Oleh: Muhamad Abdulkadir Martoprawiro, MS,Ph.D.
Bagi saya, kebohongan dan ngeles yang dilakukan, sudah tidak bisa ditolerir lagi. Saya yang berkomitmen untuk lebih sering menceritakan kebaikan, kali ini merasa perlu menunjukkan keburukan, tapi bukan dengan makian, tapi dengan data dan fakta. Silakan baca apa yang dilakukan oleh Gubernur DKI Jakarta dari waktu-ke-waktu, dan bandingkan dengan apa yang dilakukan TEPAT 5 tahun sebelumnya.
Saya membaca gerakan ngeles dari para pendukung. Tapi sebelum diteruskan baca dulu data dan fakta di bawah ini. Kalau malas membaca semua, cukup membaca alinea Agt-2013, Agt-2018, Nov-2014, Nov-2019. Setelah itu, silakan NGELES lagi.
Okt-2012 Jokowi-Ahok dilantik, dengan anggaran di tahun terakhir Fauzi Bowo adalah Rp 36T. Ada peningkatan sedikit untuk RAPBD-2013, dan di tahun terakhir Jokowi-Ahok-Djarot, ABPD menjadi Rp 72T
Okt-2017 Anies dilantik, dengan dan beliau menaikkan RAPBD-2018 menjadi Rp 77T, antara lain untuk staf ahli (TGUPP) yang pada era gubernur sebelumnya, cukup diambil dari dana operasional gubernur.
Nov-2012 sepanjang bulan ini dilakukan rapat maraton yang dipimpin oleh Jokowi-Ahok dengan dinas-dinas, untuk finalisasi dan perbaikan RAPBD-2013
Nov-2017 tidak dilakukan rapat maraton, karena Anies-Sandi memutuskan menerima apa yang telah disusun untuk RAPBD-2018
Nov-2012 anggaran dinas PU dan dinas Perhubungan dipotong 25%, karena hasil begadangnya Ahok menghasilkan temuan markup antara 25-40% pada anggaran kedua dinas. Dinas Perumahan relatif bersih. Ada indikasi kongkalikong antara beberapa dinas dan DPRD DKI.
Nov-2017 TIDAK ADA pengecekan terhadap harga-harga satuan dalam anggaran. Kongkalikong dinas dan DPRD DKI tidak terendus, baru pada akhir Nov 2019, meledaklah rencana korupsi miliaran lewat Aibon dll.
Des-2012 karena prioritas 2 masalah utama DKI yaitu macet dan banjir, anggaran untuk penanganan banjir ditingkatkan secara luar biasa. Pemotongan anggaran PU dan Perhubungan sebagiannya dialihkan ke anggaran banjir.
Des-2017 tidak ada pembahasan tentang langkah inovatif untuk penanganan banjir. Anggaran mengikuti program sebelumnya, misalnya pembebasan lahan sungai yang ditempati warga secara tidak sah, untuk normalisasi sungai, dll.
2013: dilakukan normalisasi sungai dan renovasi waduk, sehingga di era Jokowi-Ahok-Djarot, normalisasi sungai dan waduk meningkat dari 5% menjadi 55%. Menurut perkiraan, diperlukan waktu 10 tahun untuk menyelesaikan normalisasi sungai.
2018: TIDAK dilakukan normalisasi sungai, karena ingin memenuhi janji tidak menggusur. Padahal dalam satu berita, Anies kaget melihat ada warga yang tinggal DI DALAM sungai (artinya di tempat yang dulunya sungai), dengan air mengalir di depan rumahnya.
Agt-2013: Waduk Pluit yang kumuh telah berubah menjadi daerah tujuan wisata dan taman bermain yang indah. Sungai-sungai telah banyak yang selesai dinormalisasi di berbagai tempat di Jakarta.
Agt-2018: tidak ada perubahan baru terhadap sungai dan waduk di Jakarta. Di bulan ini, Anies Baswedan memotong anggaran penanganan banjir sebesar Rp 242M. Sebulan kemudian, Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane (BBWSCC) mengembalikan SELURUH dana normalisasi ke kas negara, karena Pemprov DKI tidak melaksanakan pembebasan tanah yang seharusnya menjadi sungai.
Des-2013: Jokowi berhasil memperoleh pinjaman lunak dari Bank Dunia untuk penanangan banjir. Tepat 5 tahun sebelumnya, pada 2008, Gubernur Fauzi Bowo juga mengajukan pinjaman World Bank untuk penanganan banjir, tapi tidak disetujui.
Des-2018: tapi tepat 5 tahun sesudahnya, TIDAK ADA usaha untuk memperoleh dana tambahan bagi penanganan banjir. Tapi Anies Baswedan membuat pernyataan yang bisa dibaca di koran, bahwa pada 2019, normalisasi sungai akan dimulai kembali.
Nov-2014: setelah berhasil menyulap waduk Pluit menjadi indah, Pemprov mulai menertibkan bangunan dan melakukan perluasan dan pendalaman waduk yang lain, yaitu Waduk Ria Rio di daerah Pulogadung.
Nov-2019: Dinas Sumber Daya Air DKI menyatakan batal membebaskan 118 bidang tanah di bantaran kali. Alasannya, APBD DKI 2019 defisit. Padahal merupakan kewenangan Gubernur DKI Jakarta untuk memutuskan prioritas penggunaan dana APBD.
Jan-2015: prestasi Pemprov DKI yang berhasil menurunkan jumlah titik banjir, yang pada 2014 ada ratusan titik banjir, pada 2015 tinggal 80 titik banjir. Di tahun-tahun berikutnya, turun lagi menjadi 62 titik banjir (2016), lalu 20 titik banjir (2017).
Jan-2020: prestasi Pemprov DKI yang berhasil menurunkannya lebih jauh menjadi SATU titik banjir segede kota Jakarta. Banjir terjadi serentak di Jakarta, Bogor, dll, tapi SEBELUM kiriman banjir tiba di Jakarta, sudah disebut bahwa banjir karena hujan di Jakarta itu karena KIRIMAN dari Bogor. Penderitaan rakyat yang lemah di Jakarta akibat banjir besar pada awal 2020 ini, merupakan konsekuensi logis dari apa yang telah dilakukan.
2015: Jokowi yang akhirnya menjadi presiden, membuat komitmen untuk bekerja sama dengan Gubernur DKI Jakarta (Ahok) untuk menangani banjir Jakarat secara lebih komprehensif. Sejak itu, setiap permohonan izin dari Gubernur DKI Jakarta untuk “membantu” pekerjaan yang berada dalam kewenangan Kementerian PUPR, berkat pengarahan Jokowi, dengan segera, kadang hanya dalam hitungan hari, disetujui oleh Menteri PUPR. Dimulai juga penanganan di hulu sebelum air masuk Jakarta.
2020: Anies Baswedan menolak kerjasama dengan Kementerian PUPR. Menurutnya, tidak ada gunanya meneruskan normalisasi sungai, yang telah dilakukan Jokowi-Ahok-Djarot dari sejak sungai masuk Jakarta hingga Kampung Pulo, karena masalahnya bukan di Jakarta, melainkan banjir kiriman. Anies Baswedan memutuskan menunggu penyelesaian waduk di luar Jakarta, PADAHAL beliau seharusnya meneruskan kerja normalisasi sungai, setelah Kampung Pulo, yaitu mulai Cipinang Muara, hingga sungai menuju ke laut. (SM)
Muhamad Abdulkadir Martoprawiro, MS,Ph.D. Fakulta Matematikan dan Ilmu Pengetahuan Alam ITB