Oleh: Timboel Siregar
Komentar saya atas rilis BPJS Kesehatan dua hari lalu mengenai BPJS Kesehatan yang telah mengelontorkan Rp. 11 Triliun untuk bayar utang ke RS
Utang BPJS Kesehatan ke RS memang sangat besar dan ini tentunya sangat mengganggu cash flow RS sehingga RS mengalami masalah dalam menjalankan operasional RS. Dampak langsungnya adalah pelayanan kesehatan kepada peserta JKN juga terganggu.
Per akhir januari 2019 utang BPJS K yg sdh jatuh tempo ke RS Rp. 12.97 T, Liabilitas pelayanan kesehatan dalam ptoses Rp. 3.93 T, dan Liabilitas pelayanan kesehatan Belum Dilaporkan Rp. 17.53 T.
Dari data akhir Januari 2019 ini saja sdh terlhat betapa besarnya utang BPJS K yang sudah jatuh tempo maupun utang yang akan jatuh tempo.
Selain mengganggu cash flow RS dan pelayanan ke peserta JKN, tentunya utang ini pun akan semakin besar nilainya karena BPJS Kesehatan tiap bulan bayar denda 1% atas keterlambatan pembayaran utang yang sudah jatuh tempo tersebut.
BPJS Kesehatan tentunya dengan iuran yang didapat tiap bulan tidak akan mampu membayar utang tersebut. Pemerintah harus ikut mengatasi masalah ini.
Untuk masalah utang ini Menkeu pada 29 Maret lalu sudah mengeluarkan Peraturan Menteri keuangan (PMK) no. 33 Tahun 2019 yangg merrevisi PMK no. 10 Tahun 2018.
Revisi PMK itu intinya ada di Pasal 7 ayat 7 PMK no. 33/2019 tsb yg bunyinya :
Dalam hal BPJS Kesehatan masih mengalami kesulitan likuiditas dana jaminan sosial kesehatan setelah dilakukannya proses pembayaran dana Iuran PBI paling banyak 3 (tiga) bulan ke depan, BPJS Kesehatan dapat menyampaikan surat tagihan dana Iuran PBI untuk paling banyak 2 (dua) bulan berikutnya.
Kalau merujuk ke PMK 33 tahun 2019 tsb maka APBN bisa membayar 5 bulan ke depan.
Hitungannya begini,
jumlah PBI sekitar 96.5 juta, jadi iuran per 5 bulan dari APBN utk PBI adalah 96.5 juta x 23.000 x 5 bulan = 11.09 Triliun.
Nah dana yang Rp. 11.09 T itu dibayarkan untuk menutup utang ke RS, sementara Rp. 1.1 T utk kapitasi dibayar dari iuran yg masuk.
Memang untuk jangka pendek utang ke RS bisa dikurangi tetapi potensi utang BPJS Kesehatan ke RS tetap masih tinggi dan ini akan memicu defisit di bulan bulan berikutnya, kecuali APBN berkomitmen melakukan bantuan langsung kepada BPJS Kesehatan.
PMK no. 33 bisa mengatasi utang jangka pendek tetapi belum mampu mengatasi defisit secara sistemik.
Saya kira pembayaran 11 T ini akibat adanya PMK no. 33, bukan sifatnya politis yaitu sehari menjelang pencoblosan.
Tetap Pemerintah dan BPJS Kesehatan harus mencari solusi defisit secara sistemik, tidak hanya puas dengan PMK no. 33 tsb.
Yang pasti iuran PBI 5 bulan sdh terbayar di depan tetapi utang masih cukup besar. Dan ini artinya defisit tetap mengancam secara nyata.
Nah yang saya harapkan adalah paska pilpres pemerintah merealisasikan janji utk menaikkan iuran seperti yg dikemukakan Pak JK beberapa waktu yang lalu khususnya PBI sehingga iuran bisa mengatasi utang dan defisit secara sistemis.
Selain itu pasal 100 Perpres 82 tahun 2018 ttg pajak rokok dari pemda juga harus dimaksimalkan sehingga potensi pemasukan dari pasal 100 tsb bisa sebesar 5 sampai 6 Triliun.
Utang iuran harus terus ditagih oleh Direksi BPJS sehingga utang iuran yang sekitar 3.3 T bisa ditarik utk bayar utang ke RS. Kejaksaan dan Pengawas ketenagakerjaan dan wasrik BPJS Kesehatan harus lebih giat menarik utang iuran dari perusahaan swasta dan BUMN. Pemotongan DAK dari APBN ke Pemda harus dilakukan segera agar utang iuran pemda bisa dilunasi ke BPJS Kesehatan. Aturan kewajiban ikut BPJS per 1 januari 2019 utk PBPU harus didukung oleh polri, pemda dan lembaga pelayanan publik lainnya sehingga sanksi tidak dapat layanan publik segera diimplementasikan.
Dari sisi pembiayaan, kendalikan INA CBGs dengan pengawasan dan maksimalisasi peran Unit Pengaduan.
Lalu FKTP dikontrol sehingga rujukan bisa diturunkan.
Timboel Siregar, BPJS wachs
Demikian
Tabik