Prof. Dr. Muchtar Pakpahan S.H., M.A., Ketua Umum DPP SBSI

JUDUL di atas menggambarkan suasana akhir tahun 2017 dari saya sebagai bentuk wajah perburuhan (Ketenagakerjaan) dan juga ungkapkan serta harapan memasuki tahun 2018. Catatan ini diawali dari mengutip data yang diungkapkan Menteri Ketenagakerjaan, Hanief Dhakiri yang mengatakan tiga tahun lalu jumlah buruh yang berserikat berkisar sebanyak 4,3 juta-an. Namun di tahun ini (2017) angka itu turun menjadi 2.7 juta. Itu artinya, berkurang sebanyak 1,6 jutaan.

Sebelumnya jumlah serikat buruh di perusahaan mencapai 14 ribuan dan saat ini turun menjadi 7 ribuan. Sementara itu pada saat yang sama, jumlah federasi dan konfederasi serikat buruh terus bertambah yang menandai tingginya polarisasi dalam gerakan buruh. Penurunan jumlah buruh menjadi anggota Serikat Buruh dan penambahan jumlah Serikat Buruh (SB) tentu memprihatinkan. Sebab, dua keadaan itu melemahkan peranan SB itu sendiri, Sejatinya SB merupakan sarana perjuangan memperbaiki kehidupan buruh.
Menurut saya ada tiga keadaan penting penyebab mengapa hal tersebut terjadi.

Pertama, dampak dari peraturan perundang-undangan (Legal effect ) yaitu UU no 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja dan Serikat Buruh. UU mendefenisikan Serikat Buruh adalah Serikat Buruh Tingkat Perusahaan (SBTP) sehingga lanjutannya memberi kebebasan yang sebebas-bebasnya. Draft awal (asli) RUU tentang Serikat Buruh itu berjenjang.

Ada SBTP minimal mempunyai 10 orang anggota disuatu perusahaan atau tempat kerja. Ada SB Kota dan Kabupaten (dulu daerah tingkat dua) gabungan dari minimal 10 SBTP dengan 200 anggota. Ada SB Provinsi (dulu Daerah tingkat I) gabungan dari minimal 3 SB Kota atau Kabupaten setara 1/3 bagi yang lebih dari 10 Kota atau kabupaten. Ada SB Nasional yang gabungan dari minimal 1/3 SB Provinsi.

Selanjutnya untuk mempermudah jalannya roda organisasian dibentuk Tripartit. SB Nasional bergabung dalam Dewan Buruh Nasional, SB Provinsi bergabung dalam Dewan Buruh Provinsi dan SB Kota atau Kabupaten bergabung dalam Dewan Buruh Kota atau Kabupaten.
UU no 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang melegalkan buruh outsourcing dan buruh kontrak. Kedua status ini menimbulkan dua hal negatif yakni penderitaan bagi buruh dan takut menjadi anggota serikat buruh.

UU no 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial yang konsep Hakim Ad Hok adalah lanjutan peningkatan dari P4D dan P4P sebelumnya, dimana anggota P4D dan P4P tetap pengurus Serikat Buruh, berubah menjadi Hakim Ad hok adalah professional, tidak boleh duduk di serikat dan berijazah S1. Fakta ini sangat sulit mencari yang berijazah S1 dan sekaligus memiliki komitmen kuat memperbaiki kehidupan buruh. Tetapi SB harus menyediakannya, sehingga banyak kader terbaik yang memilih dan dijadikan hakim dan kemudian takut ikut dalam jabatan di Serikat Buruh.

Kedua, dampak dari kebijakan pemerintah berupa keluarnya PP no; 78 tahun 2015 tentang Pengupahan, sangat signifikan melemahkan peranan Serikat Buruh. Ini berdampak melemahkan SB dan selanjutnya melemahkan semangat buruh masuk menjadi anggota SB.
Penegakan hukum pidana juga lemah. Union Busting sangat banyak terjadi tiga tahun ini. Padahal ada pidana yang diatur dalam Pasal 43 UU no 21 tahun 2000 Minimal 1 tahun dan maksimal 5 tahun, ditambah denda Rp. 100.000.000, hingga Rp. 500.000.000 bagi yang melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) atau mendemosi, serta menskorsing pengurus dan anggota SB.

