Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja telah diundangkan pada tanggal 2 November 2020 (Ciptaker). Sejak saat itu secara simultan dilakukan proses penyusunan peraturan pelaksanaannya di semua klaster, termasuk klaster ketenagakerjaan. Bahkan sejak awal disetujui pada sidang paripurna DPR, beberapa instansi terkait, telah mempersiapkan peraturan turunan UU Ciptaker dimaksud, walaupun tengah bergulir proses judicial review di Mahkamah Konstitusi.
Dalam penyusunan peraturan turunan, Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah memastikan bahwa pembahasan aturan turunan UU Ciptaker dibahas bersama buruh. Selanjutnya ia menyatakan, bahwa terdapat empat RPP yang menjadi turunan dari UU Ciptaker di klaster ketenagakerjaan, tiga di antaranya telah dibahas secara tripartite dengan melibatkan buruh.
Pada klaster ketenagakerjaan UU Ciptaker, ada lebih dari duapuluh rancangan peraturan pemerintah (RPP) yang diamanatkan, namun kemudian disatukan atau dikelompokkan dalam empat draft, yakni: 1) RPP Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja Dan Waktu Istirahat Dan Pemutusan Hubungan Kerja; 2) RPP Pengupahan; 3) RPP Tenaga Kerja Asing; dan 4) RPP Jaminan Kehilangan Pekerjaan.
Keempat nomenklatur draft RPP itulah yang menjadi pokok bahasan (analisi) tulisan ini. Persoalannya, apakah pengelompokan dan nomenklatur RPP tersebut lazim dan sesuai dengan ketentuan serta amanat dalam UU Ciptaker? dan bagaimana idealnya?
Analisis dan Kajian Hukum
RPP Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja Dan Waktu Istirahat Dan Pemutusan Hubungan Kerja (RPP PKWT, AD, WKWI dan PHK), adalah draft/RPP yang judulnya relatif panjang dan merupakan penyatuan beberapa materi muatan yang substansinya berbeda.
Dalam RPP PKWT, AD, WKWI dan PHK tersebut, terdapat empat substansi yang diatur, yaitu, pertama, perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT atau lazim disebut kontrak) yang merupakan aspek hukum perdata (privaatrecht). Kedua, alih daya (outsourcing) atau dalam Pasal 26 huruf f UU No. 28 Tahun 2008 tentang UMKM disebut dengan “penyumberluaran” yang merupakan wilayah hukum bisnis (business agreement).
Ketiga, waktu kerja waktu istirahat (WKWI) yang merupakan species dari UU Keselamatan Kerja (K3) sebagai genus-nya (UU No. 1 Thun 1970 tentang Keselamatan Kerja). Terakhir keempat, pemutusan hubungan kerja (PHK) yang masih serumpun (satu genus) dengan PKWT yang juga termasuk dalam family hukum perdata ketenagakerjaan (labor law) yang biasanya dibahas dalam bab Hubungan Kerja dan Pemutusan Hubungan Kerja.
Dengan demikian konten RPP PKWT, AD, WKWI dan PHK, merupakan penyatuan materi muatan dari berbagai aspek, baik hukum privat (privaatrecht) maupun hukum publik (publiekrechtelijk). Maksudnya, bila dicermati lebih jauh penyatuan dimaksud tidak “serumpun” dan bahkan berbeda konteks dan subtansi hukumnya. Masing-masing memiliki materi muatan yang sangat luas dan mencakup banyak hal.
Penyatuan tersebut mengabaikan konsep pengelompokan (-dengan meminjam istilah ilmu biologi-) menurut rumpun famili, genus atau species-nya, sehingga dapat dikatakan menyimpang dari asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik yang mengharuskan adanya kesesuaian antara jenis, hierarki dan materi muatan serta kejelasan tujuan dan rumusan (Pasal 6 huruf c UU No. 12 Tahun 2011).
Sementara ketentuan waktu kerja dan waktu istirahat (WKWI) merupakan aspek hukum publik (publiekrechtelijk) yang termasuk dalam rumpun genus K3. Oleh karenanya ketentuan WKWI tersebut sifatnya memaksa (dwingendrechts). Secara umum, memang semua materi muatan RPP PKWT, AD, WKWI dan PHK tersebut, masih dalam satu family UU Ketenagakerjaan, namun keempat species tersebut, pada hakekatnya tidak dapat disatukan, karena akan mengabaikan asas ketertiban dan kepastian hukum serta keserasian dan keselarasan(Pasal 6 hutuf I dan j UU No. 12 Tahun 2011).
