Catatan Sore

SBSINews – Masih berkisah tentang Hari Anak Nasional yang tahun ini mengambil Tema “Anak Terlindungi, Indonesia Maju.” Kalau tadi bicara soal anak jalanan, saat ini saya mau mengetengahkan perlindungan anak oleh Program JKN.

Saya mulai dengan cerita nyata tentang seorang bayi. Teman saya menyampaikan laporan tentang seorang bayi baru lahir yang tidak bisa dijamin JKN karena Ibunya melahirkan di sebuah RS dengan status terdaftar sebagai pasien umum. Sang bayi harus ditangani khusus karena mengalami sesuatu ketika lahir. Si Ibu boleh pulang namun si bayi harus tetap dirawat di RS.

Ketika keluarga ingin agar pengobatan si bayi dibiayi oleh JKN maka kami menginformasikan Pasal 16 ayat (1) dan Pasal 28 ayat (6) Peraturan Presiden No. 82 Tahun 2018 yang mengamanatkan bayi baru lahir dari peserta JKN wajib didaftarkan kepada BPJS Kesehatan paling lama 28 hari sejak dilahirkan, dan iurannya dibayarkan pada saat mendaftar, tanpa lagi harus menunggu 14 hari seperti pendaftar peserta mandiri ke Program JKN. Si bayi sudah bisa dijamin JKN.

Namun ketika keluarga meminta agar perawatan si bayi dijamin JKN, pihak RS dan BPJS Kesehatan setempat tidak membolehkan dengan alasan si Ibu ketika melahirkan di RS tersebut statusnya pasien umum, artinya bayar sendiri tanpa jaminan JKN. Dengan status Ibu tersebut maka pembiayaan si bayi harus bayar sendiri.

Ketika RS dan BPJS Kesehatan menolak, saya edukasi keluarga via teman BPJS Watch yang membantu yaitu Sdr. Agus, bahwa bayi yang baru lahir merupakan subyek hukum tersendiri yang terpisah dari sang Ibu sehingga tidak bisa penjaminan JKN si bayi dikaitkan dengan si Ibu. Faktanya si bayi adalah peserta JKN yang sudah mendaftar dan membayar iuran, dan oleh karenanya si bayi sudah memiliki HAK untuk dijamin JKN. Lagi pula status kepesertaan si bayi tersebut tidak melebihi 3 x 24 jam sejak bayi lahir dan dirawat di RS tersebut sehingga surat penjaminan harus dikeluarkan.

Untuk memperkuat argumentasi saya sampaikan tentang Subyek Hukum Perdata menurut Prof. Subekti, dalam bukunya yang berjudul Pokok-Pokok Hukum Perdata (hal. 19-21), bahwa dalam hukum, orang (persoon) berarti pembawa hak atau subyek di dalam hukum. Seseorang dikatakan sebagai subjek hukum (pembawa hak), dimulai dari ia dilahirkan dan berakhir saat ia meninggal.

Setelah berdebat lama, akhirnya si bayi mendapat penjaminan JKN, dan seluruh biaya ditanggung JKN. Saat ini bayi sudah pulang ke rumah.

Tentunya kasus di atas bukanlah kasus pertama yang kami tangani. Ini kasus yang kesekian kami advokasi paska hadirnya Pasal 16 ayat (1) dan Pasal 28 ayat (6) tersebut. Ketentuan hukum sudah sangat jelas dan oleh karenanya janganlah BPJS Kesehatan dan RS memposisikan hak bayi baru lahir “setali tiga uang” dengan status si Ibu, sehingga HAK perlindungan bayi diabaikan.

Sejak lahirnya Perpres no. 82 Tahun 2018 memang Pemerintah memberikan dispensasi khusus kepada bayi baru lahir dari orang tua peserta JKN, sehingga kepesertaan JKN bagi bayi baru lahir bisa didapat pada saat mendaftar dan membayar iuran pada hari yang sama, tanpa menunggu 14 hari.

Namun demikian dispensasi tersebut hanya bagi bayi dari orang tua yang sudah menjadi peserta JKN. Bagi orang tua yang belum menjadi peserta maka pendaftaran bayi baru lahir harus mengikuti prosedur 14 hari setelah mendaftar.

