Kekecewaan itu biasanya diawali dari janji. Maka itu hati-hatilah ketika berjanji agar tidak sampai membuat orang kecewa. Sebab kekecewaan orang bisa menimbulkan akibat yang gawat. Apalagi kekecewaan itu dialami orang bantak, massal sifatnya, pasti resiko kegawatannya akan lebih besar juga.

Memang diawali mengapa harus ada janji, misalnya akan mencetak sawah dua juta hektar agar petani kita senang, beras tidak impor dan janji swasembada pangan yang pongah dijanjikan dulu untuk memulainya dengan cara menghentikan semua impor pangan, ini yang membuat Pakcik saya kecewa, harga beras dan garam serta jagung maupun kacang kedele lumayan mengoyak kantong. Belum lagi rongrongan tarif yang lain seperti listrik, gas dan air yang ikut mengoyak kantong semua orang miskin – karena orang kaya Indonesia untuk ini tak patut diperhitungkan – mereka pun jarang di rumah dan juga jarang masak sebab makannya di Singapura atau Cibu Philipina.

Janji itu sendiri muncul kata pakar sejarah kebudaayaan, justru karena dipantik oleh harapan untuk mendapatkan sesuatu pula. Misalnya untuk mendapat dukungan seperti Parto Gelinding saat menjadi calon lurah. Hanya saja perkaranya jadi rumit ketika janji sekedar tipu daya belaka. Karena janji yang diumbar memang tak hendak diwujudkan. Soalnya bukan saja masalah kemampuan, tapi juga kadang kala yang bernjaji itu memang punya watak pembohong.

Jadi kemarahan kita yang dijanjikan ini bukan cuma janji yang dia ingkari itu, tapi dia telah menularkan budaya busuk pada kita, hingga mungkin akan kita lakukan juga, meski belum tentu kepada dia yang pernah mengecewakan kita.

Itulah ketakutan saya pada janji. Sebab kekejiannya bisa lebih gawat dari kekecewaan siapa saja yang mengalami kekecewaan itu.

Wassalam
Jacob Ereste
Bekasi Timur, 27 Maret 2019

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here