“IBARAT hidangan, budaya warga bangsa nusantara tidak cuma legit dan gurih, tapi juga bergizi dan mengesankan ketika diresapi kandungan kaldu filosofisnya”. Pancasila disarikan dari kekayaan budaya suku bangsa nusantara, hingga sepakat dijadikan pandangan hidup bangsa Nusantara Pancasila yang merentang dijejeran kepulauan dari Timur ke Barat dibelahan garis khatulistiwa.
Seni dan budaya warga bangsa Nusantara yang menjadi intisari dari Pancasila sangat ampuh jadi benteng pertahanan dan ketahanan budaya untuk melindungi dan menjaga kelangsungan hidup yang harmoni suka bangsa kita yang kaya raya, mulai dari keragaman adat istiadat, tradisi, suku bangsa, bahasa dan agama.
Etika dan estetika warga bangsa Nusantara bernilai luhur telah dimulai sejak lahir bahkan jauh sebelumnya sejak masa dalam kandungan ragam upacara adat dan tradisi yang bernilai Illahiah sudah dilaksanakan dalam berbagai kepercayaan dan keyakinan pada Sang Maha Pencipta, alam dan jagat raya dengan segenap makhluk yang ada di dalam perlindungan-Nya.
Karenanya, seni dan budaya warga bangsa Nusantara merupakan ketahanan hidup dan pertahanan budaya yang terhandal bagi warga bangsa Nusantara dari pengaruh, desakan dan gesekan hingga benturan maupun hantaman budaya asing yang tidak sesuai dengan adat istiadat maupun tradisi serta budaya warga bangsa Nusantara.
Demikian juga pada akhir hayat kematian, tradisi dan budaya dalam beragam bentuk upacara semua mengacu pada nilai-nilai Illahiah keagamaan yang juga beragam. Sehingga kebhinekaan menjadi khas dalam bingkai besar budaya warga bangsa Nusantara.
Seni dan budaya warga bangsa Nusantara adalah jati diri dan martabat manusia yang patut menjadi kebanggaan setiap insan yang memiliki Pancasila dalam kebhinekaan yang tidak dimiliki bangsa lain di dunia. Landasan hidup ketuhanan dengan menjunjung tinggi kemanusiaan yang adil dan beradab disertai hikmat kebijaksanaan dalam perwakilan dan musyawarah serta adil dalam memperlakukan seluruh warga bangsa Nusantara (rakyat), merupakan sikap dan karakter yang kukuh dan unik dalam setiap tindakan manusia yang beradab.
Pertahanan nasional negara maupun bangsa Indonesia akan rapuh manakala tidak berbasis pada ketahanan budaya sebagai sikap dan karakter yang senantiasa menjaga harga diri serta martabat yang tangguh manusia Nusantara di bumi. Ketangguhan martabat dan harga diri warga bangsa Nusantara pasti mampu dan yakin menangkal semua bentuk penetrasi maupun gesekan dari budaya manapun yang tidak sesuai dan tidak selaras dengan budaya manusia Nusantara.
Ketangguhan para leluhur warga bangsa Nusantara seperti Panglima Perang Armada Angkatan Laut, Malahayati, hingga Panglima Perang Cut Nya Dhien serta Maha Patih Gajah Mada yang telah mengukir kegemilanga sejarah di Nusantara, sungguh membanggakan serta patut menjadi tauladan. Katahanan dan pertahaban budaya yang bisa diandalkan manjadi landasan pijak fondasi untuk ketahahanan Nasional bangsa dan negara Indonesia, pasti dapat lebih diandalkan karena mengakar kuat dalam setiap warga bangsa kita.
Sehingga penetrasi budaya berikut bangsa asing mampu dihadapi atau bahkan bisa ditangkal sekaligus dienyahkan.
Perang dalam bentuk terbaru seperti yang dilancarkan bangsa asing terhadap bangsa Indonesia pada mellinium kedua sekarang jelas semakin canggih dan halus bahkan terkesan santun serta terasa sangat baik. Padahal yang sedang terjadi adalah perebutan kekuasaan kedaulatan yang merupakan hak miliki paling asasi serta paling bergarga dari rakyat.
Fenomena dari perang tanding pada bilik politik maupun ekonomi telah diperluas hingga wilayah budaya maupun agama. Realitas serbuan tenaga kerja asing ke Indonesia tampak demikian cantik dibungkus oleh kilah investasi. Begitu juga dengan marak serta derasnya pemasaran narkoba masuk ke Indonesia, jelas dalam skenario besar untuk meruntuhkan peradaban Nusantara dengan pembunuhan yang santun tergadap generasi muda kita.
Celakanya, tidak hanya generasi muda kita yang yang mampu diperangkap, tetapi juga kaum tua pejabat tinggi negara kita pun lena dan menjadi mangsanya. Bahkan tidak sedikit aparat maupun pejabat tinggi pemerintah yang terlibat dan menjadi kaki tangan pemasok narkoba.
Akibatnya, tentu saja bukan hanya karena telah menjadi konsumtif atau bahkan telah menjadi penganut berat ideologi kapitalisme paling modern, yaitu neo-liberalism, birahi untuk korupsi aparat pemerintah serta elit politik serta birokrasi kita semakin marak dan menggila, terutama setelah ditimpali oleh para penegak hukum kita.
Pepatah leluhur warga bangsa Nusantara yang mengatakan bahwa setali tiga uang itu, persis seperti menggambarjan wajah buruk kalangan eksekutif, legislatif dan yudikatif di negeri kita sekarang ini.
Semua sama andil dan berperan membangun budaya maling. Rasa-risi pun lenyap bersama rasa malu. Dalam konteks moral dan etika yang kropos seperti itu, agaknya revolusi budaya yang masih mau diteriakkan sudah terlanjur basi. Ibarat yang sering diingatkan oleh nenek kita dahulu, janganlah sampai menanak nasi menjadi bubur. Karena yang ingin kita nikmati adalah nasi pulen yang sehat juga mengeyangkan, atau menyenangkan.
Budaya warga bangsa Nusantara harus dihidangkan dalam setiap perjamuan yang menyenangkan seperti kuliner yang mengesankan cita rasa selera siapa saja yang mencercapnya. Mengenyangkan untuk semua orang yang melahapnya. Hingga demikian mengesankan bagi kita dan mereka ketika mengenang dan menghayati hakikat dari kandungan menu filosofisnya.
Ditulis Oleh: Jacob Ereste
“Artikel ini sebelumnya telah terbi pada MajalahPerwira.com Minggu 30 Juli 2017”