Surat Terbuka untuk Jokowi
SBSINews – Ahmad Daryoko, pakar kelistrikan nasional akhirnya menulis surat terbuka untuk Presiden RI, Joko Widodo. Dalam dokumen elektronik yang diterima redaksi urbannews.id, Rabu (18/12/2019).
Dalam surat terbuka itu, antara lain Ahmad Daryoko mengupas mengenai sejarah terbentuknya Perusahaan Listrik Negara (PLN) dan semangat yang menyertainya.
Ahmad Daryoko pun membeberkan kondisi pengelolaan PLN yang ia ketahui pada era sekarang ini.
Berikut petikan Surat Terbuka untuk Presiden RI dari Ahmad Daryoko yang juga merupakan Alumni Fakultas Teknik Universitas Gajah Mada itu.
SURAT TERBUKA :
KEPADA YTH. PRESIDEN RI.
Dari: Ahmad Daryoko
Alumni Fakultas
Teknik UGM
Hal: Pengelolaan PLN.
Tentunya Bapak Presiden sudah maklum sesama alumni UGM yang lebih suka bicara “blak-blakan tanpa tedeng aling-aling”.
Perihal yang ingin saya sampaikan ke Bapak Presiden adalah dalam konteks PLN dengan kenaikan tarif listriknya yang merambat naik secara gila-gilaan, yang tentunya tidak selaras dengan Nawacita yang bapak canangkan!
Hal ini mengingat selama ini PLN dikelola dengan melawan konstitusi (tentunya ini semua atas instruksi pemerintah). Kami sebagai rakyat hanya bergantung kepada konstitusi. Karena konstitusi atau undang undang dibikin untuk melindungi rakyatnya.
Apabila ada undang undang dibikin yang menjurus menguntungkan pemilik modal dan menindas rakyat, hal ini akan kami lawan di Mahkamah Konstitusi. Dan faktanya UU No 20/2002 tentang Ketenagalistrikan dibatalkan secara total oleh MK pada 2004 karena memuat kepentingan pemilik modal asing maupun lokal dan menindas rakyat atau konsumen dan pasti melawan konstitusi.
Kemudian muncul UU No 30/2009 tentang Ketenagalistrikan pengganti UU No 20/2002 pun sama, yaitu hanya untuk kepentingan pemodal dan menindas rakyat. Pasal-pasal yang menindas rakyat pun telah dibatalkan MK atas Judicial Review oleh SP PLN dan SP Anak Perusahaan (PP IP) pada 2015.
Perlu diketahui bahwa PLN dibentuk oleh Bung Karno Dkk dari nasionalisasi perusahaan-perusahaan listrik Belanda bernama Ogem, Aniem, Gebeo, NIGMN, Ebalon dan lainnya, yang tercerai-berai (kondisi Unbundling dan Liberal) saat itu menjadi sebuah perusahaan yang “Vertically integrated System” (menyatu menjadi satu kesatuan dari hulu ke hilir, tidak Unbundling), yang kemudian bernama PLN.
Penyatuan itu tak lain agar tidak menjadi liberal dan timbul multy transfer pricing yang berakibat mahalnya tarif listrik. (Urbannews.id/Cob)