Apa yang saya khawatirkan, tatkala pemerintahan Angela Merkel berakhir: terjadilah. Di bawah kanselir wanita ini, Jerman memiliki wajah sebagai negara-bangsa yang industrialis-modern namun super-humanis. Konon Jerman adalah satu2nya negara di dunia yang hingga 2050, setiap tahun tetap membutuhkan 15% imigran baru untuk mengisi lowongan kerja di negara itu.

Industri negara ini sedemikian terbuka, maju, dan selalu jadi teladan kehidupan hijau yang ramah lingkungan. Ia tak saja mandiri dalam kebutuhan pangan, teknologi maju, tetapi terutama produk militernya. Ia juga bergerak menjadi, memenuhi ideologinya sebagai bangsa sosialis yang demokratis. Tatkala semua pintu masuk a negara tertutup bagi para pengungsi yang terusir dari negaranya. Contohnya saat rongrongan ISIS. Jerman adalah satu2nya yang membuka suaka. Walau tentu hanya untuk sementara.

Di bawah Merkel, Jerman berperan menjadi induk semang bagi banyak negara Eropa yang nyaris bangkrut, karena perubahan gaya hidup yang sok demokratis dan egaliter. Tapi sesungguhnya, hanya merubah etos dan mental mereka sebagai masyarakat modern yang pemalas, itungan, dan kolokan. Jerman menjadi negara yang menjadi buffer (penyangga) bagi banyak negara Eropa Timur yang tiba2 pasarnya menjadi terbuka dan kalau dibiarkan begitu saja, akan berakhir sebagai pengemis dan pecundang.

Intinya: Jerman di bawah Merkel adalah “ibu yang welas asih” bagi banyak negara, masyarakat, dan komunitas yang paria.

Penggantinya, Olaf Schloz sebenarnya bukanlah orang yang asing bagi Merkel. Ia adalah Wakil Kanselir dan bahkan pernah menjabat sebagai Menteri Keuangan dalam Kabinet di bawah Merkel. Tapi tetaplah ia adalah seorang pria, yang mewarisi watak machoistik lelaki Jerman. Salah satu janjinya, saat serah terima jabatan adalah ancamannya kepada Russia. Konsekuensi jika ia berani melanggar perbatasannya dengan Ukraina. Seolah tantangan terbuka, yang justru menyulut konflik tersebut benar2 terjadi.

Saat Schloz terpilih, publik mengabaikan fakta bahwa antara Merkel dan dirinya berasal dari dua partai yang berbeda. Scholz berada di partai Sosial Demokrat (SPD), sementara Merkel berada di partai Persatuan Demokratis Kristen Jerman (CDU). Ia berbeda dari rivalnya, Annalena Baerbock, politisi-perempuan dari Partai Hijau yang dianggap “Merkel Plus-Plus” saking ambisius dan agitatifnya. Sedang Schloz memiliki julukan yang unik sebagai “scholzomat” karena pidato bergaya kaku seperti robot.

Saya tidak tahu apa hubungan, atau pengaruhnya. Tapi demikianlah akhir2 ini kesebelasan2 Jerman disebut. Mainnya kayak robot, walaupun masih sering menang tapi permainannya tak enak lagi ditonton. Jerman jadi sering mudah kalah, baik di tingkat klub maupun tim nasional. Tim sepakbola Jerman masih ditakuti, tapi semakin mudah takluk dan disingkirkan dari suatu turnamen.

Bila dulu julukannya “Der Panzer” disematkan, walau selalu terlambat panas, namun selalu berakhir sebagai juara. Julukan ini, jadi kurang relevan lagi saat ini, mengingat tak semua pemain memiliki sisa karakter superioritas Aria ala-ala Nazi. Tapi sebagaimana umumnya tim Eropa mana pun, saat ini kesebelasan nasional mereka berisi pemain dari berbagai ras sebagai simbol multikulturalisme.

Hal terakhir ini pulalah, yang akhirnya berefek domino yang panjang. Sebagaimana trend terakhir, isunya makin melebar, dukungan terhadap apa yang disebut “Kelompok Pelangi”. Saya sejujurnya tak kunjung bisa memahami mengapa Pelangi digunakan sebagai simbol kaum LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender). Bagaimana mungkin sebuah lengkung spektrum warna di langit, yang hadir sesaa tkarena pembiasan sinar matahari oleh titik-titik air hujan. Sesuatu yang hanya sejenak dan segera menghilang justru diabadikan Atau (minimal) diharapkan untuk abadi dan diterima dalam kehidupan nyata!?

Saya bukan tidak paham, bahwa Qatar bisa menjadi tuan rumah penuh dengan kontroversi. Ia hanya sebuah negeri kecil, dengan penduduk sedikit. Namun dengan kekayaan uang berlimpah, sehingga ia bisa merusak semua pattern yang berlaku saat ini. Ia adalah negara berkembang, yang berani secara mandiri menyelenggarakan Piala Dunia, di tengah trend banyak negara saling berkolaborasi menyelengarakan karena alasan biaya. Terakhir bahkan negara semodern Jepang dan Korea pun melakukannya.

Banyak rumor, hal tersebut dimungkinkan karena “uang sogokan” yang luar biasa royal bagi Pengurus FIFA, atau negara2 lain yang bersedia jadi pendukung pencalonan mereka. Sesuatu yang harus dibayar mahal, mengingat baru kali ini, Piala Dunia digeser waktunya ke musim dingin di akhir tahun. Yang tentu saja merusak ritme kompetisi domestik maupun regional yang terjadi nyaris di sepenjuru dunia. Ini memang Piala Dunia yang aneh. Orang Jawa bilang sebagai “ora empan wayah” (tidak tepat waktu, tak tahu waktu).

