“Aim for the sky and you’ll reach the ceiling. Aim for the ceiling and you’ll stay on the floor.” (Bill Shankly)
Desa yang dilingkari perbukitan itu, kini menjadi Heritage Village. Glenbuck, di Ayrshire, sebuah desa yang dikeliling bukit-bukit dan tumpukan menhir berada di tengah-tengah Scotland. Pada tahun ketika William Shankly (Bill Shankly) lahir, 1913, penduduk desa para penambang itu masih sekira 700-an orang. Tapi pada tahun 1976, ketika John Roberts, ghost writer Shankly mengunjungi Glenbuck, ia terkejut menatap jalan sepi di lembah itu. Hanya tinggal 12 rumah saja! Dalam kurun 63 tahun penduduk Glenbuck sudah banyak yang minggat. Satu dari 12 rumah itu milik Elizabeth, saudari perempuan Bill Shankly. Karena itu John Roberts menyebut Elizabeth sebagai “anak terakhir dari anak-anak Glenbuck.”
Kehidupan di Glenbuck memang keras. Warga umumnya bekerja di tambang-tambang. Saking kerasnya sebagian mereka kemudian pergi dan bertarung ke tempat lain, untuk hidup lebih baik. Ayah Bill Shankly yang semula adalah petugas kantor pos, kemudian harus banting setir menjadi penjahit. Tapi kehidupan tidak juga menjadi lebih baik. Dalam autobiographynya, Bill Shankly mengakui tentang hidup yang berat di Glenbuck, terutama pada musim-musim dingin, dan membuatnya bersama beberapa teman harus mencuri sayur-sayuran, roti, biskuit, dan buah-buahan dari gerobak buah-buahan yang lewat. Semua itu, dengan jujur dan menyesal, ia akui karena satu sebab: Kelaparan.
Tahun 1928, setelah ia menyelesaikan sekolahnya di usia 15 tahun, ia bekerja di tambang batubara. Ia menggambarkan neraka kehidupan buruh tambang secara panjang lebar. Kerja keras, tikus, kesulitan makan dan minum di muka batu bara. Yang paling buruk adalah kotoran para buruh tambang karena tidak pernah benar-benar bersih.
Kerasnya kehidupan yang serba tak mudah itulah yang menempa Shankly menjadi seseorang yang memiliki tekad dan etos kerja keras, nyaris tanpa kompromi. Dan dengan mentalitas itu ia, setelah melanglang buana sebagai pemain bola profesional dan pelatih di beberapa klub, pada 1959 ia lalu menjadi pelatih dan membangkitkan FC. Liverpool, dan menjadi legendanya sepanjang masa. Kerangka dasar pengembangan Liverpool ia tata dan lapisi dengan dasar-dasar yang kokoh dan ngotot, yang bahkan hingga hari ini, oleh manajemen saat ini, enggan untuk ditabrak begitu saja.
Sebuah patung Bill Shankly yang secara visual nampak seperti mewakili seluruh tekad dan optimismenya dibangun di jalan masuk area Anfield Stadium. Di desanya sendiri di Glenbuck, para fans Liverpool (diduga kuat para Kopiters) membangun sebuah monumen yang bak sebuah epitaph. “…This monument is dedicated to their memory and the memory of one man in particular: BILL SHANKLY, THE LEGEND, THE GENIUS, THE MAN. From Anfield with love. Thanks Shanks…” Begitu di antara kata-kata di monument tersebut. Sebuah kisah cinta yang membatu.
Bukan hanya perkara prestasi yang dihasilkan Bill Shankly, yang mungkin “tidak seberapa” bila dibandingkan para manajer sukses saat ini. Lebih penting dari itu, ia membangun kembali karakter Liverpool yang ketika itu redup, ngos-ngosan, hanya bermain di Divisi Kedua selama lima tahun. Anfield rusak dengan kondisi tanpa penyiram lapangan. Betul-betul tantangan yang hanya bisa diatasi oleh seorang manager keras kepala, bertangan besi, berotak berlian, dan bertekad granit.
