SBSINews – OMNIBUS law UU Cipta Kerja terus menuai polemik. Sejak wacana, pembahasan, hingga ketok palu persetujuan bersama pemerintah dan DPR, kritik terus datang.

Demonstrasi berskala besar dan meluas pun terus terjadi sejak Senin (5/10/2020), bertepatan dengan rapat paripurna DPR yang mengagendakan pengambilan keputusan atas RUU Cipta Kerja.

Namun, sebagian kalangan berpendapat, tetap perlu upaya konstitusional juga untuk merespons UU Cipta Kerja. Bagaimanapun, ini adalah produk hukum.

Pilihannya, mendesak Presiden Joko Widodo (Jokowi) menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) atau menempuh jalur judicial review ke Mahkamah Konstitusi.

Masing-masing kalangan punya argumentasi untuk saran yang dimunculkan. Ada juga yang menggunakan gabungan pilihan cara untuk merespons UU Cipta Kerja.

Zainal Arifin Mochtar dari UGM, misalnya, berpendapat perppu sebaiknya jadi pilihan saat ini.

“Jangan salah, perppu tidak selalu berarti membatalkan (UU). Perppu bisa menunda pelaksananaan UU, misal dua tahun, untuk perbaikan substantif atau memikirkan ulang,” kata Zainal saat dihubungi Kompas.com melalui telepon, Selasa (13/10/2020).

Menurut Zainal, judicial review di MK sebaiknya menjadi pilihan terakhir.

Yang terpenting, kata Zainal, situasi saat ini harus direspons segera oleh pemerintah dan DPR dengan transparansi dan akuntabilitas. Ada terlalu banyak persoalan dengan UU Cipta Kerja, dari prosedur sampai substansi.

“Tak cukup situasi ini dihadapi dengan mistifikasi, menyatakan diri sudah bekerja dengan baik dan (UU ini) bertujuan baik lalu kill the messenger dengan menyebut ini hoaks itu hoaks,” tegas Zainal.

Terlebih untuk pemerintah, ungkap Zainal, harus ada penjelasan detail. Jawab polemik saat ini dengan cara partisipasi—pelibatan publik—, transparansi, dan akuntabilitas.

Namun, ada juga pendapat yang menyatakan piilhan yang lebih baik tetaplah menggunakan jalur konstitusional melalui judicial review di Mahkamah Konstitusi (MK).

“Kalau proses pembentukan UU dianggap melanggar UUD dan UU yang dibentuk untuk menjabarkan itu melangggar prinsip konstitusi, MK berwenang juga menyatakan proses pembentukan bertentangan dengan konstitusi sehingga UU tidak berlaku untuk seluruhnya,” ungkap Jimly Asshiddiqie, pakar hukum tata negara yang juga adalah pionir dan Ketua pertama MK, Selasa (13/10/2020).

Jimly menerangkan, judicial review ada dua jenis, yaitu uji materi dan uji formil. Selama ini, kata dia, yang lebih sering bahkan hampir selalu diajukan adalah uji materi.

Adapun uji formil, lanjut Jimly, pernah juga dimintakan ke MK dan MA—untuk peraturan perundangan di bawah UU—tetapi belum ada satu pun yang dikabulkan.

Dalam kasus UU Cipta Kerja, Jimly melihat ada peluang untuk pengajuan baik uji formil maupun uji materi. Bahkan, dia melihat ada kesempatan bagi MK untuk pertama kali bisa membuat preseden putusan uji formil melalui judicial review UU Cipta Kerja.

Buruh yang selama sepekan terakhir menggelar demonstrasi pun mulai mempertimbangkan langkah judicial review. Presiden Joko Widodo telah pula mempersilakan siapa pun yang menolak UU Cipta Kerja menempuh judicial review.

Hingga Senin (12/10/2020), sudah ada dua uji materi diajukan atas UU Cipta Kerja. Kedua pengujian mempersoalkan klausul di UU Cipta Kerja yang mengatur perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT). (Kompas.com/SM)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here