Fakta utama yang sulit dipungkiri realitas inilah pertama kalinya ada negara Islam yang bisa menjadi tuan rumah Piala Dunia Sepakbola! Sesuatu yang seharusnya membanggakan! Tapi ternyata tidak.

Pada putaran awal, tak kurang 7 negara kontestan memaksakan kepentingan politisnya melalui Piala Dunia. Untuk menunjukkan dukungan pada Gerakan “Liberalisasi” LGBT. Sesuatu yang nyaris muskil diterima di Qatar, yang merupakan negara Islam yang sangat mengecam segaa hal yan berbau “penyimpangan seksual”, apalagi LGBT. Tak kurang dari FIFA sendiri bertindak secara halus, agar ketujuh negara tersebut melunakkan sikapnya untuk menghormati kearifan lokal yang dimiliki oleh tuan rumah.

Sialnya hanya Jerman satu dari ketujuh negara tersebut, yang bersikap mahiwal (baca: beda dewek). Keenam negara (Inggris, Wales, Belanda, Belgia, Denmark, dan Swiss) lainnya memilih untuk lebih besikap toleran. Sedang Jerman secara provokatif dalam sesi foto pada pertandingan pertamanya, ia berakting “menutup mulutnya”. Apa yang mereka anggap sebagai “pembungkaman”. Suatu ejekan dan hinaan yang nyata terhadap sikap tuan rumah.

Dan kita tahu, pada akhirnya pada pertandingan pertama melawan Jepang: mereka kalah. Suatu awal untuk membuatnya, kemudian tersingkir dari turnamen ini. Saya pribadi, tersingkirnya mereka adalah sesuatu yang sangat pantas. Saya kali ini, termasuk yang mengharapkan terjadi.

Pertama, itu hukuman bagi karakter kaku robotik ala Schloz, yang gemar mencampuradukkan semua perkara. Ia adalah seorang ambigu, yang tak bisa benar2 tegas bersikap independen. Dalam Perang Ukraina-Russia, demi hanya membebek sikap Joe Biden. Ia bersedia mengorbankan stabilitas ekonomi warga negaranya yang mengakibatkannya morat-marit, akibat biaya energi yang makin tak terjangkau. Yang berefek langsung ada nyaris semua kebutuhan biaa hidup;

Kedua, tentu saja pengaruhnya sangat besar terhadap partisipasi kesebelasan Jerman. Ia tiba-tiba kehilangan karakter humanis dan pekerja kerasnya. Para pemainnya hadir kehilangan semangat nasionalisme yang selama ini identik dengan mereka. Cara bermain bola mereka, seolah menghindarkan benturan kaki, sesuatu yang selama ini justru jadi cirinya. Tingkah polah mereka di lapangan seolah menguatkan ejekan publik. Bahwa pemain Jerman adalah suami idaman, karena gagah, pekerja keras, dan cepat pulang.

Ketiga, tentu saja ini hukuman bagi para tamu yang sok tahu dan tak peduli tata krama terhadap tuan rumah. Sopan santun, yang selama masa Merkel menjadi pembentuk karakter masyarakat Jerman. Seolah lenyap dalam Piala Dunia 2022 ini. Mereka tidak mau tahu, bahwa multikulturalisme harus diperjuangakan justru dengan mengedepankan watak dasar perbedaan itu sendiri. Bukan justru malah menghomogenisasinya.

Mereka mungkin harus belajar pada orang Minang: dimana bumi dipijak, di situ langit dijunjung.

Jerman memang tersingkir, tapi saya tetap senang. Sikap pertama dari publik mereka adalah munculnya kesadaran semua butuh introspeksi. Demikianlah semestinya cara bangsa besar menempa dirinya dan bersikap untuk melanjutkan hidupnya.

NB: Secara pribadi saya adalah penentang LGBT, karena kesadaran saya sebagai seorang bapak dari keluarga konservatif (baca: tradisional). Kehidupan modern yang harus saya jalani, tak harus merubah sikap saya tersebut. Hanya untuk disebut manusia modern dan tidak ketinggalan zaman. Sebagai seorang ayah, saya merasa perlu mewariskan pilihan hidup yang paling sederhana namun paling hakiki bahwa laki-laki harus berjodoh (Baca: kawin) dengan perempuan.

Dalam hal ini tak perlu mencari2 alasan pembenaran apa pun untuk perkawinan sejenis.

Hal tersebut tak ada hubungannya bahwa saya bisa memahami, bahwa di luar sana ada kehidupan yang lain. Bahwa ada gay yang bisa menjadi perdana menteri, ada seorang lesbian yang pejuang hak asasi manusia, ada banyak peran baik yang bisa dilakukan para bi-seksual atau mereka yang trans-gender. Itu realitas lain yang bisa saya terima dan barangkali bila memang pantas, pasti saya hormati. Tapi biarlah itu ada di luar lingkaran keluarga inti saya.

Apa yang baik di luar keluarga inti saya, tentu saja tak harus baik bagi keluarga inti saya sendiri. Biarlah yang di luar tetap di luar sana!

Tulisan yang diminta sahabat saya, mas Suharyoto, priyayi Indramayu yang sekarang tinggal di Sulawesi Selatan.

Penulis

Andi Setiyono Mangunprojo

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here