Kemudian dari Kementerian Ketenagakerjaan sering mengirim saksi ahli yang sejatinya tidak ahli dalam kesaksiannya hingga membebaskan pelaku yang melakukan PHK. Alhasil, semua pelaku PHK tidak ada pengusaha yang terpidana. Begitu juga pidana yang diatur dalam Pasal 183-189 UU no 13 tahun 2003 umumnya mengenai pengupahan juga tidak pernah ada yang dipidanakan. Lemahnya komitmen penegakan hukum pidana perburuhan di Kementerian Ketenagakerjaan dan di Kepolisian serta kejaksaan.

Tetapi sebaliknya, komitmen mempidanakan buruh yang melakukan kesalahan atau yang dapat disalahkan umumnya pasal karet 335 KUHP. Di banyak negara, ada anggaran dari Negara untuk penguatan SB yang berperan membantu membiayai pendidikan latihan, konsolidasi dan advokasi. Tetapi di Indonesia hingga sekarang catatan saya, Anggaran negara ada tersedia memberangus Serikat Buruh.

Ketiga, perilaku Pemimpin SB yaitu dengan adanya beberapa pemimpin dan pengurus yang ikut menyumbang menurunnya keagngotaan Serikat Buruh. Ia melakukan kejahatan SB. Ada lima tindakan pengurus dan pemimpin serikat buruh yang termasuk klassifikasi kejahatan yakni, Menyetujui PHK, Menggelapkan uang organisasi atau uang anggota, Menelantarkan anggota yang berkasus, Berunding mewakili anggota tanpa persetujuan atau sepengetahuan anggota yang bermasalah dan Menyuarakan yang berlawanan dengan kepentingan buruh.

Banyak pengurus Serikat Buruh melakukan 5 kejahatan di atas yang sangat signifikan menyumbang menurunnya anggota Serikat Buruh. Selanjutnya, motivasi idiologi yang merusak.

Ada tiga motivasi menjadi pengurus Serikat Buruh. Motivasi komimen ingin memperbaiki kehidupan buruh. Ini pada umumnya dilakukan pemilik idiologi kiri tengah, yang pada dasarnya idiologi sosial demokrat. Ini yang secara umum Genuine Union (Serikat Buruh Sejati). Motivasi pragmatis yang ingin memenuhi kepentingannya. Prilaku ini pada umumnya motivasi politik dan bisnis yang ingin memakai Serikat Buruh menjadi lompatan jabatan politik.

Motivasi tanpa tujuan. Ini umumnya SBTP mandiri, yang pendirian organisasi ini diprakarsai oleh pemilik dan atau Manajemen perusahaan. Serta secara umum pendirian SBTP berkoordinasi baik dengan oknum-oknum di dinas ketenagakerjaan.
Tak hanya itu saja, banyak pelanggaran etika. Ada beberapa kelakuan yang sebenarnya termasuk pelanggaran etika serikat buruh yaitu mempunyai kedudukan yang memiliki konflik kepentingan, seperti pemimpin perusahaan, pemilik saham, pengusaha pengerah tenaga kerja outsourcing dan buruh kontrak dan lainnya. Keluarga yang tidak mendukung seperti bercerai, pasangannya marah-marah setiap aktif di serikat hingga mempunyai isteri lebih dari satu.

Di SB sebagai gerakan kiri, ada nilai yang menyatakan bahwa mengurus buruh ibarat mengurus keluarga. Kalau mengurus keluarga gagal, mengurus serikat dia akan gagal. Kalau dia mempunyai dua isteri, akan sering mengalami konflik bathin yang akhirnya tidak fokus dan tidak tulus mengurus anggotanya. Di gerakan kiri adalah tabu bercerai dan tabu beristeri atau bersuami lebih dari satu.

