Presiden Sukarno prihatin bahwa masih banyak orang Indonesia yang buta aksara Latin. Orang-orang Melayu dan Islam pesisiran di Jawa tentu melek aksara Arab, orang Tionghoa tentu melek Hanzi, dan di daerah-daerah masih banyak orang yang memakai aksara tradisional mereka masing-masing.

Melek aksara Latin sangat penting bagi Sukarno yang seorang kutu buku. Karena jika tak melek aksara Latin tentunya akan sangat sulit untuk mengakses ilmu pengetahuan dari Barat yang literaturnya banyak ditulis dalam bahasa Inggris, Belanda maupun Jerman.

Beliau berkata, “Memberantas buta aksara itu lebih hebat dari membangun stadion. Memberantas buta aksara berarti mendirikan stadion dalam otak kita, dalam jiwa kita, dalam roh kita.”

Presiden Sukarno terinspirasi dari Pemimpin Turki, Mustafa Kemal Attaturk, yang mereformasi bahasa Turki dengan berusaha membuang elemen-elemen bahasa Arab dan Persia dari bahasa Turki. Ia mengganti elemen-elemen itu dengan serapan kata dari bahasa Latin dan Inggris, serta membuat abjad untuk bahasa Turki yang berbasis aksara Latin ala Jerman yang banyak memakai umlaut.

Attaturk tak hanya membuat terobosan dan duduk-duduk santai saja, ia turun ke lapangan dan mengajari orang-orang tua dan ibu-ibu di pelosok Anatolia bagaimana cara membaca dan menulis dengan aksara baru. Sukarno pun melakukan hal yang sama. Ia membuat sebuah proyek yang dikenal dengan beberapa sebutan seperti Program Pintas Pendidikan Rakyat, Pemberantasan Buta Huruf (PBH), dan Kursus ABC.

Mengenai pengalaman di dunia pendidikan tak perlu diragukan. Berbeda dengan Attaturk yang memiliki latar belakang militer, Presiden Sukarno punya pengalaman sebagai seorang guru. Ketika beliau dibuang ke Bengkulu oleh Belanda, beliau menjadi guru di sekolah Muhammadiyah. Muhammadiyah adalah ormas Islam yang disukai Sukarno karena memperkenalkan doktrin Islam yang modernis dan progresif. Terlebih lagi, Muhammadiyah sudah berpengalaman dalam aspek pendidikan.

Karenanya, ketika Sukarno diminta mengajar sebagai seorang guru di sekolah Muhammadiyah, beliau langsung setuju. Di sini pula lah beliau bertemu calon istrinya, Fatmawati. Berbekal pengalaman Sukarno menjadi guru di Muhammadiyah, beliau turun sendiri ke lapangan dan mengajar orang-orang tua, anak-anak, ibu-ibu, dan lain sebagainya.

Pada tahun 1960, masih terdapat sekitar 40% orang dewasa yang buta aksara Latin. Setelah program itu berjalan, di tahun 1964, penduduk Indonesia (usia 13-45 tahun) dinyatakan bebas buta aksara Latin.

Walau begitu, apa yang dirintis Sukarno masih jauh dari selesai. Kendati sekarang sudah banyak rakyat Indonesia yang melek aksara Latin tapi belum tentu melek literasi, dimana mereka bisa membaca tulisan tetapi belum tentu memahami apa yang tertulis disana. Karenanya, wajar banyak yang terjebak dengan hoaks dan propaganda yang tak bertanggung jawab.

Referensi:

Andries Teeuw. Indonesia antara Kelisanan dan Keberaksaraan. Pustaka Jaya, 1994

Jules Archer. Kisah Para Diktator : Biografi politik para penguasa fasis, komunis, despotis, dan tiran. Penerbit Narasi, 2014

Muhidin Dahlan. Pada sebuah buku. Warung Arsip, 2018

Ramadhan KH. Kuantar ke Gerbang. Bentang Pustaka, 2014

Rosihan Anwar. Sukarno, tentara, PKI: segitiga kekuasaan sebelum prahara politik, 1961-1965. Yayasan Obor Indonesia, 2006

Penulis : Hanafi Wibowo
Editor : Veronica Septiana S

Redaksi SBSINEWS
9 September 2022

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here