Waktu masih kecil, aku diajak oleh ayahku untuk nonton pertunjukan sirkus. Sebelum masuk, kami antri di depan loket untuk membeli karcis. Antrian cukup panjang, dan di depan kami ada satu keluarga ikut antri. Bapak, ibu dan 4 anak. Anak-anak itu tampak bahagia. Dari pakaian yang mereka kenakan, dapat dipastikan bahwa mereka bukan orang kaya. Pakaiannya sangat sederhana, meski tidak dekil.

Tiba giliran mereka harus membayar karcis. Sang bapak merogoh kantong celana, dan tampak kebingungan: uangnya tidak cukup untuk membayar 6 lembar karcis. Dia sedih dan murung, kemudian segera minggir dari antrian.

Ayahku melihatnya, dan langsung merogoh uang 20 dolar dari sakunya. Ayahku langsung menjatuhkan uang itu di samping bapak empat anak tersebut. Ayahku menepuk pundaknya, dan berkata, “Pak, uang anda jatuh.”

Bapak itu menoleh, memandang ayahku, dan dia sadar bahwa ayahku mau membantunya supaya bisa beli 6 karcis. Matanya sembab, bibirnya tersenyum, dan dia ambil uang 20 dolar itu sambil berterimakasih.

Ayahku pun tersenyum, lantas mundur menghampiri aku. Aku lihat bapak itu segera beli karcis untuk keluarganya. Mereka tampak sangat bahagia.

Ayahku lantas mengajak aku pulang. Kami tidak jadi nonton pertunjukan sirkus. Ternyata, uang ayahku hanya 20 dolar, dan sudah diberikan kepada keluarga tadi.

Dalam hidupku, itulah pemandangan yang paling menakjubkan. Pemandangan yang jauh lebih indah dibanding pertunjukan apapun di muka bumi ini.

Sejak saat itu aku meyakini bahwa pendidikan terbaik adalah tindakan bukan kata – kata.

It’s not about how much money you give It’s about how much love you put in your give

Pengirim: Dr. Kriahen Bangun, dari wag GMKI Medan.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here