Sejak struktur Pengurus Majelis Ulama Indonesia (MUI) 2020-2025 diumumkan ke publik, saya mendapatkan banyak pertanyataan dari banyak pihak perihal pucuk pimpinan dan orang-orang yang duduk di kepengurusan. Kira-kira begini pertanyaannya: apakah sosok-sosok yang ada di kepengurusan baru akan memberikan harapan bagi moderasi Islam di negeri ini?

Saya menjawab dengan hati-hati, “kita jangan pernah hilang harapan, semoga MUI menjadi benteng moderasi Islam”. Saya berusaha menyemangati mereka yang ingin tahu tentang komposisi kepengurusan MUI yang baru. Sejujurnya, para pengurus MUI yang sekarang ini adalah mereka yang juga menjadi pengurus pada periode-periode sebelumnya.

Yang baru adalah Ketua Umum MUI yang dipimpin KH. Miftahul Akhyar, yang saat ini menjabat sebagai Rais ‘Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama. Ada beberapa kiai, yang dikenal moderat dan progresif, seperti KH. Masdar Farid Mas’udi, KH. Afifuddin Muhajir, Prof. Syafiq Mughni, Prof. Dr. H. Jimly Asshiddiqy, Dr. Badriyah Fayumi, dan lain-lain. Mereka ini dikenal karena kedalaman ilmunya dan komitmennya terhadap Pancasila.

Terkait KH. Miftahul Akhyar, sosok ini tidak asing lagi bagi warga Nahdhiyyin. Dalam beberapa tahun terakhir, Ketua Umum MUI selalu dijabat oleh Rais ‘Aam PBNU, karena NU merupakan rumah besar umat Islam yang mendeklarasikan cinta Tanah Air bagian dari iman. KH. Ma’ruf Amin yang sebelum ini menjabat sebagai Ketua Umum MUI juga menjabat sebagai Rais ‘Aam PBNU. Saat ini, KH. Ma’ruf Amin menjabat sebagai Ketua Dewan Pertimbangan MUI.

Yang patut disyukuri, kepengurusan MUI saat ini sudah relatif lebih menjanjikan daripada susunan kepengurusan pada periode sebelum ini. MUI terlihat kehilangan perannya sebagai mainstreaming moderasi Islam. Ada secercah harapan, karena orang-orang yang selama ini memainkan peran ganda: keagamaan dan politik praktis tidak terlihat namanya lagi di susunan kepengurusan yang baru.

Di masa lampau, kita melihat banyak tokoh yang kerap melakukan kritik terhadap MUI. Yang paling menonjol adalah Gus Dur. Pada tahun 2007, Gus Dur mengkritisi MUI sebagai sumber munculnya dan tumbuhnya radikalisme. Hal tersebut karena MUI mengeluarkan fatwa sesat terhadap kelompok atau paham yang menyebabkan adanya aksi kekerasan dan intoleransi terhadap kelompok minoritas, seperti Ahmadiyah, al-Wahidiyah, dan Syiah. Meskipun khusus Syiah tidak ada fatwa resmi, melainkan hanya penerbitan buku yang menggunakan logo MUI.

Bahkan, Gus Dur mengusulkan pembubaran MUI karena dianggap telah terlalu jauh mengeluarkan fatwa sesat, yang sejatinya tidak dilakukan oleh lembaga, kelompok, dan perorangan, karena fatwa sesat tidak dikenal dengan tradisi fatwa keagamaan, dan dapat dianggap mengambilalih kewenangan Tuhan yang mempunyai hak prerogratif untuk memutuskan siapakah yang tersesat dan siapa berada jalan Tuhan.

Gus Mus—panggilan akrab KH. Mustofa Bisri—menyampaikan kritik yang tidak kalah pedas terhadap MUI. Menurut Gus Mus, MUI tidak jelas entitasnya, apakah ormas, partai politik, atau lembaga resmi pemerintah. Uniknya, MUI justru mendapatkan hibah dari APBN.

Di samping itu, menurut Gus Mus, MUI sebagai lembaga yang secara eksplisit merepresentasikan para ulama, tetapi di dalam kepengurusannya pada saat itu ada orang-orang yang belum sampai pada maqam ulama. Bahkan, padangan-pandangannya tidak menceminkan visi keulamaan, sebagaimana digambarkan al-Quran, Nabi, dan khazanah keislaman.

