Oleh: Bambang Budiono MS.

Sudah lama kecemasan politik menyebar di masyarakat. Pada mulanya takut karena bom bunuh diri yang datang silih berganti, di lain waktu, di lain tempat. Tetapi untuk sebagian besar warga masyarakat, ancaman itu masih dirasa jauh, terutama secara geografis.

Bom-bom bunuh diri itu ternyata tidak berdiri sendiri. Di belakangnya ada kekuatan kelompok radikal SARA tertentu yang menggerakkan. Mereka mengusung simbol-simbol Islam.

Persepsi masyarakat pun bergeser, Islam dianggap tidak semuanya ramah. Kelompok radikal SARA yang menyelimuti diri dengan simbol-simbol Islam ternyata tidak hanya meledakkan bom, tetapi mereka menggeser strategi gerakannya dengan strategi yang lebih “soft”. Mereka melakukan infiltrasi budaya dengan menggunakan berbagai media, off line maupun on line.

Pengurus Masjid dan Mushola mereka kuasai. Mimbar-mimbar pengkhotbah mereka dominasi. Suara mereka begitu lantang mengkhafirkan sana-sini. Ayat – ayat suci dikumandangkan sebagai ayat – ayat perang, dipakai untuk mengidentifikasi siapa musuh, siapa kawan. Aksi – aksi diskriminsi dan pengkafiran kemudian merambah ke dunia maya.

Orang tua, guru, kiai, ulama, aparat pemerintah semakin terkejut ketika menyaksikan, medengarkan atau membaca hasil survei: banyak anak-anak yang mengkafirkan orang tua atau keluarganya, atau temannya, atau tetangganya sendiri, hanya karena mereka beda agama, beda keyakinan atau beda cara menjalankan syariatnya. Bahkan perkara makam pun harus ada pemisahan dan diskriminasi.

Dari bom yang nun jauh di sana, ancaman itu kian hari semakin terasa dekat. Ancaman itu bagaikan virus politik yang mensubversi kehidupan publik yang selama ratusan tahun dianggap normal. Toleransi, solidaritas, kebersamaan, gotong royong diantara orang-orang yang berbeda suku, agama, ras, dan golongan makin lama makin seperti barang mewah, merambat mahal harganya.

Anggota grup – grup WhatsApp mulai ragu, apakah mengucapkan selamat Natal atau tidak kepada teman satu grupnya, bahkan ada yang secara tegas menolak mengucapkannya. Mereka saudara, teman, atau kerabat dekat, tetapi semakin berjauhan. Gejala ini pada mulanya mengancam integrasi keluarga, kerabat, komunitas, lama-lama makin besar, mengancam integrasi bangsa. Keutuhan NKRI menjadi taruhannya.

Situasi demikian itu coba diredam oleh pemerintah melalui pembubaran HTI, salah satu ormas yang disinyalir tidak menggunakan cara – cara ekstrim, tapi radikal: secara halus hendak mengganti sendi-sendi dasar hidup berbangsa dan bernegara. Mereka hendak mengganti Indonesia menjadi sistem khilafah. Pancasila, UUD’45, Bhinneka Tuggal Ika dianggap produk “thogut”. Karena pemerintah, aparat pemerintah, termasuk Polri dalam persepsi kelompok radikal SARA ini adalah thogut, karenanya semua produknya haram dan harus diganti.

Gerakan ini tetap beroperasi, sekali pun HTI yang dianggap sebagai pusat gerakannya sudah dibubarkan. Wabah virus intoleransi menyebar ke mana-mana. Ada masjid-masjid BUMN yang teridentifikasi terkena virus radikal – intoleran; guru-guru, siswa, ASN, anggota Polri dan TNI juga disinyalir banyak yang terkena virus ini.

Indikasinya bisa dilihat atau dibaca: menolak menghormat bendera merah putih, menolak manyanyikan lagu kebangsaan “Indonesia Raya”, menolak Pancasila, menolak perayaan keagamaan penganut agama yang berbeda; mengkhafirkan mereka yang berbeda. Mereka mendaku kebenarannya sendiri, menurut keyakinannya sendiri, yang lainnya salah dan harus diperangi.

Suasana psiko – kultural ini sungguh menimbulkan kekhawatiran di mana-mana. Persis di tengah suasana psiko – kultural seperti itu berlangsung hajatan Pilkada, Pilgub, dan sebentar lagi akan datang Pilpres.

Ancaman itu menjadi semakin masuk mendekat, semakin mempribadi, manakala para kontestan dan tim pendukungnya meramu dan mengkapitalisasi isu – isu SARA menjadi sarana memenangkan perebutan kursi kekuasaan. Itulah yang terjadi di Pilgub DKI.

Memang, sesudah pesta politik usai, para elite politik yang bersaing bisa saling berpelukan, minum kopi bersama-sama, tetapi keluarga-keluarga dan masyarakat di bawah terlanjur terpecah belah. Fondasi kehidupan bersama terancam, desintegrasi mengguncang, seperti erupsi gunung merapi. Kecurigaan merajalela, semua seperti saling pasang kuda – kuda, menunggu momen untuk menyerang.

Pilpres kali ini pun jadi bukan Pilpres biasa. Dia menjadi situasi krisis-eksistensial. Pilpres kali ini bukan perkara Jokowi atau Prabowo yang menang. Lebih jauh dari itu, Pilpres ini menyisakan tiga pilihan eksistensial: Indonesia akan tetap dalam trek demokrasi seperti sekarang, dan akan menjadi semakin maju sebagai negara besar, atau akan digantikan oleh kekuasaan yang otoriter dan intoleran berdalih agama atau nasionalisme chaufinistik, atau Indonesia masuk kancah kerusuhan berkepanjangan.

Tiga skenario inilah yang disadari oleh kaum intelektual perguruan tinggi. Mereka sungguh melihat ancaman itu sudah sangat dekat. Karena itu sudah waktunya turun gunung, menyatakan sikap dihadapan publik: mendukung Jokowi. Itulah yang dilakukan para guru besar dan alumni perguruan tinggi besar, seperti UI dan lain-lain, yang baru – baru ini dilakukan di Senayan. Mereka bukan sekedar menentang Prabowo yang terindikasi melakukan pelanggaran berat HAM di masa lalu.

Itu pula yang terjadi dengan alumni UNS – Solo, juga yang akan dilakukan para alumni Unair – ITS di Surabaya tanggal 2 Februari mendatang.

Mengapa mereka harus mengusung nama almamaternya? Mereka memang bukan lagi menjadi bagian dari Universitas tempatnya kuliah dulu. Tetapi simbol kampus diharapkan bisa menjadi menara api yang dapat memancarkan cahaya kesadaran kepada publik akan ancaman SARA yang ada di balik salah satu pasangan Pilpres.

Nama almamater dipakai bukan sekedar untuk menarik massa, tetapi semata – mata, dari sana hendak dipancarkan aura kebenaran dan kemanusiaan.

Di situlah kekritisan para alumni – guru besar yang cancut taliwondo, bergandengan tangan, melepas baju kebesaran, melepas perasaan malu sebagai pesohor, dan menyatakan dengan lantang: kami memihak pada nasionalisme yang inklusif dan toleran, bukan yang lain. Pilpres kali ini memang bukan sekadar perkara Jokowi atau Prabowo.

Oleh: Bambang Budiono MS. Pengajar Antropologi Politik Fisip Unair

https://m.watyutink.com/opini/Alumni-Perguruan-Tinggi-dan-Sinyal-Krisis-Politik#.XFD24Hlb-dw.whatsapp

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here