Bagus Daeng Rusli, tentang Bom Sibolga…
Ini menyedihkan. Seorang Ibu meledakkan diri di rumahnya semalam (13-03-2019) di Sibolga. Di dalam rumah yang malang itu, sang ibu tinggal bersama dua anaknya yang masih kecil. Kabar terakhir menyebutkan bahwa mereka tewas dalam ledakan itu.
Sang suami, yang menurut berita disebut bernama Husain atau Abu Hamzah, sudah lebih dulu ditangkap aparat. Konon, penangkapan ini karena ada dugaan aksi terorisme yang dilakukan oleh mereka.
Seusai penangkapan Abu Hamzah yang diduga jaringan kelompok radikal bersenjata, aparat kepolisian berupaya menggeledah rumah Abu Hamzah. Namun ada benda diduga bom meledak saat polisi hendak masuk ke rumah. Sang Ibu yang ada di dalam rumah belum menyerah.
Semalam, ledakan berikutnya terdengar dari dalam rumah. Kabarnya sang ibu meledakkan diri. Dari polisi kita mendengar kabar duka bahwa ibu dan anak-anaknya tewas seketika.
**
Saya tak mengerti bagaimana seseorang memperlakukan hidup ini begitu muramnya. Apalagi, kalau ia meyakini bahwa semua orang di dunia ini memusuhi dirinya.
Keyakinan seperti ini disebut delusi, yakin akan sesuatu yang salah. Ini bisa berasal dari doktrin atau ajaran yang secara intens dicekokkan ke pikirannya. Sesuatu ide atau pikiran yang disampaikan berulang-ulang, apalagi dengan teknik provokasi dan persuasi, akan diterima sebagai kebenaran. Iya, seperti ajaran agama. Berulang-ulang, intens dan disertai janji dan ancaman.
Kalau delusi ini berhubungan dengan agama, maka para ahli menyebutnya sebagai Relusi.
Religious delusion, ini istilah teknis yang diperkenalkan oleh kaum atheis untuk melabeli mereka yang mengidap penyakit delusional, merasa benar sendiri – tak menerima kritik dan menolak adanya perbedaan, yang berkaitan dengan pemahaman keagamaan atau ketuhanan.
Di Jepang, dulu ada sekte agama baru bernama Aum Shinrikyo. Mendengar nama sekte ini, orang mungkin akan bergidik ngeri.
Pemimpinnya, Shoko Asahara, seorang lelaki buta yang baru beberapa tahun mempelajari agama-agama dunia, tetiba di tahun 1984 mendaku diri sebagai Yesus, sang Juru Selamat. Dalam ajarannya, Asahara menyebut dirinya memiliki kekuatan supranatural yang bisa dia pindahkan ke pengikutnya.
Selain menubuatkan tentang kiamat, yang akan didahului oleh perang dunia ke-3 dengan serangan nukir mematikan, dia juga menganggap Yahudi, Freemasonry dan beberapa kelompok sebagai musuhnya. Yang anehnya, dia juga memasukkan pemerintah Belanda dan Inggris dalam daftar kelompok yang mesti dibasmi.
Kalau hanya retorika ajaran dan disampaikan sebatas mimbar saja, mungkin orang masih tak begitu khawatir.
Masalahnya, Asahara ternyata memerintahkan pengikutnya, yang semakin banyak setiap saat, untuk juga beraksi melenyapkan musuh-musuhnya.
Tahun 1995, sekelompok pengikut garis kerasnya menebarkan gas Sarin yang beracun di stasiun metro Tokyo. Akibatnya 13 orang tewas seketika, dan ribuan lainnya menderita cedera berat.
Setelah kejadian itu, kemudian terungkap bahwa sekte ini juga melakukan 27 pembunuhan lainnya, termasuk membunuh keluarga pengacara yang menuntut dirinya di pengadilan.
Tsutsumi Sakamoto, pengacara cemerlang yang masih berusia muda, 33 tahun, tewas bersama istri dan anaknya yang masih berusia 14 bulan ketika apartementnya diserbu oleh pengikut Shinrikyo di tahun 1989. Pengacara yang berhasil menyeret Asahara ke meja hijau itu dicekik dan disuntik dengan klorida.
Mayat Sakamoto beserta istri dan anaknya dimasukkan ke 3 galon besi berbeda dan dibuang saling menjauh. Sampai tahun 1995, nasib keluarga ini tak ketahuan rimbanya. Mereka dianggap menghilang begitu saja. Hingga kemudian terungkap 6 tahun setelah kejadian, ketika pengadilan berhasil memaksa algojo-algojo Asahara untuk mengakui pembunuhan-pembunuhan yang dilakukannya.
Asahara, berikut beberapa pentolan kelompok ini kemudian dihukum mati dengan cara digantung tahun 2018 silam. Kejahatannya yang tak alang kepalang ini membuat orang bergidik. Bagaimana mungkin sebuah keyakinan, delusi, bisa menyebabkan orang tergerak untuk melakukan kejahatan yang mengerikan.
Itu di Jepang. Kita juga punya banyak cerita lain di belahan dunia berbeda. Di Suriah kita mengenal kelompok durjana bernama ISIS dan beberapa sempalannya. Di Afghanistan, ada Taliban, juga alQaeda.
Wajah mengerikan kelompok relusi berbusana agama ini selalu muncul, sayangnya. Dan parahnya, banyak yang meyakini kebenarannya. Itu mungkin bersumber dari sikap frustasi menghadapi dunia yang serasa tak adil terhadap mereka. Terang saja tak adil, kalau mereka tak ikut “menikmati” betapa lezatnya hidup nyaman dan tenang dengan keluarga yang tentram.
Tapi perasaan tak adil atau tak merasa diperlakukan adil itu bukan menjadi pembenaran untuk menganggap yang lain sebagai musuh dan kemudian mesti dibasmi. Itu delusi, atau relusi.
Bukankah dalam setiap ajaran agama selalu kita mendengarkan petuah bahwa kebahagiaan orang lain sejatinya adalah kebahagiaan kita sendiri. Memuliakan tetangga dan tamu, menghormati hak-haknya adalah setinggi-tingginya akhlak beragama?
Sikap relusi ini, delusi karena keyakinan keagamaan yang salah, mesti kita perangi terus menerus. Agar tak ada lagi kasus ibu meledakkan diri bersama anak-anaknya, yang mungkin saja memiliki masa depan yang cerah, tak seperti orang tua mereka yang delusional.
Mari kawan-kawan, kita hentikan penyebaran kebencian dan sikap permusuhan ke orang lain. Nasib buruk atau kemalangan itu manusiawi, bisa terjadi pada siapa saja. Namun uluran tangan atau komunikasi positif dengan sesama tentu bisa meringankan beban, apalagi kalau bisa ikut membantu menghilangkan kesulitan. (ANFPP)
Muhammad Ruslailang Noertika