SBSINews – Dikelola oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), skema asuransi nasional itu bertujuan menyediakan layanan kesehatan yang dapat diakses oleh warga negara Indonesia. Di bawah skema itu, kaum miskin akan dibebaskan dari pembayaran iuran.
Namun, sistem BPJS telah menimbulkan utang besar sejak awal, yakni kepada rumah sakit sebesar 21,16 triliun rupiah karena klaim medisnya jauh melebihi iuran yang dikumpulkan.
Peraturan presiden tentang kenaikan iuran BPJS ditandatangani oleh Presiden Indonesia Joko “Jokowi” Widodo. Hal itu telah memicu kecaman marah dari beberapa orang Indonesia, yang ditunjukkan lewat tagar seperti #boikotBPJS yang populer di Twitter minggu lalu.
Fika yang mencari perawatan di sebuah Puskesmas di Jakarta Selatan adalah salah satu orang Indonesia yang tidak setuju dengan kenaikan iuran BPJS. Wanita berusia 31 tahun itu mengaku kecewa dengan skema BPJS karena dia pernah diperintahkan membayar denda hingga 500.000 rupiah akibat keterlambatan pembayaran.
Fika telah mengabaikan denda itu dan bermaksud mengabaikan kenaikan iuran BPJS kali ini juga.
“Saya sudah berhenti membayar,” katanya kepada Channel NewsAsia.
Di sisi lain, ada peserta BPJS yang merasa bahwa kenaikan iuran dapat diterima selama pelayanan medis turut ditingkatkan.
Penny Handayani, dosen berusia 37 tahun, mengatakan kepada Channel NewsAsia bahwa ia berharap proses rujukan akan disederhanakan, dengan lebih banyak rumah sakit yang ikut serta dalam program asuransi tersebut. Ibu dua anak itu mengatakan dia umumnya merasa puas dengan skema BPJS ketika dia menggunakannya selama kedua masa kehamilannya.
“Dengan BPJS, kita harus pergi ke Puskesmas setempat terlebih dahulu untuk pemeriksaan dan rujukan, sebelum dapat mengunjungi rumah sakit yang bermitra dengan BPJS. Yang perlu dilakukan adalah mengurangi ekspektasi. Ketika menggunakan skema BPJS, kenyamanan bukanlah prioritas,” kata Penny.
Penny mengaku tidak setuju dengan orang-orang yang ingin memboikot sistem tersebut. “BPJS masih harus tetap ada.
Jika tidak, asuransi swasta akan berkuasa dan orang miskin tidak berhak sakit lagi.”
Dita Kurniawan (35 tahun), juga mendukung kenaikan iuran BPJS karena ia telah menyaksikan secara langsung konsekuensi keterlambatan pencairan dana BPJS.
Dita mengatakan ketika mendiang putrinya dirawat di rumah sakit karena tumor otak, rumah sakit tidak dilengkapi dengan peralatan medis yang diperlukan karena dana BPJS belum dicairkan. “Saya harus berlari di tengah malam untuk menemukan obat-obatan dan infus di apotek. Bahkan untuk pemindaian otak dengan MRI, putri saya harus dibawa ke rumah sakit lain dengan ambulans.”
Dita mengklaim bahwa saudara iparnya—seorang ahli anestesi yang bekerja di rumah sakit umum—tidak dibayar selama tiga bulan karena rumah sakit belum menerima uang BPJS.
PARA AHLI DUKUNG KENAIKAN BPJS
Dinilai dari defisit yang sangat besar, Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar mengatakan kenaikan iuran BPJS tetap diperlukan. Selain itu, ada peraturan yang menyatakan bahwa iuran harus ditinjau kembali setiap dua tahun.
Namun, ia mengingatkan bahwa kenaikan itu akan membuat BPJS JKN tidak terjangkau bagi rakyat miskin, terutama yang saat ini berlangganan Kelas III. “Peningkatan iuran mungkin akan memaksa banyak peserta menjadi tidak aktif atau menurunkan peringkat ke kelas yang lebih rendah,” kata Timboel Siregar kepada Channel NewsAsia. “Ini benar-benar dapat menyebabkan penurunan pemasukan bagi BPJS.”
Alih-alih menaikkan iuran BPJS hingga dua kali lipat, Timboel Siregar mengusulkan agar pemerintah meningkatkan iuran sekitar 10 persen saja.
Hasbullah Thabrany, pakar kesehatan dari Universitas Indonesia, mengatakan bahwa BPJS sebaiknya menargetkan orang kaya Indonesia yang mungkin bersedia mengeluarkan lebih banyak uang untuk program ini. Skema saat ini bertindak sebagai program subsidi silang, ketika orang-orang dari kelas ekonomi atas membayar iuran bulanan tetapi cenderung menggunakan asuransi pribadi mereka ketika membutuhkan layanan medis.
Iuran untuk tingkat atas BPJS JKN harus ditingkatkan, Hasbullah Thabrany menyarankan. “Ini akan berhasil ketika setiap orang Indonesia merasa berkewajiban untuk menyukseskan BPJS.”
BPJS JANJIKAN PELAYANAN LEBIH BAIK
Biaya rendah dan fasilitas kesehatan yang lebih baik di negara-negara tetangga telah menarik beberapa orang Indonesia untuk mendapatkan perawatan medis di luar negeri.
Salah satunya, yang hanya menyebutkan nama Ivan, memilih untuk pergi ke Malaysia ketika putranya sakit. Selain layanan yang berkualitas, Ivan menyebutkan bahwa biaya di sana umumnya 20 persen lebih rendah dari Jakarta.
“Kita harus melihat skema perawatan kesehatan sebagai transfer risiko ketika mereka sakit. Sayangnya, fasilitas di sini menyedihkan dan menyusahkan. Itu sebabnya orang-orang enggan menggunakannya. Ketika iuran meningkat, orang-orang pun marah.”
Meskipun kenaikan premi tidak dapat dengan segera menyelesaikan masalah keuangan BPJS, namun lembaga itu meyakinkan para pelanggan bahwa layanan akan ditingkatkan.
“Kami akan mengelola antrean, memastikan dokter bekerja sesuai dengan standar layanan medis, dan memastikan ketersediaan obat secara memadai,” ujar Kepala Humas BPJS Kesehatan M. Iqbal Anas Ma’ruf kepada Channel NewsAsia.
(BPJS/matamatapolitik.com/Hillary)