Gelombang penolakan divestasi tambang PT Freeport Indonesia di Papua masih terus terjadi. Kini giliran ‘Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan SDA Minerba’ yang memprotes kesepakatan divestasi saham tersebut.

Koalisi itu digawangi empat orang dari beberapa LSM, tepatnya Marwan Batubara dari IRESS, Yusri Usman dari CERI, Ahmad Redi dari KJI, dan Bisman Bakhtiar dari PUSHEP menuntut pemerintah membatalkan kesepakatan Divestasi Freeport.

Mereka meyakini Divestasi Freeport memiliki banyak kecurangan di dalam kesepakatannya. Selain itu, mereka menilai banyak dampak lingkungan yang terjadi namun diabaikan oleh PT Freeport.

Baca juga: Puji Jokowi, Luhut: Anda Lihat Rokan, Freeport, Mahakam

Berikut ini isi surat terbuka yang mereka tujukan langsung kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) secara lengkap seperti dikutip Rabu (6/2/2019).

Jakarta, 5 Februari 2019
Surat Terbuka kepada Presiden Republik Indonesia

Batalkan Kesepakatan

Divestasi Saham Freeport

Presiden Joko Widodo pada Jumat (21/12/2018) telah menerima laporan sejumlah menteri terkait dengan telah resminya penguasaan 51,2% saham PT Freeport Indonesia (PTFI) oleh pihak Indonesia melalui PT Inalum. “Disampaikan saham PT Freeport sudah 51,2% beralih ke PT Inalum dan sudah lunas dibayarkan. Hari ini adalah momen yang bersejarah setelah PT Freeport beroperasi di Indonesia sejak 1973,” kata Presiden di Istana Merdeka.

Kata Jokowi, dengan kepemilikan mayoritas saham tersebut pendapatan negara akan meningkat. Presiden juga memperoleh laporan dan mengapresiasi hasil pembahasan terkait izin lingkungan hidup dan pembangunan smelter. “Terakhir juga tadi saya mendapatkan laporan untuk hal-hal yang berkaitan dengan lingkungan, dengan smelter, semuanya telah terselesaikan dan sudah disepakati. Artinya semuanya sudah komplet dan tinggal bekerja saja”, kata Jokowi.

Seperti diketahui, pemerintah Indonesia melalui Inalum telah resmi membayar US$ 3,85 miliar untuk mengakuisisi saham Freeport MacMoran (Freeport) di PT Freeport Indonesia (PTFI) pada 21 Desember 2018. Dana sebesar US$ 3,85 miliar tersebut merupakan pembelian 40% saham Rio Tinto yang membentuk joint venture dengan Freeport di PTFI (US$ 3,5 miliar), dan 100% saham FMM di PT Indocopper Investama (PTII) yang memiliki 9.36% saham di PTFI (US$ 350 juta). Yang bertindak sebagai operator tambang tetaplah PTFI.

Proses divestasi tidaklah harus diwujudkan dengan mengorbankan banyak hal, terutama kedaulatan negara. Tujuan penguasaan saham mayoritas tidak boleh dicapai at any cost, dengan membayar sangat mahal, dan berpotensi merugikan negara. Apalagi jika di dalam nilai sebesar US$ 3,85 miliar tersebut terkandung unsur-unsur manipulasi atau dugaan korupsi oleh oknum-oknum yang berburu rente.

Jika proses negosiasi yang berlangsung selama hampir 2 tahun ditelusuri dengan seksama, ditemukan bahwa Freport selalu bersikap ingin menang sendiri dan ingin terus mendominasi pengelolaan tambang Freeport, dengan berlindung di balik prinsip kesucian kontrak (contract sanctity). Untuk itu Freeport selalu mengancam pemerintah Indonesia untuk membawa perselisihan negosiasi ke arbitrase internasional, tanpa peduli adanya perubahan berbagai undang-undang dan peraturan di Indonesia setelah KK ditandatangani.

Bertolak dari pemikiran dan perhitungan harga yang sangat mahal, serta dilecehkannya kedaulatan negara, martabat bangsa dan berbagai peraturan yang merupakan kehendak rakyat, maka kami meminta agar kerja sama Inalum dengan FCX yang disepakati pada 21 Desember 2018 segera dibatalkan. Salah satu alasan penting yang menjadi dasar sikap kami adalah tingginya biaya akuisisi saham akibat adanya konspirasi dan manipulasi skema kerja sama FCX dengan Rio Tinto dalam pemilikan Participating Interset (PI), serta adanya potensi dan dugaan mark-up harga atas 40% PI Rio Tinto yang nilanya mencapai US$ 3,5 miliar.

