“Dengan mata hati, lihatlah orang beriman dan orang kafir. Mereka tidak punya apa-apa hanya bisa menangis dan berseru. O, Tuhan, O Yang Maha Hidup,’ berdasar kepercayaan masing-masing.” ~Rumi

Begitulah Djalal al-Din Rumi menulis syair ini dalam karyanya (Divan-ī Kabir, 1957: vol. V. No. 2578). Sebait syair itu tercipta dari pengalaman panjang tokoh sufi kelahiran di pinggir sungai Waksh, Persia (Tajikistan sekarang).

Spiritualisme ini mencerminkan desahan batin terdalam umat manusia dalam mengharap, merindu dan mencintai Sang Pencipta. Pencipta dalam pengertian-Nya sebagai (yang diyakini oleh semua makhluk), Sang pencipta dan Tempat Bergntung semua makhluk, tanpa terkeculi.

Hal tersebut dapat dimaknai sebagai “Agama Dalam” atau ” Agama Batin” yang melampaui bentuk-bentuk, doktrin, model sesembahan dan konseptualisasi manusia atas Sang Pencipta. Dalam pandanga Rumi, ketika hubungan intim antara Sang Pecinta dan yang dicintai, tak bermakna lagi kehadiran setan dan kebencian, melainkan hanya kehadiran cinta yang ada.

Untuk sampai pada hakikat tersebut, keadaan tak semata terpaku pada jalan lahiriah, seorang mesti meresapi Agam Cinta melalui pintu irfani atau tasawuf. Taraf tersebut lebih tinggi sebanding memuja atau mengabdi kepada-Nya. Seseorang yang berhasrat mesti mendalami ilmu tentang-Nya dan tentang hakikat semesta, disamping itu memperaktikkan jalan irfani atau tasawuf melalui ibadah, riyadhah dan mujahadah dalam maqamat dan ahwal.

Bilaman kita melihat Gus Dur dalam tinjauan sufistik, maka dia sudah selesai pada dua dimensi manusianya baik; tubuh secara fisik dan metafisi. (Baca; Bukti Gus Dur Wali). Apa yang pernah dikemukakan oleh beliau tentang (Agama Jangan Jauh Dari Kemanusiaan), lebih jelasnya melihat lansung tulisan baground dari fato (kami) tersebut.

Menariknya, apa yang pernah dikemukakan oleh Gus Dur tentang agama jangan jauh dari kemansiaan tersebut merupakan agama sama’ atau agama langit. Proses membumikan agama langit sebagai kontruksi filosfis ilahiyah.

Walhasil, perlu adanya nilai-nilai integratif yang mampu menyatukan dua tugas manusia; khalifah dan ‘abdullah. Upaya integrasi didasari oleh nilai teologis yang menuntun pada kesatuan ontologik dan aksiologik, yaitu nilai etis monoteistik. Sehingga, keberagamaan kita memiliki nilai-nilai spiritulitas yang juga mengafirmasikan nilai-nilai humanitas.

~Andi Naja FP Paraga ~

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here