Oleh: Rumadi Ahmad
Saya berkali-kali menyampaikan, hati-hati mencari ustadz. Jangan sembarangan mengundang orang untuk mengisi pengajian, memanggil dia ustadz, apalagi menyebutnya sebagai ulama.
Saya perlu semakin serius mengingatkan hal ini. Karena semakin banyak orang-orang yang hanya bermodal bisa pidato, berbaju gamis, mengumpat sana-sini diundang kemana-mana, dipanggil ustadz. Hafal satu dua ayat al-Quran dan hadis cukup menjadi modal.
Pasar gelap ustadz ini biasanya dihuni dua kelompok besar. Pertama, para muallaf. Beberapa muallaf, meskipun tidak punya ilmu keislaman yang cukup, tiba-tiba dia menjadi ustaz karena modal bisa pidato. Yang paling banyak diceramahkan biasanya menjelek-jelekkan keyakinan lamanya. Dia ingin menunjukkan sekarang sudah mendapat “hidayah”. Tak lupa, biasanya juga menebar ketakutan, bahwa agama lamanya itu menjadi ancaman terhadap Islam. Kalau melihat orang seperti ini, saya sering jengkel sendiri, membayangkan kalau ada orang keluar dari Islam kemudian menjelek-jelekkan Islam dalam komunitas agamanya yang baru. Orang-orang seperti ini yang biasanya menaikkan ketegangan muslim dan non muslim.
Kedua, orang-orang yang dulu jauh dari Islam, suka maksiat dan sebagainya, kemudian berubah menjadi lebih religius, mengubah penampilan dan sebagainya. Orang-orang seperti ini biasanya menyebut diri sebagai orang yang sudah “hijrah”. Modal kegelapan masa lalu dieksploitasi, seolah sekarang sudah benar-benar hidup dalam terang. Dengan modal bisa pidato, punya tim media sosial untuk menaikkan popularitasnya, mereka tiba-tiba dipanggil ustadz dan dijadikan rujukan dalam beragama.
Dua kelompok ini, intinya sama. Mereka tidak punya otoritas keagamaan, tapi dimanjakan oleh situasi. Mareka memanfaatkan media sosial untuk marketing. Yang saya heran, orang-orang seperti ini banyak yang tidak tahu diri soal kapasitas keislamannya.
Pasar gelap ustadz ini bisa terjadi karena dua hal. Pertama, Islam memang longgar dan tidak ada lembaga yang melakukan “stadarisasi” keulamaan seseorang. Pasar ustadz dalam Islam sangat terbuka. Semua sangat tergantung pada “pasar”. Jika Anda populer, ceramahnya disukai orang, maka Anda bisa masuk dalam pasar keulamaan.
Kedua, sekarang banyak sarana yang bisa digunakan untuk branding. Jika dulu, untuk menjadi ustadz atau ulama membutuhkan waktu untuk diakui masyarakat, sekarang pengakuan itu bisa dilakukan dengan instan. Yang penting populer di medsos, sudah cukup.
Siapa yang menjadi korban dari pasar gelap ini? ya masyarakat Islam sendiri. Orang-orang ini bicara atas nama Islam, padahal dia sama sekali tidak punya otoritas ilmu dan moral. Saya tak perlu menyebut nama sebagai contoh. Sekarang ini, masyarakat Islam suka marah-marah, sebagian merupakan hasil dari pasar gelap itu. Benar kata ahli yang mengatakan, di era disrupsi informasi maka akan lahir era matinya keahlian (death of expertise). Yang menjadi rujukan masyarakat bukan orang-orang yang punya otoritas, tapi orang yang terkenal, terutama di media sosial. Lihat saja survey-survey tentang tokoh-tokoh agama yang mereka ikuti, sebagian adalah orang-orang yang lain di pasar gelap ustaz itu.
Masyarakat harus dididik agar mempunyai literasi keualamaan. Kalau mau menuntut ilmu keislaman, belajarlah pada orang-orang yang gurunya jelas, sanad ilmunya juga jelas. Jangan terpesona dengan tampilan luar. Saya senang, sekarang masyarakat sudah mulai kritis dan berani mempertanyakan ustadz yang menebarkan kebencian dimana-mana. Hanya masyarakat seperti ini yang bisa menghentikan pasar gelap itu. (ANFPP)
Tebet, 21 Pebruari 2019
Rumadi Ahmad
Ketua Lakpesdam PBNU