Dua sifat paling jelek dari bangsa Indonesia, konon ada dua yaitu latah dan amuk. Amuk sendiri saking uniknya, telah dimasukkan sebagai “kosa kata” serapan dalam bahasa Inggris. Dituliskan sebagai “amok”. Mengapa pakai vokal o dan bukan u, barangkali karena penekanannya pada konteks kultural dan bukan melulu kata sifat (apalagi kata kerja). Sedemikian mudahnya, masyarakat kita melakukan “amok”, terbukti paling gampang terlihat dan terjadi setiap pergantian kekuasaan selalu diikuti oleh anarki massa.

Masyarakat yang melakukan “amok” bukan saja terhadap pemerintahan sebelumnya, tapi lebih menunjukkan ketidakberdayaan terhadap keadaan dan inferioritas akan situasi yang selalu memposisikan mereka sebagai golongan yang selalu salah dan kalah. Di situ lah barangkali simpul terpenting “amok”.

Sedangkan budaya latah sendiri, sebenarnya bisa dianggap sebagai awal, sedang, dan akhir dari situasi “amok”. Situasi yang kalau menurut bahasa iklan yang sedang populer di hari2 ini dilukiskan sebagai “orang Indonesia itu senangnya jika bisa bersama-sama”. Saya lupa iklan tentang apa? Tapi point terpentingnya itu adalah bentuk “latah” dalam situasi paling netral.

Yang terkadang latah malah terpeleset sebagai wujud dari solidaritas, atau malah-malah bentuk konkret toleransi. Padahal bila dipahami dalam diksi lokal tak lebih sebagai “latah”, mung melu-melu. Hanya ikut-ikutan….

Pun demikian pula, dalam kasus paling menyita perhatian sekaligus paling bikin muak pada sekira sebulan terakhir. Kasus yang secara ngawur dianggap sebagai “Ksus Sambo”. Orang menyebutnya sedemikian enteng, tanpa pernah mau berpikir bahwa hal seperti itu bukan saja sebuah logical fallacy yang jika tidak dikelola secara bijak akan merugikan sedemikian banyak pihak. Penyebutan yang sangat ngawur dan sembrono, yang secara langsung berpotensi akan menjurus pada konteks SARA yang semestinya tak perlu.

Dalam tulisan ini, saya ingin membuat perbandingan yang korelatif tapi sangat tidak linear, yang secara latah dilakukan oleh media massa kita. Dan itu fatal! Khususnya antara pelaku dan korban. Pelaku utama dituliskan (atau malah disebutkan) sebagai Sambo, padahal nama lengkapnya adalah Ferdy Sambo. Sedangkan korban selalu hanya dituliskan Joshua, padahal nama lengkapnya adalah Joshua Hutabarat. Tentu saja pada nama lengkap tersebut terdapat nama marga, yang dalam konteks pelaku justru jadi penekanan, sebaliknya dalam posisi korban malah dikaburkan.

Bisa dibayangkan bila sama2 dilafalkan dalam konteks linear yaitu Sambo dan Hutabarat! Saya yakin siapa saja saudara kita dari etnis Batak yang memiliki nama marga Hutabarat akan berteriak sangat kencang. Protes dan tidak terima!

Sambo sendiri adalah nama marga yang sangat terhormat dari etnis Toraja, yang menjadi salah satu suku yang sangat populer dengan tradisinya yang sangat unik dan khas. Dan berbeda dengan etnis lain, dalam tradisi Toraja, mereka sangat peduli pada teks dan konteks setiap “kosa kata” yang mereka pilih untuk penyebutan diri mereka. Bahkan dalam kata “Toraja” sendiri, mereka dengan sangat bangga mengartikannya sebagai berasal dari kata To = Tau (orang), Raya = dari kata Maraya (besar), artinya orang-orang besar, terhormat, bangsawan.

Sedemikian bangganya mereka hingga menyebut tanah air mereka dengan sebutan Tondok Lili’na Lapongan Bulan Tana Matari’allo. Yang artinya “negeri yang bulat seperti bulan dan matahari”.

Berbeda dengan suku Bugis yang lebih dikenal sebagai pelaut. Etnis Toraja tinggal di daerah pedalaman, lebih khusus lagi di daerah pegunungan. Persamaan keduanya mereka umumnya adalah perantau yang gigih dan tekun. Dalam kunjungan terakhir dan obrolan saya dengan sesama penumpang bis. Diaspora etnis ini sebagai perantau sangat kental tidak hanya Indonesia Timur, tapi nyaris di setiap sudut wilayah Indonesia. Mereka sudah jamak merantau hingga jauh sampai Semenanjung Malaya secara berkelompok.

Secara individu tak sulit menemukan orang Toraja nyaris di setiap pelosok penjuru dunia.

Untuk apa? Secara sederhana, bisa dipahami justru karena ikatan psikologis dan ekonomis terhadap tanah kelahirannya sedemikian kuat merekat. Mereka menyebut betapa semua jerih payah mereka akan tercermin dari bagaimana mereka membangun tongkonan (rumah) yang megah, yang di depannya akan teraktulisasi seberapa banyak tanduk kerbau yang tersemat di depannya. Kerbau dan upacara tradisi adalah dua keping mata uang, adalah alasan utama yang membuat orang Toraja sedemikian gigih bekerja.

