JAKARTA, (SBSINews.id) – Dikomandoi Ketua Umum (Ketum), Prof. Muchtar Pakpahan, Dewan Pengurus Pusat (DPP) Harian dan Federasi Serikat Buruh Sehatera Indonesia (SBSI) datangi Ombudsman Republik Indonesia (RI) guna beraudiensi membahas pelayanan pemerintah terhadap buruh dan serikat buruh, Selasa (6/2/2018). Para pengurus beraudiensi dengan Komisioner Ombudsman, Laode Ida didampingi Komisi Lima Tumpul Simanjuntak.
Dalam sambutannya, Ketum SBSI mengaku kebingungan terhadap kondisi pelayanan instansi pemerintah terhadap buruh dan serikat buruh. Dalam audiensi tersebut Ketum SBSI memaparkan tiga permasalahan yang saat ini terjadi dilapangan namun tidak ada solusi yang diberiakn para petugas negara terkhusus Kementrian Tenaga Kerja beserta Disnaker di daerah-daerah.
Pertama, banyak laporan yang dikirimkan oleh pengurus di daerah yang mengaku sulitnya melakukan pencatatan serikat buruh dalam hal ini ke Disnaker. Salah satu alasan kesulitan itu adalah adanya koordinasi dan laporan dari petugas kepada perusahaan apabila buruh ingin malakukan mencatatkan diri. Sehingga para pengurus mendapat surat peringatan dari perusahaan.
“Kami sangat prihatin dengan pelayanan yang diberikan Kementrian dan dinas-dinas. Tak satupun pelayanan mereka memberikan solusi terhadap buruh perusahan terutama mendirikan serikat buruh. Salah satu contoh apa yang terjadi dengan buruh PT. Paros. Para buruh dipaksa mengurungkan niatnya jika ingin tetap bekerja diperusahaan. Buruh dipaksa menanda-tangani surat yang berbunyi, “maaf terlanjur saya masuk ke SBSI”,” kata pria yang akrab disapa MP itu.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa dalam Undang-Undang No. 21 tahun 2000 dijelaskan bahwa siapapun yang melakukan dan menghalangi berdirinya serikat buruh bisa dipidanakan dengan ancaman hukuman minimal satu tahun dan maksimal 5 tahu.
“Poin kedua, sejatinya buruh dan serikat buruh memiliki perlindungan padaUU 21 tahun 2000 pasal 28 syarat-syaratnya dan pidananya diatur pada pasal 43 yang menyebutkan dengan jelas dilarang melakukan tindakan PHK, Demosi, pengurangan upah dan penuruna jabatan serta diskriminatif,” kata MP menjelaskan.
Pada poin ketiga MP mengungkapkan bahwa hingga saat ini tidak ada penghormatan dan kepatuhan terhadap putusan Mahkamah Agung (MA) oleh instansi pemerintah, Kementrian Ketenagakerjaan dan jajarannya terkait putusan nomor 378K/pdt.sus-HKI/2015 terkait hak cipta dan larangan organisasi Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI) beraktifias menggunakan Logo, Mars, Tridharma dan nama SBSI.
“Kami tidak melarang siapapun berserikat, kami hanya minta patuhi putusan MA. Namun fakta dilapangan hingga saat ini di sejumlah wilayah, KSBSI tetap beraktifitas meski sudah berstatus ilegal secara hukum dan hal itu diduga kuat dibantu Kementrian karena terbitnya surat yang mengatakan bahwa KSBSI lebih dahulu menjatatkan diri di Kementrian. Sikap tersebut jelas telah menentang putusan MA sebagai putusan hukum tertinggi negara ini,” katanya.
Mirisnya lagi, Sebagai organisasi yang telah sah secara hukum SBSI tak pernah diikutsertakan dalam kegiatan hubungan Indutrial, malah KSBSI yang diikutkan. Padahal dalam Dalam aanmaning meneruskan dari ketua MA, PengadilanNegeri (PN) Jakpus sebagai eksekutor putusan telah mengingatkan KSBSI, NIKEUBA SBSI, LOMENIK SBSI, FPE SBSI, FKIKES SBSI, FESDIKARI SBSI, HUKARAN SBSI, FKUI SBSI mematuhi putusan MA no 378K dilarang menggunakan nama SBSI, logo SBSI, mars SBSI dan Tridharma SBSI.
Sebagai lembaga yang memiliki tugas sebagai pengawasan penyelenggaran publik diseluruh Indonesia, pengurus DPP Harian dan Fedeasi SBSI meminta Ombudsman RI agar segara bertindak tegas dengan konflik yang terus terjadi.
Di Kantor di jalan Haji R. Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan tersebut Ketua Konsolidasi SBSI, Amser Hutauruk mengungkapkan bahwa ia merasa gelisah karena akan adanya gesakan fisik dilapangan.
“Kami berharap, melalui Ombudsman akan ada kejelasan dan tindakan tegas terhadap pelayanan publik yang semena-mena dan untuk kondisi di daerah akan bisa di redam,” paparnya.(syaiful)
Baca Juga: http://sbsinews.id/pejuang-buruh-mencari-keadilan-terkait-eksekusi-putusan-ma-ri-nomor-378-k/