Puncaknya, MUI mendapatkan sorotan dari banyak pihak perihal pandangan dan sikap keagamaan MUI tentang Ahok menjelang Pilkada DKI Jakarta pada tahun 2017 lalu. Sikap MUI menjadi umpan empuk bagi mereka yang berseberangan secara politik dengan Ahok, sehingga melahirkan gerakan politik yang masih eksis hingga sekarang ini.

Buya Syafii Maarif menjadi sosok yang menentang sikap dan pandangan MUI tersebut, dan secara lantang menyampaikan, bahwa pandangan Ahok tidak termasuk penodaan agama. Sikap MUI hanya opini keagamaan yang tidak wajib dijadikan rujukan. Sikap Buya Syafii ini didukung banyak ulama, seperti KH. Ishomuddin, KH. Masdar F Mas’udi, dan lain-lain. Namun, pengadilan akhirnya memutuskan Ahok bersalah dan harus menjalani hukuman penjara.

Potret MUI di masa lalu dan sorotan para tokoh bangsa dan ulama harus menjadi masukan dan pelajaran bagi pengurus MUI. Setelah Pilkada DKI, posisi MUI semakin kuat dalam merespons isu-isu publik, apalagi di tengah menguatnya politik identitas dan populisme Islam. Beberapa pengurus MUI terlihat mengambil sikap oposisi terhadap pemerintah, sehingga susah membedakan antara sikap politis pengurusnya dengan sikap MUI sebagai institusi.

Konsekuensinya, publik semakin geram dan memberikan catatan kritis terhadap MUI, khususnya mereka yang tidak setuju ada konflik kepentingan antara pengurus dengan sikap politik pribadinya. Belum lagi, wajah keagamaan terlihat semakin kaku, rigid, dan keras, yang dapat mengancam kebhinnekaan dan solidaritas kebangsaan.

Dalam konteks ini, pidato KH. Miftahul Akhyar saat dikukuhkan sebagai Ketua Umum MUI laksana angin segar yang memberikan harapan baru bagi tumbuhnya moderasi Islam di Tanah Air. “Dakwah itu mengajak bukan mengejek. Merangkul, bukan memukul. Menyayangi bukan menyaingi. Mendidik, bukan membidik. Membina buka menghina. Mencari solusi, bukan mencari simpati. Membela, bukan mencela”, ujar Kiai yang juga menjabat sebagai Rais ‘Aam PBNU.

Dakwah pada zaman digital seperti sekarang ini menjadi persoalan serius. Setiap orang bisa berdakwah dengan menggunakan kanal youtube, Tiktok, Instagram, dan Facebook. Akibatnya, banyak sekali dakwah keislaman yang tidak mencerminkan moderasi Islam.
Panggung dakwah digunakan untuk menebarkan kebencian dan seruan pada kekerasan, bahkan pembunuhan. Apalagi beberapa hari lalu muncul seruan adzan, hayya ‘alal jihad, yang secara implisit mengajak pada konflik akibat memanasnya situasi politik belakangan ini.

Sikap MUI yang cepat dan sigap merespons adzan, hayya ‘alal jihad, telah menjadi awal yang baik agar mereka yang ingin menggunakan agama untuk tujuan politik bisa diredam sejak dini. Intinya, jika MUI berperan serius dalam meletakkan peta moderasi Islam, maka negeri ini akan damai, terutama jika MUI mampu merangkul berbagai komuntas Muslim yang selama diperlakukan secara diskriminatif akibat perbedaan pandangan dan paham keagamaan, seperti Syiah dan Ahmadiyah.

Inti dari moderasi Islam adalah persaudaraan dan kesetaraan. Tidak sepantasnya ada lembaga yang menjadi polisi bagi keyakinan seseorang dan kelompok. Kita serahkan semuanya kepada Tuhan untuk menentukan siapa yang dikehendaki pada Hari Akhir nanti. Sebab setiap orang akan dihisab sendiri-sendiri, bukan karena kelompok dan pahamnya. MUI cukup menjadi benteng moderasi Islam yang bertugas membumikan kedamaian, persaudaraan, dan toleransi di negeri, baik di dalam internal umat Islam maupun dengan agama-agama yang lain, tak terkecuali aliran kepercayaan yang usianya seusia Nusantara.

Dr H Zuhairi Misrawi
Pengurus PB Nahdatul Ulama

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here