Saat meresmikan pengoperasian Kereta Rel Listrik (KRL) rute Yogyakarta-Solo, awal Maret lalu, Presiden Jokowi mengatakan, kelak seluruh transportasi massal di tanah air berbasis listrik. Pernyataan ini tidak hanya didasari pertimbangan efisiensi, tapi juga transportasi yang ramah lingkungan. Harapan Presiden Jokowi ini sesuai dengan komitmen Perjanjian Paris 2015 untuk mencegah suhu bumi tidak melewati ambang batas 2 derajat celsius.

Melalui UU No. 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement, pemerintah telah menetapkan target penurunan gas rumah kaca (GRK) sebesar 29 persen dengan upaya sendiri dan 41 persen dengan dukungan internasional hingga 2030. Salah satu strategi menurunkan GRK adalah dengan mengurangi pemakaian energi fosil (BBM) secara signifikan, dan percepatan transisi menuju energi baru terbarukan (EBT).

KRL Yogyakarta-Solo adalah awalan bagi pengembangan transportasi massal berbasis listrik, seperti halnya bus listrik. Elektrifikasi angkutan publik, utamanya bus, sudah dimulai di Jakarta dan Bali. Untuk mengejar target rendah emisi tahun 2025, Jakarta bersiap mengoperasikan sekitar 4.000 bus listrik, sementara di Bali pada tahap awal ini telah mengintrodusir layanan bus, taksi dan ojek (roda dua) daring berbasis baterai.

Pemerintah terus mendorong pemanfaatan transportasi publik berbasis listrik sebagai langkah strategis mengurangi emisi karbon. Selain untuk menciptakan lingkungan hijau, penggunaan transportasi publik berbasis listrik juga menunjukkan keseriusan pemerintah mendorong industri mobil listrik (electric vehicle) di masa depan. Apalagi mengacu pada Our World in Data (2020), transportasi global adalah pecemar utama, dan bertanggung jawab atas delapan miliar metrik ton emisi karbon dioksida atau 24 persen emisi CO2.

Untuk itu kebijakan pengurangan emisi CO2 pada sektor transportasi publik perlu didukung pasokan listrik dari sumber EBT. Kebijakan ini tidak akan mengurangi emisi secara signifikan jika tidak didukung pembangkit listrik bersumber EBT. Elektrifikasi transportasi tanpa penggantian pasokan listrik berbahan bakar fosil, sejatinya tidak akan berkontribusi pada mitigasi perubahan iklim.

Dalam mitigasi perubahann iklim, ikhtiar yang dapat ditempuh adalah dengan mengurangi jumlah emisi GRK di semua sektor, khususnya di sektor industri dan transportasi. Untuk kemudian memperbesar serapan GRK atau yang secara generik biasa disebut “dekarbonisasi”. Selanjutnya peta jalan dan regulasinya harus dijadikan acuan dan evaluasi bersama, mengingat kebijakan ini berkaitan langsung dengan isu perubahan iklim.

Meski saat ini tidak ada negara terhindar dari ketidakpastian ekonomi akibat pandemi Covid 19, dan kompleksitas ekonomi politik yang menghalangi penurunan secara signifikan emisi CO2 menuju netralitas iklim, dekarbonisasi transportasi harus terus dijalankan. Tahapannya bisa dengan pergeseran dari kendaraan pribadi ke transportasi publik bersumber energi ramah lingkungan seperti gas dan biofuel, untuk kemudian bergeser ke energi listrik sepenuhnya.

Pengendalian

Transisi ke transportasi rendah karbon ini tidak hanya penting untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), tapi juga pengendalian perubahan iklim. Komitmen pemerintah, utamanya di sektor transportasi bisa disimak dalam laporan Bappenas (2019), Pembangunan Rendah Karbon: Perubahan Paradigma Menuju Ekonomi Hijau di Indonesia. Laporan ini merupakan panduan dari pemerintah untuk pembangunan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan hingga tahun 2045, dijalankan berdasar komitmen rendah karbon.

Tentu tidak mudah menciptakan lingkungan yang mendukung dekarbonisasi transportasi dan mobilitas berkelanjutan. Harus ada upaya nyata dekarbonisasi tidak hanya penting untuk pemulihan ekonomi, tapi juga prospek transportasi berkelajutan dan masa depan iklim kita. Selain dapat meningkatan kualitas hidup, promosi seperti peralihan dari bahan bakar fosil ke mobilitas listrik dapat menciptakan lapangan kerja dan peluang ekonomi baru, juga penting dilakukan dengan kemitraan yang kuat antara sektor transportasi dan energi.

Seperti insentif pajak bagi mobil listrik yang diputuskan Menkeu Sri Mulyani baru-baru ini, harus dibaca sebagai upaya pemerintah dalam kemudahan investasi manufaktur kendaraan listrik, termasuk investasi industri baterai. Regulasi perizinan dan pajak yang semakin ramah, menjadi magnet investasi. Skema seperti ini mendapat respons positif dua raksaksa otomotif, yaitu Toyota (Jepang) dan Hyundai (Korea), untuk pengembangan mobil listrik di Indonesia.

Segala kemudahan itu diharapkan juga bakal menarik investasi untuk industri bus listrik, untuk mendorong percepatan elektrifikasi transportasi massal. Sejak tahun 2019, pabrikan bus listrik asal Cina (BYD Auto mobile), telah merintis kerjasama dengan korporasi dalam negeri dalam pengembangan bus listrik, dimana beberapa unitnya telah diujicobakan di Jakarta.

Berdasar perhitungan PT Transjakarta, bus bertenaga baterai (listrik) lebih kompetitif dari segi keekonomian. Biaya energi menggunakan bus listrik diperkirakan sebesar Rp 796 per kWh untuk tiap 1 kilometer (km). Biaya ini jauh lebih murah dibandingkan menggunakan bahan bakar diesel yang bisa mencapai Rp 2.575 per km dan gas Rp 2.067 per km (Bisnis.com, 25/9/2020).

Saatnya berbagai kebijakan pemeritah yang dapat mendorong dekarbonisasi yang efektif di sektor transportasi, baik angkutan penumpang maupun barang, perlu diarahkan pada dua sasaran. Pertama, mendukung pengurangan atau peralihan permintaan moda transportasi. Kedua, mempromosikan penyebaran kendaraan yang lebih bersih.

Mengurangi emisi transportasi bukan sekedar urusan investasi dan lingkungan yang mendukung, tapi juga visi, kepemimpinan, dan kemauan politik. Dengan tingginya persaingan global memperebutkan investasi berbasis ekonomi hijau, saatnya Indonesia harus berlari cepat meningkatkan mobilitas rendah karbon dan mempromosikan mobilitas elektronik.*

Penulis adalah Komisaris PT. PLN (Persero).

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here