Beberapa catatan kritis isu perburuhan di sepanjang tahun 2018.

Oleh: SM

Pengupahan

Peraturan Presiden (PP) Nomor 78 tahun 2015 tentang pengupahan sangat berpihak kepada kepentingan pengusaha.

Kebijakan tersebut telah mendegradasi dan membatasi peran serikat buruh yang terakomodir dalam lembaga teripartit yang kita kenal dengan Dewan Pengupahan.

Lembaga tersebut kini tidak memiliki gigi, tidak lebih hanya sebuah simbol dan sekedar formalitas adanya.

Dengan adanya PP 78/2015 kenaikan upah buruh dibatasi dan diseragamkan, semua sudah dipatok oleh tingkat inflasi nasional. Maka PP tersebut sudah sangat layak untuk ditolak.

Penolakan terhadap PP tersebut dengan beberapa alasan yang kuat dan berdasar:

1. Serikat Buruh Tidak Dilibatkan Dalam Menetukan Kenaikan Upah Buruh

Keterlibatan serikat pekerja dalam menentukan kenaikan upah merupakan sesuatu yang sangat prinsip. Di seluruh dunia, kenaikan upah selalu melibatkan serikat pekerja. Dengan menetapkan formula kenaikan upah sebatas inflasi ditambah pertumbuhan ekonomi, maka pemerintahan Jokowi – JK telah merampas hak serikat pekerja untuk terlibat dalam menentukan kenaikan upah minimum. Ini bertentangan dengan UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, UU No. 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Buruh dan Konvensi ILO No. 87 tentang kebebasan berserikat.

Sejak 1982 di jaman orde baru, Serikat Pekerja dilibatkan dalam survey pasar untuk menentukan nilai Kebutuhan Fisik Minimum (KFM).

Baru kemudian berunding untuk menentukan besarnya upah minimum, yang salah satu acuannya adalah hasil survey yang dilakukan secara bersama-sama. Hal ini tidak akan terjadi lagi apabila PP Pengupahan diberlakukan, karena yang menetapkan besarnya inflasi dan pertumbuhan ekonomi adalah Pemerintah (Badan Pusat Statistik).

Bahwa PP Pengupahan merupakan kebijakan yang memiskinkan buruh dan pengancam demokrasi dalam hal kebebasan berserikat.

Pada masa Orde Baru, Serikat Pekerja dilibatkan dalam kenaikan upah minimum melalui mekanisme tripartit.

2. Standar Kenaikan Upah Yang Sangat Tidak Adil

Dengan kenaikan upah berdasarkan PP 78/2015 yaitu kenaikan upah ditentukan hanya sebatas inflansi + pertumbuhan ekonomi tidak berdasarkan KHL, maka setiap tahun penyesuaian upah di Indonesia hanya dalam kisaran 10 persen (bahkan bisa lebih kecil). Padahal harga kebutuhan pokok di Indonesia penuh dengan ketidakpastian.

Kenaikan upah bruh berkisar Rp1,45 – 3,91 juta. Berbeda dengan sejumlah negara ASEAN yang merevisi standar upah minimal lima tahun sekali, Indonesia mengubahnya setiap tahun sekali berdasarkan indikator pertumbuhan ekonomi dan inflasi.

Standar upah minimum buruh di Indonesia memiliki variasi ekstrem, misalnya DKI Jakarta tahun 2018 Rp 3.648.035 sedangkan Karawang Rp 3.919.291,19. dan Bekasi Rp 3.915.353,71. Ditahun 2019 dengan kenaikan upah sebesar 8,03% maka DKI Jakarta menjadi Rp 3. 940.972. Maka Karawang menjadi RP 4.234.010 dan Bekasi menjadi 4.229.755.

Dengan standar kenaikan yang diseragamkan yaitu 8,03% dengan tidak berdasarkan KHL, bagaimana mungkin buruh DKI hidupnya lebih layak dari buruh Karawang dan Bekasi.

Penentuan upah minimum di tingkat kabupaten/kota bisa berbeda. Kota Bekasi dan kabupaten Karawang memiliki standar upah lebih tinggi dari standar upah provinsi Jawa Barat.

3. PP Pengupahan Didalangi “Pengusaha Hitam” Yang Serakah Dan Rakus

Dalam paket ekonomi jilid I s.d III, Pengusaha sudah mendapatkan semua kemudahan yang mereka inginkan. Serikat pekerja pun mendukung langkah pemerintah untuk melindungi dunia usaha dengan penurunan tarif listrik untuk industri, gas untuk industri, dan memberikan bantuan/kemudahan bagi pengusaha yang tidak melakukan PHK terhadap pekerja. Tetapi dalam paket ekonomi jilid IV, yang diterima kaum pekerja seperti susu dibalas air tuba.

