DALAM rapat kerja Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) dengan Komisi IX DPR RI pada 18 Januari 2021 Menteri Tenaga Kerja Ida Fauziyah memaparkan beberapa hal. Antara lain evaluasi bantuan subsidi upah (BSU), program jaminan sosial (jamsos) ketenagakerjaan, grand design program jaminan kehilangan pekerjaan (JKP), dan perkembangan peraturan turunan Undang-Undang Nomor 11/2020 tentang Cipta Kerja.
Dari target penyaluran BSU yang ditetapkan, ada 110.762 pekerja pada gelombang pertama dan 159.727 pekerja pada gelombang kedua yang tidak mendapat BSU karena alasan rekening bank. Ada delapan alasan persoalan rekening yang menyebabkannya. Seharusnya, Kementerian Tenaga Kerja (Kemnaker) lebih proaktif menjangkau pekerja tersebut, mengingat nama dan alamatnya sudah tersedia di BPJamsostek.
Pada evaluasi jamsos ketenagakerjaan, saya menilai sudah saatnya pemerintah merevisi PP Nomor 60/2015 jo Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 19/2015 agar jaminan hari tua (JHT) benar-benar bisa menjadi tabungan pekerja di masa depan. Terkait peta jalan iuran jaminan pensiun (JP), seharusnya pemerintah melaksanakan saja amanat Pasal 28 ayat (4) dan (5) PP Nomor 45/2015 agar iuran JP bisa mendukung manfaat dan ketahanan program JP. Selama ini pemerintah belum menaikkan iuran JP.
Terkait kepesertaan jamsos yang belum maksimal, seperti yang dikeluhkan Menaker, seharusnya kedua BPJS menerapkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 70/PUU-IX/2011 yang memberikan kesempatan pekerja mendaftarkan sendiri ke BPJS atas tanggungan pemberi kerja sehingga kepesertaan pekerja penerima upah (PPU) lebih banyak lagi.
Empat rancangan peraturan pemerintah (RPP) kluster ketenagakerjaan yang diamanatkan UU Cipta Kerja hingga saat ini masih dalam proses penyelesaian yang mengacu pada Pasal 185 UU Cipta Kerja. Seharusnya ini diselesaikan paling lambat tiga bulan sejak UU Cipta Kerja disahkan, yaitu sejak ditandatangani Presiden pada 2 November 2020.
Grand Desain JKP
Menaker memaparkan grand design JKP yang terdiri atas enam hal: kepesertaan, penyelenggara, kriteria PHK, eligibilitas, manfaat, dan iuran. Kriteria peserta JKP adalah pekerja yang tercatat sebagai PPU pada program JHT, JKK (jaminan kecelakaan kerja), JKm (jaminan kematian), dan jaminan kesehatan nasional (JKN). Tentang kriteria kepesertaan ini seharusnya dipertimbangkan fakta bahwa belum semua pekerja formal swasta didaftarkan ke BPJamsostek dan BPJS Kesehatan. Masih banyak PPU didaftarkan pada JKK dan JKm tanpa JHT, atau hanya didaftarkan di BPJamsostek absen di JKN.
Fakta ini terjadi karena lemahnya penegakan hukum (termasuk penerapan PP Nomor 86/2013) dan belum dilaksanakannya putusan MK Nomor 70/PUU-IX/2011. Saya menilai dua hal ini harus menjadi fokus pemerintah agar seluruh pekerja formal swasta bisa mendapatkan JKP. Semakin banyak pekerja yang menjadi peserta jamsos, dana yang terkumpul di JKP akan semakin besar, dan ini akan mendukung manfaat serta keberlanjutan JKP.
Terkait kriteria PHK, alasan PHK yang mendapat JKP adalah penggabungan/perampingan/efisiensi, perubahan status kepemilikan perusahaan, kerugian, tutup dan pailit, serta pengusaha melakukan kesalahan terhadap pekerja. Alasan PHK yang dikecualikan yaitu putus kontrak kerja, mengundurkan diri, pensiun, meninggal, dan cacat total.
Pengecualian PHK karena putus kontrak kerja dan mengundurkan diri adalah bentuk diskriminatif. Faktanya, pekerja kontrak dan mengundurkan diri ikut mengiur, bergotong-royong dengan pekerja lain, namun pada saat PHK justru tidak mendapat JKP. Dengan direvisinya Pasal 59 dan 66 di UU Cipta Kerja pekerja kontrak akan semakin banyak, dan ini artinya akan semakin banyak pekerja yang tidak dapat JKP.
Tentang mengundurkan diri, faktanya banyak pekerja yang akan di-PHK disuruh mengundurkan diri sehingga proses PHK lebih mudah, cepat, dan murah. Bila memang pekerja mengundurkan diri dan tidak mau bekerja lagi atau pindah tempat kerja, tentunya pekerja tersebut tidak akan dapat JKP.
Eligibilitas kepesertaan dengan mensyaratkan minimal masa kepesertaan 24 bulan, masa iur 12 bulan dan membayar iuran berturut-turut 6 bulan, relatif akan sulit dipenuhi, mengingat banyak pemberi kerja yang tidak disiplin dan tidak patuh mendaftarkan langsung pekerjanya dan membayar iuran. Konsep ini mengikuti kualifikasi unemployment protection di Malaysia, dengan menambah kriteria membayar iuran 6 bulan berturut-turut. Korea Selatan mensyaratkan minimal mengiur 6 bulan selama 18 bulan masa kepesertaan, sementara di Jepang tidak mensyaratkan masa iur dan kepesertaan.
Kesadaran pemberi kerja di Korea Selatan dan Malaysia mendaftar dan membayar iuran cukup tinggi, demikian juga penegakan hukumnya. Sebaiknya pemerintah menerapkan kualifikasi model Jepang, atau setidaknya hanya mensyaratkan minimal mengiur 3 bulan, sehingga pekerja lebih mudah mengakses JKP.
Tentang manfaat, manfaat uang tunai diberikan oleh BPJamsostek paling lama 6 bulan dengan persentase tertentu dari upah yang dilaporkan atau rata-rata upah nasional, sementara pelatihan dan informasi pasar kerja diselenggarakan Kemenaker. Mengingat kondisi ekonomi tiap wilayah (provinsi/kabupaten/kota) berbeda, untuk memastikan pekerja dapat mempertahankan derajat kehidupan layak pasca-PHK (amanat Pasal 46B ayat (2) UU Cipta Kerja) sebaiknya upah mengacu pada minimal UMP/K yang berlaku di daerah tersebut atau upah yang dilaporkan.
Terkait iuran, dalam rancangannya pemerintah menerapkan batas atas upah yaitu sesuai plafon (ceiling) JP atau menggunakan rata-rata upah nasional. Adapun sumber pembiayaan JKP berasal dari rekomposisi iuran JKK, modal awal dan iuran pemerintah. Untuk memudahkan pembayaran iuran sebaiknya disesuaikan dengan iuran jamsos lain yang menggunakan acuan minimal UMP/UMK yang berlaku, apalagi ada rekomposisi iuran JKK.
Kehadiran JKP adalah baik dan akan mendukung kesejahteraan pekerja bila didukung kemudahan dalam mengaksesnya dan tidak diskriminatif. Semoga RPP JKP dibuat dengan semangat mengedepankan kesejahteraan pekerja dan keluarganya.
Penulis : Timboel Siregar (Koordinator Advokasi BPJS Watch dan Sekjen OPSI-KRPI)