Betapa buruk dan gegabahya penggunaan data Kemensos hingga jadi tercatat 16,7 Juta orang tanpa NIK (Nomor Induk Kependudukan)dan 1,06 Juta NIK ganda untuk data penerima bantuan sosial lainnya.
Kebobrokan serupa inilah yang lebih urgen diurus oleh Risma ketimbang blusukan yang cuma terkesan cuma membuat pencitraan saja.
Menteri Sosial Tri Rismaharini sudah bertemu tiga pimpinan KPK, Alexander Marwata, Nurul Ghufron, Nawawi Pomolango dan Deputi Pencegahan KPK kemarin. (Bisnis.Com
12 Januari 2021)
Pada intinya KPK mendesak Kementerian Sosial untuk memperbaiki data terpadu kesejahteraan sosial (DTKS) yang menjadi basis data bagi para penerima bantuan sosial.
Penemuan KPK pada 16,7 juta orang tidak ada NIK (Nomor Induk Kependudukan, juga di DTKS yang isinya 97 juta individu serta 16 juta lainnya tidak dapat diyakini ada atau tidak orangnya. Data ini dapat saja dihapus, tapi perlu dijadikan data telisikan, sebab masih ada 16 juta individu yang fiktif, tak jelas. Dan apa yang diungkap oleh Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan (Senin 11/1/2021) itu, dapat dijadikan bahan rujukan guna menguak permainan dari keculasan adanya kemungkinan penyimpangan bantuan sosial yang tidak pernah sampai pada mereka yang berhak.
Deputi tindak pencegahan perlu juga melakukan koordinasi terkait surat rekomendasi KPK pada 3 Desember 2020 tentang penyampaian Kajian Pengelolaan Bantuan Sosial yang miring itu. (Bisnis.Com 12 Januari 3021).
Usulan dan saran untuk mengganti data busuk itu dari Dukcapil (Ditjen Kependudukan dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri) perlu segera dilakukan agar kepastian ada Kartu Keluarga, meski yang masuk ke DTKS hanya 1 orang. Sebab data dari Dukcalil ini bisa sekaligus jadi dikoreksi ulang termasuk bagi mereka yang belum punya identitas diri atau kartu pebduduk guna ditertibkan.
Ditjen Dukcapil Kemendagri harus dan wajib ikut membantu memberi data dengan cepat dan akurat agar 3 juta data yang terus berubah dapat segera didapat kepastiannya.
Memang benar dan sungguh ajaib tatkala Kemensos bisa menggunakan data yang tidak valid hingga sebanyak itu. Maka itu wajar bila muncul kecurigaan dari berbagai pihak pada teknis pelaksanaan dari distribusi bansos itu ada kesengajaan guna mendapat keuntungan dari jumlah paket bansos yang tidak bisa didistribudikan itu. Karenanya, rincian jumlah distribusi paket bansos yang telah dilakukan sebelumnya perlu dicek ulang. Sebab bisa saja klaim yang telah dilakukan itu sejumlahbya tidak valid. Lantaran dari data yang valid saja telah banyak terjadi penyunatan dari nilai setiap paket bansos yang telah disalurkan itu sebelumnya.
Dari kasus yang menjerat Kemensos sebelumnya yang dibekuk KPK hingga masuk tahanan KPK bisa jadi sandingan, meski hanya dengan cara menggunting setiap paket bansos itu senilai puluhan ribu rupiah saja. Tapi total nilai jumlahnya, toh jadi ratusan milyar rupiah juga yang bisa dikantonginya.
Dari 16 juta orang penerima bansos yang tak jelas NIK itu berikut jumlah data ganda yang diklaim itu dan telah didistribusikan, jelas perlu ditelusuri siapa saja pelakunya, dan siapa yang terlibat. Sebab hak rakyat untuk menerima bansos itu secara keseluruhan telah dirugikan. Setidaknya atas nama bansos, uang rakyat pun telah dijadikan bancaan atas nama rakyat pula.