Kenaikan upah dibatasi hanya sebatas inflansi dan pertumbuhan ekonomi, dan bisa dipastikan nilainya akan sangat kecil sekali. Dengan kata lain, pemerintah telah membuat kebijakan yang berorientasi terhadap upah murah. Kebijakan seperti ini curang dan tidak adil bagi buruh.

4. Formula Kenaikan Upah Minimum Yang Diatur Dalam PP Pengupahan Bertentangan Dengan Konstitusi.

Bahwa berdasarkan UUD 1945 Pasal 27 ayat (2) “tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusian, dan Pasal 28D ayat (2) “setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.

Hal yang sama juga ditegaskan dalam UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.

Dalam PP No 78/2015 memuat bahwa Formula kenaikan upah minimum ditetapkan berdasarkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi, hal ini mengakibatkan penetapan upah minimum tidak lagi berdasarkan KHL (Kebutuhan Hidup Layak);
telah mereduksi kewenangan Gubernur serta peran SerikatPekerja/Serikat Buruh dalam penetapan upah minimum.

Adapun instrumen untuk memenuhi hidup layak itu adalah KHL. Tetapi dengan adanya PP Pengupahan tersebut, KHL tidak lagi dipakai sebagai salah satu acuan untuk menetapkan kenaikan upah minimum. Memang, besarnya KHL akan ditinjau setiap 5 tahun sekali. Tetapi karena kenaikan upah minimum sudah diikat hanya sebesar inflasi + pertumbuhan ekonomi, maka keberadaan KHL (meskipun ditinjau setiap 5 tahun sekali) tidak akan berarti. Kebijakan seperti ini hanya akal-akalan.

PP No 78 tahun 2015 tentang Pengupahan telah melanggar Pasal-pasal dalam UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan yaitu sebagai berikut : Pasal 1 ayat (30), Pasal 4 huruf d, Pasal 88 ayat (1), ayat (2), ayat (3) huruf a, Pasal 89, Pasal 89 ayat(1), ayat (2),ayat (3) huruf a dan ayat (4), Pasal 98.

Berdasarkan catatan diatas maka ada sebuah pekerjaan rumah serikat buruh yaitu:

Bekerja keras, bahu – membahu untuk memaksa pemerintah untuk mencabut dan membatalkan pemberlakuan PP No 78 Tahun 2015 Tentang Pengupahan;

Tidak memberlakukan Formula Kenaikan Upah Minimum berdasarkan Inflasi ditambah pertumbuhan ekonomi (PDB);

Serikat pekerja/serikat buruh, melalui wakilnya yang duduk dalam Dewan Pengupahan, harus dilibatkan dalam menentukan kenaikan upah minium. Dengan kata lain, pada prinsipnya, kenaikan upah minimum wajib dirundingkan dengan Serikat Pekerja/Serikat Buruh;

Menuntut agar komponen KHL yang saat ini ada 60 items ditingkatkan menjadi 84 items. Dengan demikian merupakan langkah yang tepat untuk memastikan agar daya beli tetap terjaga;

Menuntut agar struktur dan skala kenaikan upah menjadi wajib dilaksanakan (dan menuntut adanya sanksi pidana bagi yang tidak menjalankannya), terutama bagi pekerja/buruh yang memiliki masa kerja diatas 1 tahun.

Jaminan Pensiun

Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 45 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Pensiun juga sangat berpihak kepada pengusaha.

Dalam PP tersebut, iurannya hanya 3 persen. Sangat jauh di bawah Singapura (33 persen), Malaysia (23 persen), dan Vietnam (25 persen). Sudah begitu, manfaat uang yang didapatkan buruh kecil sekali, yakni hanya 15-40 persen dari gaji yang diterima.

Hal tersebut, tidak sesuai dengan prinsip dasar jaminan pensiun yang seharusnya memastikan pekerja dan keluarganya tetap mendapat penghasilan layak meski tidak bekerja lagi.

Karena jaminan pensiun dan JHT kecil, dengan manfaat yang kecil pula.

Jaminan Kesehatan

Pemerintahan Jokowi belum membuat perubahan signifikan terkait pelaksanaan jaminan kesehatan nasional. Dalam hal ini, program Kartu Indonesia Sehat (KIS).

Masalahnya, masih banyak orang miskin yang tidak masuk dalam kategori penerima bantuan iuran (PBI) dari negara. Program BPJS, khususnya soal kualitas pelayan dan hak lainnya, dianggap masih bermasalah oleh buruh.

Sekakang ini, baru 155 juta orang yang terdaftar sebagai peserta BPJS. Masih ada 100-an juta rakyat Indonesia yang belum ter-cover program jaminan kesehatan.

Masalah Outsourcing, Guru Honorer, PRT dan Buruh Migran

Pemerintahan Jokowi-JK belum serius dalam memperhatikan nasib buruh outsourcing. Ini terlihat pada nasib buruh outsourcing BUMN yang masih terkatung-katung.