Mereka selalu dengan bangga berkata: “Jadi orang Toraja itu mahal”. Setiap upacara selalu butuh biaya besar, butuh banyak kerbau. Padahal setiap keluarga pasti akan berupaya memilih kerbau dengan karakter khusus sebagai simbol harga diri keluarga. Dan yang istimewa itu bukan saja mahal, tapi sangat sangat mahal.Kita tak akan bisa membayangkan jenis kerbau yang disebut Tedo Bonga dianggap sebagai “raja” di Tana Toraja. Harga kerbau setengah albino ini dengan ragam corak khusus dan kemulusan kulit terbaik. Jenis kerbau ini bisa berharga 1 miliard rupiah seekor.

Hal tersebut tak terkecuali berlaku pada keluarga besar marga Sambo. Jejak marga ini dapat ditemukan pada sebuah lumbung Tongkonan di Taniasa Kandeapi, Tikala, Kabupaten Toraja Utara. Lumbung Tongkonan itu berbeda karena memiliki 10 banga (tiang), lumbung tongkonan biasa hanya memiliki 6-8 banga. Lumbung itu juga memiliki 3 longa (atap melengkung) padahal lumbung tongkonan biasa hanya memiliki 2 longa saja.

Lumbung Tongkonan itu dibangun oleh Mayjen Polisi Pieter Sambo, seorang polisi yang memiliki reputasi sebagai polisi jujur dan juga aktif dalam gerakan kepramukaan Indonesia. Pieter juga membantu revitalisasi dan penataan Tongkonan di Tana Toraja. Pieter Sambo dikenal sebagai perwira intelijen yang tahu berbagai hal strategis yang meliputi bidang ekonomi, keuangan, politik, pemerintahan, hukum, hingga perbankan negeri. Ia disebut ahli dalam berbahasa asing, salah duanya adalah Inggris dan Rusia.

Dalam karir kepolisiannya, ia nyaris menjadi Kapolri saat LB Moerdani menjabat sebagai Menhankam Pangab. Namun hal tersebut batal lantaran Presiden RI pada masa itu yakni Soeharto, memilih Jenderal Mohammad Sanoesi sebagai Kapolri (1986-1991).

Di kemudian hari, keponakan Pieter, Ferdy mengikuti jejak sang paman untuk menjadi polisi pula. Bahkan si ponakan ini, berhasil meroket kariernya di usia yang “baru” 49 tahun, tapi sudah sama dengan pangkat pamannya saat pensiun.

Si Ferdy inilah yang digadang-gadang akan bisa menuntaskan “sukses yang tertunda” untuk menjadikannya Kapolri.

Sial beribu sial pada diri si Ferdy inilah, nama marga ini yang semula seolah tongkat estafet sukses. Tiba2 berubah menjadi mimpi buruk yang menimpa seluruh anggota marga ini. Karier cemerlang Pieter seolah dinisbikan oleh keponakannya Si Ferdy.

Akibat kesembronoan dan kecerobohannya, nama besar Sambo berubah dari hero menjadi zero….

NB: Bagian lain yang tak pernah tercover dari kasus Ferdy Sambo adalah dukungan yang ia peroleh dari sesama sejawatnya saat sama2 belajar di SMA Negeri 1 Makassar. Sahabat saya, menuliskan bagaimana dalam satu acara gowes saat peringat kemerdekaan yang lalu. Sesaat sebelum turun panggung, si senior perempuan berteriak dengan lantang, tapi tentu dengan nada sedih. Dua kali ia menerikkan: Hidup Ferdy Sambo!

Bagaimana mereka melakukan pembelaaan secara lantang tapi getir, harus menerima kenyataan bahwa Si Peppi begitu mereka memanggilnya. Telah dicaci dan dikutuk sedemikian rupa, sekian lama oleh jutaan orang yang setiap hari. Bagi kawan yang mengenalnya dulu, Peppi dalam ingatan mereka, tetaplah figur yang baik, pandai, penyayang, ramah, senang menolong kawan. Seorang yang gigih dan pantang menyerah, sebagaimana umumnya orang Toraja.

Preseden ini adalah bagian apa yang disebut “trial by press”, kewenangan yang dimiliki oleh pers melewati batas. Press yang melakukan framing yang pada akhirnya juga sangat sembrono mengkontekskan ini sebagai “Kasus Sambo”. Mereka tak mau tahu, dan sedikit paham “sambo yang mana”? Ferdy Sambo memang bersalah, tak ada pertanyaan tentang itu. Bahkan dirinya pun mengakuinya. Tapi menyebut ini sebagai “Kasus Sambo”, hanya menguatkan watak latah dan amok dari bangsa ini.

Sebagaimana saya bilang, tak akan pernah ada yang berubah setelah kasus ini berlalu dan bahkan dilupakan. Satu-satunya yang tetap adalah watak dasar bangsa ini tak pernah mau peduli secara lebih teliti dan berimbang!

Penulis

Andi Setianamangoenprasojo

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here