Kesepakatan harga 40% Participating Intertest (PI) Rio Tinto sebesar US$ 3,5 miliar tidak mempunyai legal standing yang dapat dipertanggungjawabkan, alias bodong. Karena itu, pembelian PI tersebut seharusnya batal demi hukum. Berbagai data dan fakta perihal ilegalnya dasar hukum tersebut dapat pula dibaca dalam buku Dr. Simon Felix Sembiring (mantan Dirjen Minerba) berjudul “Karut Marut Implementasi UU Minerba dan Divestasi Freeport” yang diluncurkan 29 Januari 2019. Hal-hal yang menunjukkan ilegalnya PI Rio adalah sbb:

• Surat rahasia persetujuan oleh Mentamben I.B. Sujana kepada Rio Tinto pada April 1996 tidak lazim dan melanggar ketentuan Pasal 28 ayat 2 KK Freeport. Pasal 28 menjelaskan bahwa setiap surat menyurat antara PTFI kepada Pemerintah Indonesia harus di tujukan kepada Direktur Jenderal Pertambangan Umum. Sedangkan surat rahasia tersebut berkode “SJ” yang artinya ditujukan dan melalui Sekretariat Jenderal;

• Adanya kesepakatan PI Rio Tinto tidak pernah diketahui oleh Menteri ESDM dan Dirjen Minerba setelah periode Mentambem I.B. Sujana, dan baru terbongkar pada saat proses negoisiasi antara Inalum dengan Freeport, sekitar bulan Agustus 2017;

• Dalam surat rahasia tersebut, persetujuan atas PI Rio Tinto adalah atas sesuatu yang akan terjadi nanti di belakang hari. Persetujuan PI hanya berlaku pada kegiatan selain blok A, dan tidak berlaku pada kegiatan eksisting di Blok A yang memiliki cadangan raksasa;

• Surat Menteri IB Sujana dipertegas surat Menteri Keuangan Marie Muhammad No. S-176 /MK.04/1996 pada 1 April 1996. Surat Menkeu menegaskan imbalan atas investasi Rio Tinto (RTZ) sebesar USD 850 juta, di mana PTFI akan mengalihkan 40% hak kepada anak usaha RTZ, namun tidak termasuk hak dan kewajiban pada tahap eksploitasi di Blok A. Sehingga PI Rio Tinto hanya berlaku pada Blok B sebagai pengembangan. Dengan demikian, valuasi yang dilakukan oleh konsultan keuangan yang ditunjuk Inalum merupakan kesalahan fatal. Inalum dengan mudah membayar PI Rio Tinto sebesar USD 3.5 miliar. Hal ini merupakan pelanggaran berat yang berpotensi sebagai tindak pidana;

• Adanya PI Rio Tinto tidak pernah tercermin di dalam RKAB (Rencana Kerja Anggaran Biaya) yang merupakan kewajiban rutin tahunan yang harus diajukan oleh setiap pemegang KK atau PKP2B. RKAB hanya akan dijalankan oleh pemegang KK atau PKP2B untuk kegiatan tambang hanya setelah disetujui oleh Dirjen Minerba. Ternyata selama puluhan tahun, PI Rio Tinto yang memang bodong tidak pernah tercermin dalam RKAB.

Mantan Menko Perekonomian Rizal Ramli mengungkapkan bahwa pada tahun 1991 CEO Freeport, yakni James Moffett mengaku telah menyuap seorang menteri di Indonesia guna memperoleh perpanjangan kontrak dan beberapa ketentuan lain dalam KK. Bahkan menurut Rizal Ramli, James Moffett telah mengaku bersalah dan bersedia membayar uang ganti rugi dari pada masuk penjara. “James Moffett sudah ngaku salah, makanya bersedia bayar $5miliar dari pada masuk penjara karena menyogok pejabat RI,” kata Rizal (22/12/2018).

Dari uraian di atas, kami memperoleh informasi dan data yang relevan yang menunjukkan adanya pelanggaran hukum dan potensi kerugian negara atas kesepakatan divestasi saham Freeport. Dengan fakta-fakta tersebut, ternyata keberhasilan semu lah yang menjadi kebanggaan pemerintah. Oleh sebab itu, kami meminta agar kesepakatan tersebut dibatalkan dan Freeport harus diminta untuk tunduk kepada peraturan yang berlaku. Bahkan Freeport pun harus digugat secara pidana atas kasus PI Rio Tinto.

Hak kami menyatakan pendapat dari perspektif konstitusi ini dijamin sesuai Pasal 28E UUD 1945. Surat ini merupakan bentuk perjuangan kami untuk ikut merawat Republik Indonesia ini agar tetap berdiri kokoh dan bermartabat. Untuk itu, kami menuntut diprosesnya kasus dugaan skandal operasi PTFI pada 1991 dan diprosesnya kasus dugaan manipulasi PI Rio Tinto dengan FCX, yang diduga sarat penyimpangan, dan pada prinsipnya melanggar ketentuan KK Freeport dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Selain masalah PI Rio Tinto, berdasarkan temuan BPK RI yang dirilis 2017 atas audit lingkungan periode 1988-1990 dan 2015-2016 terkait UU Kehutanan, UU Lingkungan Hidup dan UU Minerba, ditemukan pelanggaran berat oleh PTFI sebagai berikut:

• Menggunakan kawasan hutan lindung untuk kegiatan operasional seluas minimal 4.535, 93 hektar tanpa Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH). Hal ini melanggar UU Kehutanan No.41/1999 Jo UU No.19/2004;

• Melaksanakan kegiatan operasional pertambangan Deep Mill Level Zone (DMLZ) dan memperpanjang tanggul barat dan timur tanpa Izin Lingkungan;

• Menimbulkan perubahan ekosistem akibat pembuangan limbah tambang (tailing) di sungai, hutan, estuary dan sampai ke laut. Berdasarkan perhitungan Tim IPB dan LAPAN, nilai ekosistem yang dikorbankan berkisar USD 13.592.229.295 atau sekitar Rp 185 triliun.

Namun tanpa dasar perhitungan dan pertimbangan yang jelas, BPK RI hanya mewajibkan kepada PT FI untuk membayar PNBP penggunaan kawasan hutan lindung yang nilainya sebesar hanya Rp 460 miliar.

Kami menengarai terdapat oknum-oknum penguasa yang justru memilih memperpanjang KK Freeport tanpa peduli peraturan, kedaulatan dan martabat bangsa. Mereka berlindung dibalik kesepakatan tidak tertulis (non disclosure agreement yang bodong), ancaman gugatan ke arbitrase, ekonomi Mimika dan Papua akan terganggu, kelanjutan tambang bawah tanah akan terkendala, potensi kekalahan di arbitrase, dll. Mereka pun menerima begitu saja penafsiran KK atau sikap ambisius asing untuk tetap dominan, tanpa berupaya memberi argumentasi yang relevan dan memperjuangkan hal terbaik bagi negara. Hal ini menunjukkan sikap oknum-oknum tersebut tunduk dan takluk kepada asing, serta sekaligus “memanfaatkan” alasan-alasan yang diajukan asing guna memperoleh rente.

Pemerintah diingatkan bahwa kebenaran bukan hanya monopoli penguasa, meskipun mempunyai hak untuk berkuasa. Kebijakan dan kesepakatan yang sudah dicapai dengan Freeport saat ini bukanlah kebenaran mutlak yang harus diterima dan didukung begitu saja oleh rakyat. Faktanya, banyak hal yang menunjukkan bahwa hasil negosiasi dengan Freeport sarat dengan pelanggaran hukum/UU dan potensi kerugian negara. UU yang dilanggar termasuk UU Minerba No.4/2009, UU Kehutanan No.41/1999 Jo. UU No.19/2004, UU Lingkungan Hidup No.32/2009, UU BPK No15/2006, dll.

Kami menghargai kerja sama pemerintah dengan pihak asing, termasuk dengan Freeport seandainya KK dilanjutkan dengan penerbitan IUPK. Namun kerja sama tersebut haruslah berdasar pada prinsip-prinsip hukum, kesetaraan dan penghormatan pada Indonesia sebagai negara berdaulat. Kami pun mengingatkan Freeport agar berhenti mengancam Indonesia dengan gugatan ke arbitrase internasional, mengingat kami pun memiliki berbagai catatan buruk dan dugaan KKN yang dilakukan oleh FCX/PTFI yang dapat dijerat dengan Foregin Corrupt Practices Act of 1977 (FCPA) Amerika Serikat.

Merujuk pada Pasal 31 KK Freeport, secara faktual Indonesia memiliki sekian banyak alasan yang sangat wajar untuk tidak memperpanjang KK. Berbagai ketentuan dalam UU Minerba No.4/2009 telah gagal dipenuhi Freeport meskipun renegosiasi KK telah berlangsung sejak 2010. Dalam hal pelaksanaan ketentuan – ketentuan yang diwajibkan dalam KK, Freeport telah merusak lingkungan secara fatal, dugaan penyuapan guna memperoleh perpanjangan KK pada 1991, gagal membangun smelter, gagal melakukan divestasi saham dan terlibat manipulasi penetapan PI Rio Tinto. Hal lain adalah merujuk pada aspirasi masyarakat yang sudah puluhan tahun menuntut tegaknya kedaulatan dan dominasi BUMN di tambang Freeport.

Kami meminta Presiden Jokowi untuk memulihkan kedaulatan negara dengan menegoisasikan ulang kesepakatan dengan Freeport. Kami menuntut Presiden membentuk tim investigasi mengenai berbagai dugaan dan potensi penyimpangan serta pelanggaran selama PTFI beroperasi di Indonesia agar diketahui oleh seluruh rakyat Indonesia demi Indonesia yang lebih bermartabat, adil, makmur dan sejahtera sesuai konstitusi dan cita-cita kemerdekaan.

Dari Kami:
Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan SDA Minerba:
1. Marwan Batubara, IRESS
2. Yusri Usman, CERI
3. Ahmad Redi, KJI
4. Bisman Bakhtiar, PUSHEP

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here