Terkait nasib guru honorer, hanya memberikan angin surga. Buktinya, nasib guru honorer belum jelas hingga sekarang.

Nasib Pembantu Rumah Tangga (PRT) dan buruh migran juga belum mendapat perhatian serius. Terbukti, misalnya, RUU PRT belum disahkanMasalah buruh migrant dan PRT juga tidak mendapat perhatian serius pemerintahan Jokowi. Juga revisi UU Perlindungan buruh migran belum menjadi prioritas.

Lemahnya Proteksi Buruh Perempuan.

Kondisi buruh perempuan, khususnya di sektor tekstil dan garmen, masih memprihatinkan. Mereka digaji di bawah UMP dan dipersulit untuk mendapat cuti haid dan hamil.

Keberpihakan pada Investor dan TPP

Untuk memanjakan investor Pemerintahan Jokowi membuat kebijakan yang terdiri dari 16 Paket Kebijakan.

Dari semua paket yang berjilid – jilid tersebut ada satu paket yaitu Paket Kebijakan jilid IV yang dibuat seolah – olah pemerintah berpihak kepada buruh.

Paket Kebijakan pemerintah jilid IV isinya antara lain: Menentukan tentang penetapan formulasi penetapan UMP yang ditujukan untuk membuka lapangan kerja yang diperluas dan meningkatkan kesejahteraan pekerja.

Paket Kebijkan IV tersebut yang kemudian diikuti atau dilengkapi dengan lahirnya PP Nomor 78 Tahun 2015.

Kebijakan Jokowi ini hanya untuk menggaet semakin banyak investor dengan mengabaikan hak-hak buruh/serikat buruh.

Tidak hanya itu, hal tersebut menunjukan bahwa pemerintahan Jokowi tunduk pada perjanjian perdagangan bebas, baik Free Trade Agreement (FTA) maupun Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA).

Sudah begitu, sepulangnya dari AS baru-baru ini, Jokowi berkomitmen membawa Indonesia masuk dalam perjanjian Trans Pasific Partnership (TPP).

Perjanjian perdagangan bebas, seperti MEA, RCEP, dan TPP, mengharuskan negara memberikan perlindungan maksimal terhadap investasi dan membuka akses untuk investor asing di seluruh sektor ekonomi hingga 100 persen.

Jaminan maksimal untuk melindungi investasi itu berdampak pada larangan kepada pemerintah untuk membuat aturan yang bertentangan dengan kepentingan investor. Termasuk peraturan yang terkait dengan perlindungan upah buruh.

Kalau ada peraturan yang dianggap merugikan investor, maka negara dapat diguat oleh investor dan dituntut ganti rugi senilai milyaran dollar AS melalui mekanisme Investor-State Dispute Settlement (ISDS).

Berikut ini beberapa rekomendasi agar dapat dibuat menjadi sebuah tuntutan:

Pertama, pembentukan Pansus Upah untuk mencabut PP nomor 78 tahun 2015 karena telah membatasi upah dan menghilangkan hak berunding kaum buruh dalam penetapan upah minimum.

Kedua, naikkan iuran jaminan pensiun dan manfaat program jaminan pensiun seperti yang diterima oleh PNS, yakni 70 persen dari gaji ketika memasuki usia pensiun.

Ketiga, hapuskan sistim kerja outsourcing dan angkat seluruh pekerja outsourcing, khususnya outsourcing BUMN, sesuai dengan rekomendasi Panja DPR tahun 2014 lalu.

Keempat, pengangkatan semua guru dan tenaga honorer menjadi PNS sesuai kesepatan DPR dan Kemenpan RI.

Kelima, revisi UU perlindungan TKI/buruh migran.

Berdasarkan catatan diatas maka ada sebuah pekerjaan rumah bagi serikat buruh yaitu:

Bekerja keras, bahu – membahu untuk memaksa pemerintah untuk mencabut dan membatalkan pemberlakuan PP No 78 Tahun 2015 Tentang Pengupahan dan tidak memberlakukan Formula Kenaikan Upah Minimum berdasarkan Inflasi ditambah pertumbuhan ekonomi (PDB);

Serikat pekerja/serikat buruh, melalui wakilnya yang duduk dalam Dewan Pengupahan, harus dilibatkan dalam menentukan kenaikan upah minium. Dengan kata lain, pada prinsipnya, kenaikan upah minimum wajib dirundingkan dengan Serikat Pekerja/Serikat Buruh;

Menuntut agar komponen KHL yang saat ini ada 60 items ditingkatkan menjadi 84 items. Dengan demikian merupakan langkah yang tepat untuk memastikan agar daya beli tetap terjaga;

Menuntut agar struktur dan skala kenaikan upah menjadi wajib dilaksanakan (dan menuntut adanya sanksi pidana bagi yang tidak menjalankannya), terutama bagi pekerja/buruh yang memiliki masa kerja diatas 1 tahun.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here