Partai Demokrat kian gencar mempertahankan kedaulatan nyamelawan kelompok Kongres Luar Biasa (KLB) yang dijuluki ‘begal politik’. Partai di bawah komando Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) ini mengajak rakyat mengawasi di daerah.
“Mari kita selamatkan demokrasi dari para ‘begal politik’ di daerah masing-masing. Cegah perbuatan melawan hukum yang merusak demokrasi kita”, ujar Sekjen Partai Demokrat, Teuku Riefky Harsya kepada Rakyat Merdeka, kemarin.
Pernyataan ini merupakan bagian apresiasi pada dukungan masyarakat terhadap langkah Partai Demokrat, melawan kemunculan Ketua Umum Partai Demokrat versi KLB, Moeldoko. Demokrat merespons secara konstitusional dengan menyambangi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) hingga Komisi Pemilihan Umum (KPU). Tujuannya, menguatkan legalitas partai melalui hasil Kongres V Partai Demokrat, Maret 2020.
Setelah itu, kubu AHY kebanjiran dukungan. Mulai dari kalangan sesepuh Partai Demokrat hingga pegiat demokrasi. Dukungan dan aspirasi publik itu, salah satunya, ada yang menyalurkannya melalui mimbar bebas yang digelar di Kantor Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Demokrat.
Tidak hanya di Jakarta, Riefky juga mengajak masyarakat di daerah untuk mengawasi kegiatan yang dianggap ilegal. Yaitu, di luar struktur resmi kepemimpinan AHY. Apabila menemukan indikasi pelanggaran, masyarakat diharapkan melaporkan kepada kantor Partai Demokrat terdekat.
“Laporan tersebut akan kami teruskan ke aparat penegak hukum untuk diproses sesuai perundang-undangan yang berlaku,” imbaunya.
Riefky menjelaskan, kepemilikan lambang Partai Demokrat, termasuk panji-panjinya, telah didaftarkan dan diakui negara. Sesuai dengan nomor pendaftaran IDM 000 201 281 yang telah disahkan Direktorat Jenderal Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) Kemenkumham.
Ditegaskan, pemilik merek lambang Partai Demokrat tersebut adalah DPP Partai Demokrat yang beralamat di Jl. Proklamasi no. 41, Menteng, Jakarta Pusat, tempat di mana kepengurusan Ketum AHY berkantor.
Anggota Komisi I DPR ini juga mengingatkan, aturan hukum terhadap pelanggaran penggunaan atribut resmi parpol, yakni Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merk dan Indikasi Geografis. Di Pasal 100 ayat (1) disebutkan, setiap orang yang dengan tanpa hak menggunakan merk dengan merk terdaftar milik pihak lain, dapat dituntut pidana penjara paling lama lima tahun dan atau pidana denda paling banyak Rp 2 miliar.
“Kami mengingatkan para ‘begal politik’, berhentilah mengganggu kehormatan dan kedaulatan Partai Demokrat. Kita masih menghadapi krisis pandemi Covid-19 dan krisis ekonomi di berbagai daerah. Partai Demokrat ingin segera kembali fokus melakukan kerja-kerja politik, sosial dan kemanusiaan untuk membantu masyarakat,” tegasnya.
Merespons hal ini, salah satu tim inti KLB Partai Demokrat, Max Sopacua menganggap, warning itu sebagai sebuah kebodohan. Dia berkelakar, justru pelarangan penggunaan atribut itu tertuju kepada kubu AHY. Hal ini, didasari keputusan KLB yang telah mengangkat Moeldoko sebagai Ketua Umum Partai Demokrat.
“Itu pasnya untuk mereka. Karena mereka itu sudah didemisionerkan oleh Partai Demokrat, pimpinan Pak Moeldoko,” ujar Max kepada Rakyat Merdeka, kemarin.
Soal pelarangan penggunaan atribut ini, mantan penyiar TVRI itu menjelaskan, kebanyakan parpol justru memberikan baju berlambang partai ke rakyat untuk meningkatkan elektabilitas. Ini malah melarangnya. “Katanya meminta dukungan rakyat. Semua pihak kok melarang orang pakai lambang partai,” pungkasnya.
SUMBER : RM.ID