PKWT adalah salah satu jenis perjanjian kerja yang melahirkan hubungan kerja. Artinya, sejak dibuatnya perjanjian kerja, sejak saat itu terjadi hubungan kerja (pacta sun servanda). Suatu saat perjanjian kerja diakhiri/berakhir, maka berakhir pula hubungan kerja dimaksud. Peristiwa itu dinamakan PHK. Berdasarkan kaidah tersebut, maka PKWT dan PHK dapat menjadi judul RPP tersendiri, namun harus mengedepankan aspek hubungan kerjanya (arbeidsverhouding) sebagai a-contrario dari pemutusan hubungan kerja (ontslag– discharge). Maksudnya, dengan mengedepankan aspek hubungan kerja, maka akan mencakup semua jenis perjanjian kerja, baik PKWT maupun perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT), bahkan perjanjian kerja harian / lepas (PKH/L) atau perjanjian kerja laut (PKL).
Dengan demikian, idealnya draft RPP PKWT, AD, WKWI dan PHK harus dipecah dan dikelompokkan masing-masing berdiri sendiri sesuai species-nya, dan paling tidak meliputi tiga draft (RPP), yakni: 1) RPP Hubungan Kerja Dan Pemutusan Hubungan Kerja, dan 2) RPP Alih Daya (Outsourcing), serta 3) RPP Waktu Kerja Dan Waktu Istirahat (WKWI). Disamping itu, RPP Pengupahan, RPP Tenaga Kerja Asing, dan RPP Jaminan Kehilangan Pekerjaan juga masing-masing terpisah.
Dengan demikian RPP dipisahkan sesuai dengan konteks kontennya, mana hukum ketenagakerjaan, mana yang hukum bisnis dan mana yang termasuk ranah K3. Masing-masing RPP dimaksud, secara umum dapat dijelaskan, sebagai berikut:
Pertama, RPP Hubungan Kerja dan Pemutusan Hubungan Kerja dapat meng-adopt materi muatan dari beberapa ketentuan, antara lain Kepmenakertrans. No. Kep-100/Men/VI/2004 dan UU R.I. Nomor 2/2004 yang terkait PHK (dalam UU dimaksud) dan Permenakertrans R.I. No.Per-31/Men/VII/2008 serta eks-Pasal 158 dan Pasal 160 sampai dengan Pasal 172 UU R.I. Nomor 13/2003.
Materi muatan RPP Alih Daya tersebut, dapat di-adopt dari Permenakertrans. No. 19/2012 dan SE-Menakertrans No-SE-04/Men/2013 serta dari beberapa peraturan instansi / lembaga lainnya yang mengatur alih daya. Di samping itu, RPP ini harus dapat menjelaskan korelasi atau persamaan dan perbedaan antara ketentuan alih daya (outsourcing) dalam UU Ketenagakerjaan dengan pemborongan pekerjaan (aanneming van werk–uitbesteding) dalam KUH Perdata (Burgerlijk-Wetboek), sehingga masyarakat dapat memahami karakteristik masing-masing alih daya dan pemborongan pekerjaan.
Ketiga: RPP Waktu Kerja Dan Waktu Istirahat (WKWI) yang merupakan bagian (family) dari UU Keselamatan Kerja (K3) yang harus diatur terpisah menjadi RPP tersendiri, karena ketentuan WKWI mencakup substansi yang juga relatif luas dengan implikasi yang menyangkut banyak hal, baik untuk WKWI normal maupun WKWI sektor/sub-sektor atau untuk jenis pekerjaan tertentu, termasuk WKL.
