Sejauh ini perintah Presiden Joko Widodo sangat jelas dan tegas. Secara khusus Polri dan TNI wajib menjaga perhelatan KTT G20 berlangsung aman dan nyaman. Presiden tidak ingin ada gangguan keamanan yang dapat mencoreng wajah Indonesia di hadapan para pemimpin dunia dan juga dunia international.
Ini tentunya tugas yang cukup berat bagi aparat tapi demi negara mereka sudah pasti siap pertaruhkan nyawa.
Detasemen Khusus atau Densus 88 Polri terus bergerak dalam senyap. Bahkan konon mereka mampu menyadap pembicaraan dari jarak 3 km dengan menggunakan alat sadap yang hanya sebesar korek api.
Puluhan terduga teroris yang telah ditangkap kini serupa tumpukan buku bisu, yang di dalamnya ada rahasia yang terpendam.
Sementara kita sebagai masyarakat awam, seperti tak sabar ingin segera menuntaskan dahaga atas ulah mereka. Kita tak tahu, apa yang terjadi di balik tebalnya tembok ruang penyidikan yang dingin.
Dengan tatapan mata yang tajam seperti elang, para penyidik memandang tepat di kedua bola mata terduga teroris, seraya tangannya mulai membuka satu persatu halaman buku. Sementara di balik jaket hitam mereka terselip revolver.
Diantara jenggot tebal atau yang hanya tumbuh tak genap sepuluh. Para teroris yang sudah ditangkap itu sudah pasti akan mengunci rapat-rapat mulutnya.
Tapi serapat-rapatnya mereka menyimpan rahasia, tak kurang akal juga bagi penyidik agar mereka mau bernyanyi. Kita tentu saja percaya sepenuh hati kerja Polri. Maka tidak mengherankan sesaat setelah tiga terduga teroris yang telah ditangkap di Bekasi dan disinyalir bagian penting dari sisi pendanaan, Densus dapat memetakan tokoh-tokoh yang selama ini masih menghirup udara bebas di luar penjara. Tapi tak akan bisa lepas dari pengawasan ketat mata intelejen.
Sebuah sinyal kuat dikirim oleh Densus 88 ke publik dengan cara cerdik. Kepala Bagian Bantuan Operasi Detasemen Khusus (Densus) 88 Polri Kombes Aswin Siregar memberi kabar yang mengejutkan, konon pihak Densus 88 sudah mendapatkan sejumlah nama berikut peran yang terlibat kelompok teroris itu.
Dan nama-nama itu, lanjut Aswin, akan menjadi target operasi Densus 88 berikutnya. Ini seperti geledek di siang bolong bagi para bohir yang ada di belakang para teroris.
Kemudian, teror ketegangan berlanjut ia pun mengatakan, tak menutup kemungkinan pihaknya akan melakukan penangkapan lagi ke depan. Ia meminta publik agar tidak kaget apabila Densus 88 mengumumkan siapa saja pihak yang ditangkap ke depannya.
“Ini masih banyak lagi sebenarnya. Nanti mungkin, kita tidak mau berandai-andai, bahwa kalau ada penangkapan selanjutnya, nanti akan mengejutkan lagi, ‘siapa lagi nih orangnya?’,” ucapnya dingin.
Sebuah cara yang halus dan mematikan. Sejak awal polisi seolah memberi mukadimah. Isu dilempar dulu di tengah masyarakat. Nampaknya tokoh yang bakal ditangkap tidak main-main bahkan dari sebuah informasi mereka orang-orang yang sudah cukup akrab dan dikenal publik.
Cara polisi berbeda dengan yang sebelumnya. Lempar dulu ke publik agar rasa penasarannya menjadi penawar mentralisir keadaan seiring berjalannya waktu. Jika dirasa momennya sudah tepat, si terduga teroris yang berperan menjadi insan mulia di tengah masyarakat itu dapat disergap.
Sudah barang tentu bisa membuat publik bergolak tapi tak sampai menghebat. Sebab jauh hari polisi sudah mewanti-wanti. Tak ada agenda politik atau kepentingan lain ini murni tindakan terorisme.
Nama-nama tokoh yang selama ini diketahui membela teroris juga dekat secara personal dengan para teroris menjadi pihak yang paling disorot masyarakat. Kembali polisi sangat genius. Biar publik yang memberi hukuman terlebih dahulu dari sisi psikologis.
Sementara itu qlue yang dilempar polisi kian memperkuat sinyalemen itu. Sosok yang bakal ditangkap sudah sering wira-wiri di televisi menjadi tamu atau nara sumber.
Satu sisi informasi secara terbuka dari Densus ini bagi masyarakat yang sudah jenuh terhadap keberadaan teroris menjadi tetor yang manis. Sedang bagi simpatisan apalagi yang menjadi bagian dari teroris sedang panik tingkat tinggi.
Setiap detik hidup mereka seperti sedang di dalam neraka dunia. Makan tidak nyaman, tidur tidak tenang, bekerja tidak fokus bahkan apapun yang ia lakukan hanya ada bayang-bayang penangkapan dan bakal menjadi mimpi buruk sepanjang hidupnya.
Ketenaran, puja-puji para jamaah atau pengikutnya tak akan dapat menolongnya. Saat itulah dunia menjadi gelap, bagi para pelaku yang bermimpi mengubah ideologi negara sesuai dengan keyakinannya yang fatamorgana.
Lalu siapa mereka? Peta jelas tergambar. “Siapa berkotek siapa bertelor”. Itu pepatah warisan leluhur yang dapat kita gunakan untuk melihat keterkaitannya.
Perhatikan saja siapa yang membela teroris ia patut dicurigai tak hanya sebatas simpatisan tapi bisa masuk ranah yang lebih dalam. Saat ini negara sedang bersih-bersih dari benalu negeri. Tak ada ampun buat mereka. Jika tidak sekarang dicerabut sampai akar-akarnya, kebhinekaan bangsa ini hanya tinggal nama di masa yang akan datang.
Analoginya sederhana, ini sudah sebuah kecenderungan secara umum.
Pada dasarnya maling tidak suka dengan penjaga keamanan. Penjahat tidak suka dengan polisi. Koruptor tidak suka dengan KPK. Musuh negara tidak suka dengan tentara. Teroris tidak suka pada Densus 88. Sesederhana itu.
Siapa saja mereka yang paling kuat dalam ingatan rakyat?
Demikian, salam
Anto Cahaya