Fenomena golput pada pemilihan umum

Golongan tengah ini bikin saya jengkel. Bukan soal golput, mereka cuma satu koma. Saya protes kalau selama ini semua orang yang gak ikut nyoblos dikelompokkan ke dalam satu nama: golput, seolah-olah 30% dari para pemilih dalam pilpres 2014 mengajukan protes simbolik melalui ketidakdatangan ke TPS. Padahal cuma satu koma yang begitu

Karena itu saya lansir istilah baru: golongan tengah, sekumpulan orang yang tidak nyoblos dengan berbagai alasan dan penyebab. Golput adalah salah satunya.

Data di tangan saya menunjukkan sebuah kawasan di Jakarta punya golteng lumayan tinggi. Penyebabnya: hortikultura. Ajaib.

Kami datang ke kawasan itu, mencari tahu apa yang dimaksud dengan hortikultura sebagai penyebab golteng. Baru 2 jam, kami bertemu sekumpulan lelaki sedang makan di warteg. Jumlahnya lebih dari 8 orang. Dan mereka saling kenal, saling tegur, saling guyon.

Kami masuk ke dalam warteg. Saya pesan nasi rames berlauk tongkol balado, tumis kangkung, dan tahu goreng. Mereka menyapa kami ramah. Lalu lahirlah percakapan.

Ternyata mereka para pedagang burung, mencari makan dari membeli dan menjual burung. Hasilnya gak bagus banget, tapi cukup untuk dikirim ke kampung buat belanja istri dan anak-anak. Mereka girang, gak pernah punya bayangan atau meretas jalan jadi orang kaya. “Berdagang mahluk hidup, kita harus jauh dari keserakahan,” kata salah seorang dari mereka. Kearifan bersahaja.

Kami masuk ke topik pilpres. Ternyata mareka para Jokowers, tapi sudah pasti gak ikut nyoblos di 17 April nanti. KTP mereka diterbitkan daerah asal. Untuk ngurus A5, mereka keberatan karan harus pulang kampung. “Duit dari mana, Mas?”

Saya merasa dunia tiba-tiba gelap. Entah siapa yang mencekoki mereka, tapi orang-orang sederhana ini tak paham bahwa formulir A5 diurus di KPUD di daerah mereka mukim sekarang, di Jakarta, bukan di kampung.

Saya tanya, “kamu tahu syarat mengurus A5?”

“Harus pulang kampung dulu, minta kelurahan nerbitkan Surat Keterangan yang menunjukkan saya bener-bener warga sana. Surat keterangan itu saya bawa ke KPUD DKI, maka keluarlah A5.

“Gak begitu, Mas,” tolak saya lembut. “Anda cukup datang ke KPUD Jakarta dengan membawa foto copy KTP, foto copy Kartu Keluarga, dan surat keterangan dari RT/RW di lokasi Anda mukim sekarang.”

“Gak mungkin, Mas. Trus apa buktinya saya betul-betul warga Kebumen?”

“Foto copy eKTP sama Kartu Keluarga sudah lebih dari cukup.”

“Itu gak saya bawa. Siapa juga yang bawa-bawa copy KK.”

“Lhah, Mas tinggal WA istri di rumah, minta dia menyeken KK, kirim ke sampeyan, trus print di warnet. Opo sih, Mas?”

Mereka saling berpandangan.

“Tenanan nih, Mas?”

“Tenan. Apa ngurusnya perlu saya dampingi?”

Ada banyak orang-orang seperti itu di sekitar kita. Mereka tak paham, tapi pasrah. Aneh, kan? Pasrah itu hanya untuk orang yang paham.

Tentu ada juga sejumlah orang yang memang bersengaja gak nyoblos April nanti. Sebagian karena pergi liburan. Dan itu sudah mereka rancang jauh-jauh hari. Salah satu topik terhangat di grup backpacker Indonesia adalah percakapan tentang libur pemilu dan Paskah. Jumlahnya lumayan banyak. Itu kita bincang di kali lain.

Hari ini kita bercakap tentang orang-orang sederhana, yang oleh kesederhanaannya malah berpotensi mengubah peta elektabilitas dua calon secara drastikal.

Saya mau menyapa mereka: sopir Grab atau Gojek, pelayan warteg, pedagang burung, pedagang di pasar, buruh bangunan, memastikan mereka ikut pemilu April nanti. Kalau gerakan ini berlangsung masif, masing-masing kita menyapa 3 orang saja tiap hari, jumlah golteng ciut secara cepat.

Siang nanti saya mau nongkrong di warteg dekat tempat saya biasa pangkas rambut.

Sahat Siagian
www.semesta-indonesia.com
#DiPintumuAkuMengetuk170419TDH

Say No GOLPUT !!!

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here