Dalam penyusunan RPP WKWI dimaksud, materi muatannya dapat di-adopt (antara lain) dari PP R.I. No. 21 Tahun 1954 jo Kepmenakertrans R.I. No.Kep-69/Men/1980. Kemudian beberapa peraturan menteri tenaga kerja mengenai WKWI khusus (pada sektor/subsektor dan pekerjaan tertentu), yakni: a) Kepmenakertrans R.I. No-Kep-234/Men/2003; b) Permenakertrans R.I. No.Per-15/Men/VII/2005; c) Permenakertrans R.I. No.Per-11/Men/VII/2010; d) Permenakertrans R.I. No. 04/2014; dan e) Permenaker R.I. No. 27/2015.
Demikian juga dalam RPP WKWI, perlu sekaligus mengatur kekosongan hukum mengenai WKWI bagi pekerja dalam hubungan kerja pada sektor/sub-sektor dan pekerjaan tertentu lainnya, seperti: sektor/sub-sektor angkutan minyak dan gas, angkutan jarak-jauh, baik bus antar-kota, maupun angkutan barang (dengan truck-tronton), atau angkutan perairan dalam negeri. Selain itu, perlu mengatur norma waktu kerja lembur (WKL), baik WKL di hari kerja biasa (yang sudah berubah dan bertambah), atau WKL di hari istirahat mingguan dan/atau hari libur nasional (yang juga pasti berubah).
Substansi -khusus- mengenai WKL, dapat diadopt dari Kepmenakertrans R.I. No.-Kep-102/Men/VI/2004. Sebaliknya, untuk substansi mengenai upah kerja lembur (UKL) dalam Kepmenakertrans R.I. No.-Kep-102/Men/VI/2004 tersebut, diatur terpisah (dan menjadi substansi) dalam RPP Pengupahan.
Selain itu, perlu memperhatikan Konvensi International Labor Organisation – ILO Nomor 106/1957 (concerning: weekly-rest), agar Indonesia tidak lagi dianggap sebagai Negara yang mengabaikan dan melanggar standar weekly-rest. Karena selama ini, secara periodik Indonesia selalu mendapat “note” dari ILO terkait dengan ketentuan dan praktek lembur yang menyimpang dari standar ILO.
Materi muatan RPP Pengupahan dapat diadop dari “PP R.I. No. 78 Tahun 2015” dengan penambahan substansi dari Kepmenakertrans R.I. No.-Kep-102/Men/VI/2004 (mengenai UKL), serta SE-Menakertrans R.I. No.SE-01/MEN/1982 mengenai Petunjuk Pelaksanaan PP No.8/1981 yang dapat menjadi bahan penjelasan RPP Pengupahan.
Kelima, RPP Tenaga Kerja Asing. RPP ini sepertinya tidak ada persoalan prinsip terkait penamaannya, walaupun demikian materi muatan-nya perlu pencermatan mendalam, terutama menyangkut anatomi tenaga kerja (TKA) dan masing-masing hubungan hukumnya yang menjadi coverage pada RPP TKA tersebut.
Keenam, RPP Jaminan Kehilangan Pekerjaan yang merupakan RPP khusus sebagai bagian dari sitem jaminan sosial nasional (SJSN). Materi muatan RPP JKM ini dapat di-adopt antara lain dari Kepmenaker No. Kep-27/Men/2000 tentang Santunan Pekerja Migas. Walaupun roh-nya tidak persis sama, akan tetapi setidaknya dapat menjadi acuan dalam penyusunan materi-muatan RPP JKM dimaksud.
Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa pengelompokan ideal aturan turunan dari UU Cipta Kerja, sekurang-kurangnya harus dalam 6 (enam) RPP, yakni: a) RPP Hubungan Kerja Dan Pemutusan Hubungan Kerja; b) RPP Alih Daya (Outsourcing); c) RPP Waktu Kerja Dan Waktu Istirahat (WKWI); d) RPP Pengupahan; dan e) RPP Tenaga Kerja Asing (RPP – TKA); serta f) RPP Jaminan Kehilangan Pekerjaan (RPP – JKP). Artinya, tidak bisa dipaksakan hanya dengan empat RPP yang dapat berakibat hilangnya kejelasan rumusan dan kejelasan tujuan suatu peraturan perundang-undangan dan bahkan -kemungkinan- tidak dapat dilaksanakan dengan baik. Demikian, semoga bermanfaat.
*)Umar Kasim, S.H., dosen STHM Jakarta.
SUMBER : HUKUMONLINE.COM