Kesaksian untuk usia SBSI (Serikat Buruh Sejahtera Indonesia) yang lahir pada 25 April 1992 perlu diberikan gerakan perlawanan yang dilakukan kaum buruh bersama aktivis buruh pada kekuasaam rezim Orde Baru berkuasa cukup diketahui banyak orang betapa represif kerasnya melalukan penekanan terhadap sumua reaksi dari rasa tidak suka rakyat pada kebijakan rezim pemerintah yang selalu ingin memaksakan kehendaknya. Termasuk bagi buruh dan serikaat buruh.
Atas dasar itulah SBSI dilahirkan oleh sejumlah tokoh seperti Muchtar Pakpahan dan Abdurachman Wahid serta sejumlah aktivis dan eksponen kaum buruh lain di Cisarua, Bogor.
Ketika itu organisasi buruh pun yang boleh ada hanya Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI). Organisasi ini pun sepenuhnya dalam kendali pemerimtah.
Jadi kalau sekarang ada ratusan jenis serta model dari organisasi buruh, jelas semua itu berkat upaya perlawanam SBSI besama elemen pergerakan rakyat lain hingga klimak terjadinya gerakan reformasi 1998.
Sebelum itu, akibat dari seruan mogok kaum buruh secara nasional yang dilakukan SBSI tahun 1994 Ketua Umum SBSI Muchtar Palpahan dan Sekretaris Jendral SBSI Sunarty ditangkap di Semarang. Sedangkan pemogokan buruh secara nasional terjadi luar biasa dakhsyatnya di Medan, Sumatra Utara, hingga menelan korban buruh bernama Rusli dan ditangkapnya sejumlah aktivis buruh dan fungdional SBSI di Sumatra Utara. Karena mereka yang juga ditangkap dari Pematang Siantar yang dominan kuam perempuan itu berjumlah 38 orang.
Dalam periode inilah 1994 – 1996 masa pergolakan SBSI paling seru dan penuh dinamika melawan rezim pemerintahan Soeharto. Karena tidak lama kemudian sejumlah aktivis lain seperti Sri Bintang Pamungkas pun diamankan. begitulah istilah santunnya yang dilakukan Orde Baru.
Ragam model dan dinamika perlawanan SBSI dikreasi bersama sedemikian rupa, sehingga populer dengan istilah manajemen dari tata organisasi yang terbuka, khusus dan spesial untuk semua kaum pergerakan.
Karena itu tidak heran ketika itu SBSI menjadi semacam pusat atau sentral dari mobilisasi semua elemen kaum pergerakan.
Simpul-simpul pergerakan yang ada di Jakarta seperti Pijar khususnya ikut membangun gerakan bersama dalam koodinasi yang baik dengan segenap person yang ada di semua daerah, Misalnya dengan kawan-kawan Percik di Jawa Timur, LBH Nusantara, Bandung serta Serikat Tani Nasional yang berbasis di Garut seakan sepakat membangun jaringan untuk ikut saling memperkuat gerakan perlawanan bersama rakyat.
Saat menuju momentum gerakan reformasi 1998, SBSI terus melakukan penyadaran melalui melalui pendidikan, pelatihan tidak cuma melalui model yang formal, maka itu ada Teatet Buruh SBSI yang ikut menggedor kesararan warga kampus dengan mementaskan trahika kaum butuh di UGM (Universitas Gajah Mada) dan Kampus IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. itulah sebabnya banyak kalangan aktivis kampus yang krmudian merapatkan diri bersama SBSI.
Gerakan dari kebersamaan itu seperti terwujud dalan relly unjuk rasa betsama dari Jakarta memuju Medan Sumatra Utara dalam rangka memberi dukungan pada persidangan perdana sejumlah aktivis buruh yang dikriminalisasi oleh rezim penguasa ketika itu. Dalam peradilan yang kriminal ini pun diantaranya juga akan diberi vonis yanh berat adalah Ketua Umum SBSI Muchtar Pakpahan.
Ragam model dan gerakan perlawanan SBSI ketika itu pun mampu dilakukan secara legal formal dengan menggugat pihak Kepolisian Resort Jakarta Selatan (Polres) dan SBSI menang atas keculasan pihak Polres Jakarta Selatan yang membatalkan secara sepihak pementasan Teater Pabrik dari SBSI di Gelanggang Olah Raga Bukungan Jakarta Selatan itu.
Catatan sejarah perjalan SBSI bersama kaum butuh serta segenap aktivis pergerakan lain perlu diberikan, bukan saja untuk dapat dijadikan bahan renungan bagi aktivis dan fungsionaris SBSI yang ada sekarang sudah ada dalam empat peniuru angin, tetapi juga dapat dijadikan tujukan pembanding bagi oraganisasi buruh yang ada di Indonesia sekarang, mengapa jumlahnya organisasi buruh seakan bisa lebih banyak jika mau dibanding dengan jumlah kaum buruh Indonesia yang ada.
Ini sungguh ironi, justru terjadi setelah 27 tahun usia SBSI dan 20 tahun lebih sejak reformasi digulir-gulirkan. Padahal, SBSI dan reformasi sangat mustahil bisa lahir lagi untuk kedua kalinya.
Jadi dalam kalkulasi matematisnya, hanya dalam tempo 7 tahun saja –1992-1998— bisa membuat gerakan besar sedakhsyat reformasi. Meski reformasi itu sendiri tidak bijak untuk diklaim atas jarih payah SBSI sendiri. Karena tidak sedikit jumlah elemen pergerakan lain yang juga telah berdarah-darah karenanya. *
Penulis : Jacob Ereste
Editor : SBSINews