oleh : Andi Naja FP Paraga
Cinta dan kasih sayang yg ditunjukkan oleh Imam Khomeini ra kepada para tetangganya yg beragama nasrani pada saat peringatan Natal di sebuah desa di Paris, Neauphle le Chateau, menyebabkan banyak orang di Perancis yg berubah paradigma negatif mereka terhadap islam selama ini menjadi positif.
Seorang Dokter asal Prancis, Dr. Louie, yang masih remaja pada akhir tahun 1978, bercerita ketika Imam menjadikan sebuah desa di Paris, Neauphle le Chateau, sebagai tempat tinggal sementaranya (selama 6 bulan) sebelum kepulangannya yang bersejarah ke Teheran dari pengasingan.
Suatu hari dalam perjalanan menuju ke rumah dari sekolah, aku melihat keramaian orang2 di gang yang mengarah ke tempat tinggalku. Ada beberapa wartawan dengan kamera menggantung di dada mereka. Mereka mengintai ke dalam taman dari atas pintu gerbang taman dari kayu hijau. Aku berusaha masuk ke dalam kerumunan; semakin aku masuk semakin sulit aku mencari tau.
Aku bertanya ke wartawan apa yg terjadi. Dia mengatakan beberapa peristiwa penting akan terjadi. Dia bertanya apakah aku tinggal di desa itu?
“Ya, rumah kami ada di sana,” aku menunjuk rumah.
“Desa kamu akan segera menjadi desa paling terkenal di dunia,” kata wartawan itu.
“Aku tidak mengerti maksudmu. Peristiwa penting apa yg akan terjadi di desa kami sehingga begitu penting?” tanyaku.
“Kamu pernah dengar nama Ayatullah Khomeini?” tanyanya.
Nama itu tidak asing bagiku. Aku telah mendengar nama itu beberapa kali sebelumnya dari radio dan televisi serta foto di surat kabar. “Maksudmu pemimpin agama Iran?” tanyaku pada wartawan.
“Tepat. Dia sudah tiba di desa ini. Dia akan menjadi tetanggamu,” katanya.
Wartawan itu melanjutkan bahwa ia dan rekannya sedang menunggu izin dari Ayatullah Khomeini untuk wawancara. Saya semakin penasaran untuk melihat pribadi besar ini. Setiap pertemuan bisa menjadi bahan pembicaraanku di depan teman2 kelas.
“Akankah mereka mengizinkanku masuk jika aku menunggu?” tanyaku.
“Saya tidak tau,” jawabnya, “kamu harus tanya orang yg berdiri di samping pintu taman.”
Aku segera meninggalkannya dan bertanya kepada orang yg bertugas apakah aku punya kesempatan untuk bertemu dengan Ayatullah Khomeini.
“Kami tinggal beberapa langkah dari sini. Bisakah aku mengunjungi Ayatullah Khomeini?” tanyaku.
“Apa yang kamu ketahui tentangnya?” dia bertanya padaku.
“Aku tau Ayatullah Khomeini adalah pemimpin agama Iran. Koran memuat foto2nya setiap hari.”
Pria itu berpikir sejenak dan bertanya apakah ada orang lain selainku yang ingin bertemu Ayatullah Khomeini. Aku menunjuk wartawan itu dan berkata, “Mereka juga ingin. Aku berjanji untuk melihatnya beberapa detik dan tetap tertib.”
Beberapa detik kemudian pintu gerbang taman terbuka lebar untukku. Ayatullah Khomeini adalah orang tua dengan sinar yang memakai jubah keagamaan dan sorban hitam di kepalanya. Aura spiritual mengalir darinya. Aku berpikir sejenak bahwa Al-Masih (Yesus) ada di hadapanku.
Satu jam berlalu sejak aku masuk dan aku tidak membayangkan betapa cepatnya waktu berlalu. Aku kembali ke rumah dan memberi tau ibu. Aku bertanya, “Apakah kedatangannya ke desa kita membuat masalah?”
“Saya pikir tidak, tapi ayahmu sedang mencari ketenangan dan tidak akan ada ketenangan lagi di sini,” jawabnya.
Ibu benar. Hari itu ayah kembali ke rumah dari pekerjaannya. Ia marah sambil melepas mantelnya, duduk di sofa dan mengeluh, “Tahun ini saya terus dibuntuti kegagalan. Di satu sisi perusahaan menghadapi kebangkrutan dan di sisi lain, desa kita kehilangan kedamaiannya.”
Ibuku menghiburnya dengan berkata, “Jangan khawatir, koran menulis kalau Ayatullah Khomeini akan pergi dalam beberapa hari lagi ke Iran, jadi tempat ini akan menjadi damai kembali.”
Beberapa hari sebelum Natal, aku mulai tidak semangat dengan pekerjaan rumah. Imam Khomeini terus menguasai pikiranku. Aku mengatakan kepada ayah kalau ia ingin melihat seseorang, yang mengilhami perasaan yang sama seperti Yesus (salam baginya), maka ia harus datang dan mendengar Ayatullah Khomeini.
Berbeda dengan harapanku, ayah memutuskan untuk mengadu kepada polisi. Aku kehilangan kesabaran dan bertanya mengapa ia menolak untuk melihat Ayatullah Khomeini.
“Dia sama seperti penceramah agama lainnya. Dia pasti hanya akan memberikan nasihat,” kata ayah.
“Ayah selalu menasihati aku untuk tidak berburuk sangka. Saya pikir ayah orang yg rasional… dia akan berpidato pada hari ini. Ayo kita pergi mendengarkannya, setidaknya demi putramu. Ayah bisa pergi kalau tidak puas,” kataku pada ayah.
“Kapan kita harus pergi?” tanya ayah.
“Kurang dari setengah jam lagi. Dia terbiasa dengan tepat waktu,” kataku dengan empati.
Ketepatan waktu Ayatullah Khomeini sangat mengesankan saya. Dia datang tepat waktu dan duduk di tempat biasa di mana dia bertemu wartawan. Semua berdiri sebagai tanda penghormatan kepada ayatullah agung ini. Dia duduk di bawah pohon rindang dan mulai berbicara dengan tenang dengan suara yang lembut. Penerjemah bersiap menyampaikan pidatonya ke dalam bahasa Perancis.
Beberapa menit kemudian, aku melihat wajah ayah. Dia mendengar dengan seksama. Ada sinar dari air matanya dan tampak jelas ia sangat terkesan oleh Ayatullah Khomeini. Aku bernapas lega. Di hari lain, kami juga mendengarkan Ayatullah Khomeini dan ayah tidak lagi marah.
Di malam kelahiran Yesus, kami sedang duduk untuk merayakannya, ketika tiba2 bel rumah berbunyi. Ayah menuju pintu dan aku mengikutinya. Seseorang dengan buket kembang dan sekotak permen, berkata, “Ini hadiah dari Ayatullah Khomeini. Dia mengucapkan selamat kepada kalian di hari kelahiran Yesus (salam baginya) dan menyampaikan maaf dengan hormat kalau mengganggu perayaan Natal dan kehadirannya mengganggu desa.”
Ayah menerima bunga dan kotak permen itu. “Sampaikan terima kasih kepadanya.” Ayah berdiri kagum pada semua cinta dan kasih sayang yg diberikan. Dia masuk ke ruangannya tanpa berkata apa2 lagi. Beberapa menit kemudian aku mendengarnya menangis.
Ibu bertanya apa yg terjadi. Aku bergegas menujunya untuk menjelaskan. “Tahun ini Al-Masih memberi kita hadiah, bunga dan permen.”