Terbayangkankah semua masalah itu diangkat dan diganti dengan prestasi-prestasi gemilang, oleh hanya seorang eks buruh tambang, eks tentara, eks pemain bola seperti Bill Shankly?
Senjata rahasia apa yang dimiliki Shankly? Pada masanya pula Liverpool mengganti jersey yang merah-putih menjadi merah-merah. Pada masanya juga You Never Walk Alone diciptakan dan dinyanyikan untuk pertama kalinya, dan lalu menjadi anthem The Reds. Dan seruan membakar darinya untuk para pemain dan lawan-lawan Liverpool: “THIS IS ANFIELD!” kata-kata iconic yang tertulis di atas tangga masuk ke lapangan.
Bill Shankly meninggalkan jejak-jejak bersejarah yang terus mengiang-ngiang. Adalah figur karismatik dan iconic ini pula yang kemudian merevitalisasi kembali The Kop (Kopites), para fans paling fanatik, dengan menjadikan mereka sebagai partisipan bagi Liverpool.
Menarik menyimak ulasan James Nalton di situs thisisanfield.com pada 2019, dengan tajuk provokatif: ‘What would Shankly do?’ – Is Liverpool FC Really a Socialist Football Club?’ Tulisan ini seperti memberi latar belakang yang cukup untuk menjelaskan mengapa Bill Shankly begitu tertarik menjadi manager Liverpool, setelah sebelumnya pernah ditolak. Selain juga bahwa ia pernah menjadi pemain sepak bola profesional untuk beberapa klub.
Nalton memulai tulisannya dengan mengatakan bahwa Liverpool, yang klub sepak bolanya dikenal luas berhaluan politik kiri, adalah juga kota (wilayah) yang telah matang menjadi kota berbasis politik sayap kiri. Kota ini telah menjadi kubu kekuatan Buruh sejak paruh kedua abad ke-20, di mana Dewan Militannya pada tahun 80-an menggunakan slogan: “lebih baik melanggar hukum daripada menyengsarakan orang miskin.” Dewan ini juga yang, pada tahun 1980-an, mengatakan bahwa sudah lama Liverpool tidak mendapat hak dan bagiannya dari pemerintah pusat di London. Dan Liverpool terus berjuang sendiri menjaga keseimbangan kehidupan wilayahnya. Dari sini sentimen para fans Liverpool, terutama para Kopiters, begitu terbakar bila The Reds berhadapan dengan tim-tim London.
Apa benar Liverpool juga berhaluan kiri? Hal yang kemudian oleh CEO-nya Peter Moore, secara diplomatis, dianggap sebagai bukan perkara simple. Kendati Moore juga menghormati dan mengakui apa yang telah dibuat oleh Bill Shankly, yang ia sebut sebagai seorang sosialis sejati dari Scotland. Katanya, “Shankly telah meletakkan dasar bagi klub untuk dibangun menjadi seperti sekarang ini, dan prinsip-prinsip yang ia bangun di atas fondasi itu harus dipertahankan—tetapi cara sepak bola berkembang di era Liga Premier, tidak sesederhana untuk mengatakan bahwa Liverpool adalah klub sosialis.”
Tetapi Peter Moore juga ragu, bertanya-tanya, dan sulit menghindar dari stroom bermagnitudo tinggi yang telah diletakkan Bill Shankly sebagai pondasi di Liverpool. “Kami memiliki tokoh sejarah yang luar biasa: Bill Shankly. Ia seorang sosialis dari Skotlandia yang membangun fondasi klub. Bahkan hari ini, ketika kami berbicara tentang bisnis, kami bertanya pada diri sendiri: ‘Apa yang akan dilakukan Shankly?’ Apa yang akan Bill katakan dalam situasi seperti ini? Dia adalah seorang sosialis sejati yang percaya bahwa sepak bola terdiri dari kerja sama. Di departemen pemasaran, kami bertemu dan berkata: ‘Mari kita perjelas semua ini dengan kata-kata.’ “Shankly defined it as socialism — not in a political sense, but in the sense of solidarity. There is a banner in the Kop that says: ‘unity is strength.’ Liverpool is a socialist city, with a working tradition, very close to the port.” tambah Moore.
