SBSINews – Berani sekali apa yang dilakukan Presiden Joko Widodo melawan para mafia lahan saat ini, ujar Denny Siregar.
“Musuh saya terlalu banyak, saya gak akan kuat”.
Begitu cerita seorang teman saat kami sedang duduk di sebuah warung kopi di pinggir jalan. Ia termasuk salah seorang yang dekat dengan Jokowi dalam hubungan kekeluargaan. Kami bertemu dalam rangka penulisan buku terbaruku “Seni Perang Jokowi” yang sekarang sudah beredar.
Jokowi sering bercerita padanya, hal-hal yang tidak diceritakan ke publik. Dan salah satu kekhawatiran Jokowi di awal pemerintahannya, ia harus menghadapi multy enemy dari berbagai bidang. Mulai dari kelompok radikal, para mafia mulai migas sampai pangan, bahkan juga musuh yang tidak berwujud seperti kemiskinan, kebodohan dan kesenjangan yang sangat besar.
Semua “musuh” itu berkumpul menjadi satu membentuk kepalan besar yang siap menghantam tubuh kurus kering itu. Dana mereka gila-gilaan. Para musuh itulah yang selama ini “mengatur” negara dan menangguk keuntungan ekonomi yang besar. Dan Jokowi harus menghadapi semuanya dalam waktu bersamaan.
Dan salah satu strategi Jokowi adalah memilih musuh yang paling besar. Ia terpaksa harus berkawan dengan musuh yang lebih kecil supaya mereka ikut bersamanya memerangi musuh yang terbesar. Jokowi paham, di kelompok musuhnya ini tidak ada ikatan yang kuat di antara mereka.
Mereka hanya diikat oleh satu kata “Kepentingan”.
Maka mulailah ia bergerak, dan seperti buldozer ia menggerus satu persatu musuh besarnya yang kuat secara ekonomi. Petral, HTI, pencuri di lautan, ia hadapi satu persatu dalam waktu pendek. Ia pilih panglima-panglima perang yang tangguh untuk mengawal itu. Dan dalam skala prosentase, ia berhasil menaklukkan sebagian dari mereka.
Dan musuh Jokowi yang paling besar adalah mafia tanah. Mafia tanah ini bukan saja masalah kepemilikan tetapi yang paling utama adalah masalah konsesi. Selama ini fasilitas konsesi tanah hanya dimiliki orang-orang berduit dan dekat dengan keluarga berpengaruh. Rakyat sama sekali tidak pernah menikmati.
Ia lalu membangun program “Satu Peta” atau One Map policy yang tujuannya menginventarisasi kepemilikan tanah dan konsesi lahan. Dari sana terbukalah, siapa saja yang punya tanah sampai jutaan hektar. Menakjubkan sekaligus mengerikan. Bagaimana negeri ini dirampok habis-habisan dengan cara yang elegan.
Dan Jokowi melawan. Sisa konsesi lahan yang masih ada, ia bagikan ke rakyat. Ia ingin rakyat lah yang mengelola sumber daya alam negeri ini, bukan hanya cukong-cukong besar. Ekonomi kerakyatan di tangan Jokowi bukan sekedar lipsync. Ia berjibaku untuk membangun mimpinya.
Dan seperti kita tahu sekarang, lewat debat, Jokowi membongkar kepemilikan tanah sekian ratus ribu hektar dari calon Presiden lawan politiknya. Jokowi berhasil menarik perhatian rakyat untuk membuka kembali file-file lama siapa saja yang terlibat dalam pembagian konsesi lahan dan hutan.
Kita tidak bisa membayangkan, situasi seperti apa yang dihadapi Jokowi dalam menghadapi perang besarnya. Kita hanya bisa menikmati hasilnya dan berterima kasih padanya. Karena ia seperti secangkir kopi, nikmatnya abadi, bahkan akan dikenang dalam benak rakyat Indonesia. Suatu saat, namanya akan terpatri sebagai nama jalan di Solo, kampung halamannya yang bangga pernah melahirkan tokoh yang mengubah wajah negeri ini. (Sumber: Arrahmahnews.com)