Saya menilai ketentuan Pasal 16 ayat (1) dan Pasal 28 ayat (6) Perpres No. 82 Tahun 2018 adalah baik tetapi seharusnya tidak mendiskriminasi bayi baru lahir dari orang tua yang belum menjadi peserta JKN. Apakah “dosa” orang tua yang belum menjadi peserta JKN harus ditanggung si bayi sehingga si bayi harus menanti 14 hari untuk bisa dijamin JKN. Hukumlah orang tuanya, tapi jangan hukum si bayi yang baru lahir yang memang rentan sakit. BPJS Watch terus mendesak agar Pasal 16 ayat (1) dan Pasal 28 ayat (6) diberikan kepada seluruh bayi baru lahir, sehingga tidak ada diskriminasi bagi seluruh bayi yang baru lahir.

BPJS Watch juga mendorong agar seluruh regulasi operasional JKN menyelaraskan dengan regulasi yang ada lainnya, seperti Pasal 5 ayat (3) UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM yang menyatakan setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat yang RENTAN berhak memperoleh PERLAKUAN dan PERLINDUNGAN LEBIH berkenaan dengan kekhususannya. Dalam Penjelasan Pasal 5 ayat (3) disebutkan yang dimaksud dengan kelompok masyarakat yang rentan antara lain adalah orang lanjut usia, anak-anak, fakir miskin, wanita hamil, dan penyandang cacat.

Regulasi JKN memposisikan seluruh peserta dalam kondisi sama (ekonomi, fisik, akses, dsb) sehingga amanat Pasal 5 ayat (3) tersebut tidak menjadi rujukan. Ketentuan 1 poli 1 hari sering kali dinyatakan pihak RS sehingga pasien JKN harus bolak balk ke RS ketika akan diperiksa di poli perawatan. Ini dialami anak berusia 4 tahun dari orang tua miskin yang akan dioperasi, harus pergi pulang ke RS beberapa hari. Harusnnya kan bisa anak ini mengakses lebih dari 1 poli dalam 1 hari.

Dalam masa pandemi ini pun, anak-anak dari pekerja/buruh yang terPHK rentan tidak bisa terlindungi lagi oleh JKN. Pasal 21 ayat (1) UU SJSN yang mengamanatkan kepesertaan jaminan kesehatan tetap berlaku paling lama 6 (enam) bulan sejak seorang peserta mengalami pemutusan hubungan kerja, sepertinya sulit diakses oleh pekerja/buruh yang terPHK sehingga anak-anaknya pun luput dari perlindungan JKN.

Pasal 21 ayat (1) hanya mengamanatkan pekerja/buruh yang terPHK, dan mengacu pada UU No. 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan ada 15 jenis PHK. Seharusnya ketentuan mendapatkan jaminan maksimal 6 bulan tersebut untuk semua jenis PHK termasuk pekerja/buruh yang mengundurkan diri. Faktanya banyak PHK yang diskenariokan sebagai pengunduran diri. Peraturan BPJS Kesehatan mereduksi jenis PHK yang bisa dijamin oleh JKN, seperti mengundurkan diri tidak dijamin, sehingga pekerja yang terPHK dan keluarganya banyak yang tidak mendapatkan jaminan paling lama 6 bulan paska terPHK.

Seharusnya di masa pandemi Covid19 ini Pemerintah dan BPJS Kesehatan merelaksasi regulasinya sehingga pekerja yang terPHK dan keluarganya bisa mengakses jaminan kesehatan maksimal 6 bulan dari program JKN. Walaupun Bung Obon Tabroni, anggota Komisi IX DPR RI, sudah berkali-kali berteriak tentang masalah ini di Senayan sana tetap saja Direksi BPJS Kesehatan belum juga merelaksasi ketentuan ini, walaupun di ruang sidang Komisi IX Dirut terus berjanji menyelesaikan masalah ini.

Dengan relaksasi regulasi ini maka Pemerintah sudah melindungi anak-anak dari pekerja yang terPHK, dan ini yang harusnya menjadi prioritas dari BPJS Kesehatan. Bukankah Pak Presiden meminta agar seluruh pembantunya untuk berpikir tidak biasa-biasa atau normal-nomal saja. Semoga Direksi BPJS Kesehatan, sebelum mengakhiri masa baktinya di Februari 2021 nanti, mau melakukan terobosan untuk melindungi pekerja dan anak-anaknya di masa pandemi ini.

Anak harus menjadi prioritas penjaminan JKN, Selamat Hari Anak Nasional 2020.

Pinang Ranti, 23 Juli 2020

Tabik

Timboel Siregar

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here