Desakan terhadap Presiden Joko Widodo untuk mundur semakin kencang di masa Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM).

Beberapa waktu terakhir, ramai di media sosial tagar-tagar yang meminta Jokowi mengibarkan bendera putih.

Pada Selasa (6/7/2021), netizen memplesetkan PPKM menjadi ‘Pak Presiden Kapan Mundur’ hingga trending di media sosial Twitter.

Desakan kepada Jokowi untuk mundur kembali menjadi trending topik di Twitter melalui tagar #BapakPresidenMenyerahlah, Rabu (7/7/2021).

Isu ini mendapat sorotan dari pengamat politik sekaligus pakar hukum tata negara Refly Harun.

Menurut Refly Harun, munculnya desakan Jokowi mengibarkan bendera putih muncul karena kegagalan presiden menjalankan amanat konstitusi.

Kegagalan itulah yang menurut Refly menjadi pemicu utama isu Jokowi diminta mundur semakin mengencang.

“Diukur dari amanat konstitusi untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, maka sesungguhnya Presiden Jokowi sudah gagal. Presiden sudah gagal menjalankan amanat konstitusi,” katanya dilansir dari kanal YouTube Refly Harun pada Rabu, 7 Juli 2021.

Karena sudah gagal tersebut ya wajar kemudian ada yang meminta untuk agar Presiden Jokowi mengundurkan diri. Apalagi PPKM diperpanjang menjadi singkatan ‘Pak Presiden Kapan Mundur,” tambahnya.

“Menurut Refly, kegagalan presiden menjalankan amanat konstitusi bisa dilihat dari cara pemerintah menangani pandemi COVID-19.

Refly membeberkan pengalamannya saat sang mertua tak mendapat fasilitas kesehatan yang memadai di masa pandemi karena kapasitas rumah sakit tak cukup.

Hal itu yang ia anggap sebagai tanda bahwa pemerintah gagal melindungi masyarakat sesuai amanat konstitusi.

“Kenapa begitu? Karena saya mengalami sendiri. Keluarga saya misalnya, mertua saya yang saat ini kita antar ke rumah sakit tetapi memang tidak ada fasilitas rumah sakit yang nyaman lagi sekarang untuk Covid-19 karena sudah overload. Termasuk juga di unit-unit gawat daruratnya jadi pasrah saja,” tuturnya.

“Pemerintahan yang sebenarnya sudah gagal dalam mengimplementasikan, mewujudkan, menjalankan amanat konstitusi karena ternyata masyarakat tidak terlindungi. Masyarakat bahkan sekarang sedang bertaruh, sedang berjuang sendiri bagaimana mempertahankan hidup mereka masing-masing,” tambahnya.

Refly kemudian menyoroti soal tidak jelasanya pimpinan dalam menangani COVID-19 di Indonesia.

Padahal, selama ini statmentnya bahwa COVID-19 merupakan darurat bencana nasional.

“Covid-19 ini statement-nya adalah darurat bencana nasional. Kalau darurat bencana nasional maka kepemimpinannya adalah kepemimpinan pusat/nasional. Tetapi sering saya berkali-kali mengkritik, tidak jelas governance penanganan Covid-19 ini, siapa leading sector-nya,” tuturnya.

Refly Harun menyebut perlu ada kejelasan terkait pemimpin dalam menangani COVID-19 di Indonesia, seperti Menteri Kesehatan atau Kepala BNPB.

Namun menurut Refly, yang terjadi adalah penyelesaian dari masalah COVID-19 di Indonesia sering kali dipercayakan kepada orang-orang tertentu saja.

“Karena ketidakjelasan tersebut akhirnya programnya seperti shortcut-shortcut dan akhirnya Luhut lagi Luhut lagi yang masuk menjadi orang kepercayaan Presiden Jokowi untuk menyelesaikan. Lalu bagaimana dengan governance yang sudah misalnya disahkan dengan keputusan-keputusan presiden atau pertauran-peraturan presiden? Ini yang tidak jelas,” ujarnya.(*)

SUMBER : TRIBUNNEWS.COM

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here