Oleh: Arsula Gultom SH.

Isu independensi penegak hukum ini saya tuliskan setelah mencermati persoalan sengketa hak kekayaan intelektual SBSI.

Selaku kader SBSI yang telah lebih dari tiga dekade dalam memperjuangkan kaum buruh Indonesia, dengan ini Saya menyampaikan protes keras atas “jalan di tempatnya” kasus tindak pidana di bidang hak cipta yang diduga dilakukan Mudhofir dan Edward Marpaung.

Berdasarkan putusan Kasasi Mahkamah Agung Nomor 378 K/ Pdt.Sus-HKI/2015 dinyatakan SBSI merupakan pihak yang berhak secara hukum atas kekayaan intelektual berupa logo, mars dan tridarma. Akan tetapi, putusan hukum tersebut sama sekali tak diindahkan baik oleh Kementerian Ketenagakerjaan dan serikat yang bersengketa dengan SBSI terkait kekayaan Hak Kekayaan Intelektual tersebut.

Malah pihak yang sudah dengan tegas dinyatakan dilarang untuk menggunakan logo mars dan tridarma dalam putusan itu, tetap menggunakan. Ini telah menjatuhkan wibawa hukum.

Atas dasar itu, pada bulan Desember 2015 ketua umum SBSI Prof. Muchtar Pakpahan membuat laporan pengaduan ke Mabes Polri dan dilimpahkan laporan tersebut ke Polda Metro Jaya serta diterima melalui LP nomor LP/5280/XII/2015/PMJ/Dit Reskrimsus melaporkan DEN KSBSI, akan tetapi barulah tiga tahun kemudian yakni tahun 2018 laporan kita ini diproses dengan ditetapkannya Mudhofir dan Edward Marpaung sebagai tersangka dalam tindak pidana di bidang HAKI oleh penyidik.

Nasib penegakan hukum saat ini berada di titik nadir. Setelah sekian lama menanti hasil penyelidikan dan penyidikan oleh kepolisian demi kepastian dan keadilan hukum, kita harus mengelus dada dengan SP2HP oleh polda yang menyatakan akan menghentikan penyidikan (SP3) atas dugaan tindak pidana yang kita laporkan. Dengan kedua orang terlapor tersebut sudah ditetapkan sebagai tersangka.

Kekecewaan ini semakin besar atas kabar beredar Di Rapat pleno DPP SBSI pada 11 januari 2019 dan di Munas SBSI di Hotel Grand Menteng Jakarta tanggal 15 s/d 17 januari 2019 yang mana dalam hal ini dijelaskan oleh Muchtar Pakpahan adanya dugaan kuat praktik intervensi penguasa dalam kasus tersebut.

Penjelasan AKBP S atas perintah Atasannya Kapolda, Kapolda diperintah atasannya Kapolri, kapolri atas perintah atasannya presiden. Sebab ternyata Mudhofir adalah Sekjen Relawan Jokowi (Rejo). Jangan diganggu. Kondisi demikian jelas merupakan bentuk intervensi kekuasaan terhadap penegakan hukum dan bertentangan dengan konstitusi UUD 1945.

Tentang ini secara khusus ditambahkan Muchtar Pakpahan bahwa sekarang Dia terkena penyakit kanker hidung dan leher. menurut Prof. Louis ahli kanker dari Ametika bahwa semua kanker datangnya dari konflik bathin dan logika.

Kanker yang diderita Muchtar Pakpahan adalah ketika munculnya SP3 Mudhofir atas intervensi Presiden Jokowi.

Seperti kanker paru – paru yang dahulu pernah diderita Muchtar Pakpahan adalah timbul ketika keluarnya putusan PK MA yang memenjarakan Muchtar Pakpahan.

Muchtar Menyatakan sudah berdamai, KSBSI dengan (K)SBSI sudah berdamai, Dia sudah pulang dari pemeriksaan di Penang, Dia mohon dukungan doa untuk proses penyembuhan lebih lanjut.

Selaku Sekretaris SBSI Wilayah Sumatera, Saya menyatakan sikap mengecam dugaan intervensi hukum tersebut.

Intervensi hukum adalah sebagai bentuk penghianatan terhadap konstitusi UUD 1945 dalam prinsip negara hukum.

Hukum semestinya menjadi panglima bukan menjadi alat kekuasaan. Hukum berlaku sama di hadapan masyarakat, tidak tajam ke bawah namun tumpul ke atas. Hukum harus tegak setegak tegaknya walaupun langit runtuh.

Arsula Gultom SH, Sekwil Sumatera.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here