Sebagai bagian dari manajemen klub, pernyataan Peter Moore ini, yang dikutip Nalton, juga penting untuk dicatat: “Pemilik klub saat ini mungkin bukan sosialis, tetapi mereka tidak mengambil uang sepeserpun dari klub seperti yang dilakukan oleh orang lain yang memimpin klub berukuran serupa.”
Nalton kemudian mengutip pernyataan Bill Shankly yang menurutnya menarik untuk menjelaskan apa itu sosialisme: “I believe the only way to live and to be truly successful is by collective effort, with everyone working for each other, everyone helping each other, and everyone having a share of the rewards at the end of the day. That might be asking a lot, but it’s the way I see football and the way I see life.”
Lalu bagaimana Jurgen Klopp yang sebagai manajer sukses setelah Liverpool tiarap sekian lama? Seperti ditulis Nalton, sama seperti Shankly, pria yang berasal dari wilayah Black Forest di Jerman ini mengandalkan dukungan kolektif semua pihak bagi Liverpool dalam level setara. Bila kolektifitas semua unsur menguat, maka klub pun akan menguat.
Jangan kaget membaca pernyataan blak-blakan Klopp ini: “Aku seorang kiri, tentu saja. Lebih ke kiri daripada ke tengah. Aku percaya pada welfare state. Aku tidak punya asuransi pribadi. Aku tidak akan memilih partai kiri bila mereka berjanji akan menurunkan pajak. Paham politikku seperti ini: Bila aku melakukan hal bagus, aku mau orang lain juga bisa melakukan hal yang sama. Dan bila ada satu hal saja yang tak akan aku lakukan dalam hidup ini, adalah memilih partai kanan.” Jelas!
Shankly pensiun sebagai pelatih Liverpool pada usia 60 tahun. Pernyataan resmi mengatakan ia lelah dan mau istirahat bersama istri tercintanya Nessie. Beberapa tahun kemudian muncul beberapa informasi kontroversial terkait hubungan Shankly dan Liverpool. Yang kalau diringkas adalah belum habisnya perasaan Shankly untuk Liverpool. Wajar, karena ia bisa dikatakan sebagai “salah satu founding father” penting klub ini, setelah era Perang Dunia usai.
Hari masih sangat dini, pukul 01:20, ketika sebagian daun mulai menguning sebagai pertanda musim gugur akan tiba. 27 Hari setelah ulang tahunnya ke 68 (2 September) pada 29 September 1981, kakek keras kepala ini wafat. Seluruh jajaran Liverpool menundukkan kepala. Semua latihan di Melwood dan Bellefield ditiadakan. Partai Buruh Inggris yang sedang mengadakan konferensi berhenti sejenak, hening, untuk orang yang selalu dikenang sebagai sosialis sejati ini. Dunia sepak bola berduka. Jenazahnya dikremasi di krematorium Anfield pada 2 Oktober, dan abunya disebar di lapangan Anfield di hadapan Tribun The Kop. Para Kopiters menganggap “Shankly Lives Forever.”
Saya jelas akan memihak pada Liverpool dalam laga final LC nanti. Seperti FC Barcelona, FC Liverpool punya sejarah yang menarik dan penting. Tulisan ini saya olah dari beberapa sumber terpercaya, bukan berdasar klaim omong kosong big data pendukung tiga periode.
Saya persembahkan kepada seluruh fans The Reds di seluruh dunia. Karena saya juga pernah menyukai Liverpool, gara-gara nonton film dokumentasi Ken Loach tentang pergolakan buruh di pelabuhan Liverpool, The Big Flame.
~ ANFPPM ~