Keempat, Kelemahan pribadi Hanief Dhakiri selaku Menteri Tenaga Kerja yang mempunyai pekerjaan dan kedudukannya politis dan juga teknis. Dari aspek teknis, sebagai Menteri Hanif harus sudah faham tentang perundang-undangan Hubungan Industrial, konvensi-konvensi ILO dan kebijakan-kebijakan IMF (International Monetary Fund), WB (World Bank) dan WTO (World Trade Organization) terkait perburuhan.Pengetahuan itu dapat diperoleh dari bidang studi yang ditekuni, dari pengalaman kerja dan aktivitas di masa lalu, serta komitmen kuat dibidang ketenagakerjaan.

Baca Juga: http://sbsinews.id/catatan-akhir-tahun-atlantika-institut-nusantara/

Sewaktu Hanief Dhakiri diangkat menjadi Menteri Ketenagakerjaan, saya yakin hubungan industrial kita akan semakin merosot. Hanief Dhakiri tidak memiliki latar belakang satupun dari tiga tadi, sementara sebagai Menteri dia dikelilingi para Birokrat di Kementerian Ketenagakerjaan dan dinas-dinas Ketenagakerjaan yang hatinya tidak memihak buruh, melainkan cari tambahan penghasilan. Perkiraan saya itu menjadi kenyataan, ditambah sadar atau tidak sadar kebijakan Hanief Dhakiri sebagai Menteri Ketenagakerjaan mengadu domba serikat buruh atau paling sedikit secara administrasi memelihara perpecahan.

Kasus KSPSI, diterima dua Pimpinan KSPSI, Ketua Umum KSPSI Yoris Rawawea dan Presiden KSPSI Andi Gani Nuawea. Melanggar Pasal 19 UU no 21 tahun 2000. Kemudian kasus SBSI, Kementerian Ketenagakerjaan tidak menghormati putusan Mahkamah Agung Nomor 378K/Pdt.Sus-HKI/2015, yang diktumnya melarang KSBSI dan federasi-federasinya menggunakan nama SBSI, logo SBSI, Mars SBSI dan Tridharma SBSI.

Tetapi Kementerian menyatakan hanya tunduk pada Pasal 19 UU no 21 tahun 2000, sehingga KSBSI dan federasinya yang ilegal menjadi seolah-olah legal dari sikap formal administratif Menteri Ktenagakerjaan. Sejak tahun 1978 saya menjadi aktivis buruh, sudah berinteraksi dengan 11 Menteri Tenaga Kerja, secara umum kemampuan Hanief Dhakiri lah yang paling lemah. Dan saat inil sebenarnya komplikasi hubungan industrial yang paling kompleks tetapi tidak terungkap karena bersamaan Serikat Buruh sedang berada pada titik terlemah. Harapan Menyongsong tahun 2018. Normalnya, tentu 3 tahun ini sudah cukup bagi Hanief Dhakiri memahami Ketenagakerjaan khususnya hubungan industrial.

Diharapkan, Menteri Ketenagakerjaan Komit menegakkan hukum perburuhan atau Ketenagakerjaan. Ada perasaan prihatin melihat kondisi hidup buruh Indonesia yang tetap menderita, miskin dan tertindas, sehingga ada kemauan bangkit mau bertindak adil dan mensejahterakan buruh dan meyakini Serikat Buruh kuat adalah mitra yang paling baik bagi pemerintah dan Apindo dan Kadin. Karena itu persatukanlah serikat buruh untuk menjadi mitra yang kuat. Bentuk Dewan Buruh Nasional, Dewan Buruh Provinsi dan Dewan Buruh Kota dan Kabupaten.

Ditulis Oleh: Prof. Dr. Muchtar Pakpahan S.H., M.A.

Guru Besar Pengajar Hukum Perburuhan Pascasarjana UKI/ Ketua Umum DPP SBSI

NB: (Opini Ini dilansir dari halaman portal berita SBSInews.com)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here