Saat ini Pemerintah sedang membuat Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) sebagai amanat UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Khusus klaster ketenagakerjaan, Pemerintah merancang empat RPP, yang akan memuat ketentuan operasional dari masalah Tenaga Kerja Asing (TKA) hingga Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP).
Salah satu yang akan diatur adalah ketentuan tentang alih daya, atau yang biasa disebut outsourcing, yang dalam Pasal 66 ayat (6) dinyatakan ketentuan lebih lanjut tentang perlindungan pekerja/buruh alih daya dan perizinan berusaha diatur dalam PP.
Selama ini, pelaksanaan sistem kerja alih daya yang diatur di Pasal 64, 65 dan 66 UU No. 13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan banyak dipraktekkan dengan biaya mahal yang ditanggung oleh pekerja alih daya, dari biaya untuk proses rekrutmen, uang seragam, biaya pelatihan, perpanjangan ijin keamanan di instansi keamanan hingga pemotongan sana sini yang diatur seenaknya oleh perusahaan alih daya.
Pihak pekerja alih daya tidak memiliki bargaining untuk masalah biaya-biaya tersebut karena posisi pekerja alih daya sangat lemah dan selalu diikat oleh perjanjian kerja waktu tertentu yang bisa berakhir dan tidak diperpanjang bukan karena alasan kinerja tetapi karena tidak menuruti kemauan pengusaha alih daya.
Tentunya biaya-biaya yang dikeluarkan pekerja alih daya ini akan mengurangi pendapatan pekerja alih daya, yang akan menurunkan tingkat kesejahteraan keluarga pekerja alih daya. Dan faktanya juga masih banyak pekerja alih daya yang tidak mendapatkan upah sebatas upah minimum. Kalau pun sudah bekerja lebih dari setahun masih banyak pekerja alih daya yang mendapatkan upah sebatas upah minimum atau di bawah upah minimum. Ini persoalan ironis yang kerap kali terjadi tanpa bisa diselesaikan secara sistemik. Pengawas ketenagakerjaan belum mampu mengatasi masalah ini walaupun mereka tahu praktek seperti ini banyak terjadi.
Atas fakta praktik kerja alih daya ini yang memang belum memberikan perlindungan kepada pekerja alih daya maka seharusnya UU Cipta Kerja mengatur ketentuan tentang pekerja dalam proses pelaksanaan alih daya tidak boleh dikenakan biaya lagi, baik dari proses rekrumtmen, pelatihan hingga hal lainnya. Namun UU Cipta Kerja gagal mengaturnya, namun ketentuan tersebut bisa diatur dalam RPP sehingga bentuk perlindungan kepada pekerja alih daya jelas terlihat. Segala biaya yang muncul harus menjadi tanggungjawab perusahaan alih daya, bukan beban pekerja lagi.
Bila UU No. 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia melarang adanya biaya yang dikenakan kepada pekerja migran dalam proses rekrutmen, pelatihan, penempatan hingga pemulangan, maka sudah seharusnya ketentuan tersebut juga diatur untuk melindungi pekerja alih daya.
Semoga RPP tentang pekerja alih daya ini bisa mengatur perlindungan riil bagi pekerja alih daya dengan mengacu pada kondisi atau praktek di lapangan yang selama ini. Pekerja alih daya bukan obyek bisnis tapi subyek yang harus dilindungi dengan nyata, bukan perlindungan basa basi.
Pinang Ranti, 28 November 2020
Tabik
Timboel Siregar