Nyaris tak ada kesempatan korupsi yang disia-siakan, karena sudah terjadi di berbagai bidang dan sektor terjarah oleh semua pemegang kebijakan di negeri kita, Indonesia.

Hukuman mati pun sudah berulang kali diumbar, meski belum pernah satu pun koruptor diganjar huluman yang selalu disesumbarkan itu. Termasuk Presiden juga ikut menggertak hukuman seperti itu.

Setidaknya dua macam kejagatan seperti korupsi dan pengedar narkoba pantas diganjar hukuman berat tanpa ampun itu. Tapi realitasnya, ada pula kesan yang meyakinkan dimanfaatkan pula oleh oknum-oknum tertentu mulai dari penangkapan, proses hukum bahkan ketika menjalani hukuman di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) dengan beragam cara dan model.

Jadi bukan cuma proses hukum yang bisa dimainkan dengan ganjaran hukum yang rendah, bahkan pemotongan masa tahanan pun terkesan bisa dimainkan hanya dengan imbalan nilai yang menggiurkan juga.

Sudah begitu, saat menjalani hukuman di Lapas juga bisa mendapat dan menikmati fasiltas yang wah mewah. Bahkan melakukan bisnis entah apa saja yang bisa bebas dan merdeka, termasuk jual beli apa saja, tidak cuma narkoba dan transaksi politik, sehingga keberadaan dari Lapas itu juga menjadi pasar bebas melakukan transaksi bisnis yang tidak kalah menggiurkan dan membangkitkan birahi yang rakus.

Simpul-simpul dari suap menyuap bisa dimulai dari kantor, sejak awal proses suatu proyek atau pekerjaan sedang direncanakan. Bisa juga terjadi dalam bentuk persekongkolan untuk monopili suatu pekerjaan seperti proses import atau ekspor, sehingga produk di dalam negeri mati atau tidak berkutik.

Akibat terusan dari kejahatan seperti itu yang membuat petani kita pun mati sebelum menyaksikan para pelaku kejahatan keji itu dibui, apalagi hendak dihukum mati. Maka itu fenomena ekspor garam hingga kacang kedelai pun seperti kesurupan dilakukan untuk mendapat komisi dari para importir atau eksportir seperti monopoli benur atau hasil laut kita.

Begitulah budaya korupsi di negeri kita semakin menjadi-jadi. Karena orang pintar di negeri tak cuma minum tolak angin, tapi juga kehilangan rasa malu serta akal sehat yang harus menjadi bungkus etika dan moralnya agar bisa menjadi pembungkus akhlak yang mulia.

Tapi, para koruptor tetap percaya bahwa semua harta kekayaan yang mereka garuk dengan cara tamak dan rakus itu akan menjadi berkah juga untuk dimakan oleh istri, anak, cucu dan istri kedua atau istri simpanan lainnya. Meski begitu, tak berarti koruptor berjenis perempuan tidak ada, atau bahkan tidak banyak di negeri kita. Sebab budaya korupsi pun tidak diskriminatif.

Penulis : Jacob Ereste

Editor : SBSINews

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here