudah
dihukum untuk kejahatan penculikan ini. Adapun Dewan Kehormatan Perwira
memberhentikan bekas Danjen Kopassus Letnan Jenderal Prabowo sebagai perwira
tinggi TNI. Prabowo mengaku hanya mengambil sembilan orang. Semuanya hidup, dan
sudah dibebaskan.

Pada 1999, majalah ini mewawancarai Sumitro Djojohadikusumo, ekonom dan ayah
kandung Prabowo. Dia mengatakan penculikan dilakukan Prabowo atas perintah para
atasannya. Siapa? “Ada tiga: Hartono, Feisal Tanjung, dan Pak Harto,” ujar
Sumitro. Lalu kini apakah kami, rakyat Indonesia, harus memaafkan Soeharto?
Doa saya untuk kawan-kawan yang belum (atau tidak) kembali.
[Nezar Patria | TEMPO]

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here