HOAKS DAN AGAMA
Oleh Prof. Komaruddin Hidayat
Hoaks (hoax) adalah kebohongan yang terencana untuk mengecoh dan menipu orang.
Bisa berakibat fatal jika hoaks itu membuat orang lain celaka. Lebih parah lagi
apabila hoaks sampai menciptakan konflik
dan peperangan antar kelompok sosial, seperti yang pernah terjadi di Ambon dan Maluku pada tahun 1999.
Yang sangat tragis tentu saja nasib negara Irak akibat hoaks yang diembuskan Colin Powell, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat semasa
Presiden George W Bush, yang menyatakan bahwa Irak memiliki senjata pemusnah massal yang berujung pada penyerangan Amerika Serikat terhadap Irak tanpa persetujuan Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Sampai perang berakhir, dan kondisi Irak hancur, tidak terbukti apa yang dikemukakan Colin Powell. Nasib Irak hari ini sangat mengenaskan akibat korban hoaks.
Pencipta hoaks yang legendaris adalah Adolf Hitler, pemimpin partai Nazi Jerman. Pada 1939, melalui radio nasional, Hitler berpidato bahwa tentara Jerman diserang oleh tentara Polandia
pada pukul 05.45 waktu setempat dan Hitler berjanji untuk membalasnya.
Akhirnya terungkap bahwa berita itu adalah hoaks yang sengaja diciptakan sebagai dalih ambisi dan nafsu Hitler untuk menyerang Polandia.
Kalau berjalan-jalan ke Kamp Auschwitz, kita akan melihat monumen dari kekejian yang dilakukan tentara Nazi di sana.
Lebih keji dari pembunuhan
Dua contoh kasus tersebut dan masih banyak kasus lainnya mengingatkan saya pada Firman
Allah dalam Al Quran yang mengatakan bahwa fitnah itu lebih keji dan lebih berbahaya daripada pembunuhan.
Perbuatan membunuh itu suatu dosa (sin) dan sekaligus merupakan kejahatan sosial (crime).
Pada kasus dan konteks tertentu, fitnah, salah satunya berupa hoaks, korbannya jauh lebih besar daripada pembunuhan terhadap seseorang. Dalam pembunuhan lebih mudah dipersempit pelaku dan korbannya. Namun, hoaks yang sengaja disebarkan untuk menipu massa korbannya juga bisa masif.
Hoaks itu bagaikan virus yang diterbangkan ke udara, yang kemudian beranak pinak sehingga tidak terbilang dan tidak terkontrol lagi jumlah kelipatannya.
Terlebih lagi jika sengaja virus hoaks untuk meracuni pikiran dan emosi masyarakat itu ”diternakkan” dengan teknologi yang canggih dan biaya yang tak terbatas.
Hal ini sangat mungkin terjadi dan dilakukan oleh pekerja politik untuk memenangi sebuah pertarungan pilkada atau pemilu.
Hoaks lalu bermetamorfosis menjadi industri kebohongan dalam jejaring politik kelas murahan atau rendahan.
Produk hoaks ini akan laku dan mudah termakan masyarakat yang tingkat pendidikannya rendah. Terlebih lagi jika hoaks ini dibungkus dengan label yang bernuansa keagamaan.
Sebuah penelitian psikologi sosial mengatakan, masyarakat yang letih dan fanatik dalam beragama lebih mudah termakan hoaks ketika isi hoaks itu sejalan dengan keyakinannya dan memberikan harapan perbaikan hidup.
Perang hoaks
Menjelang pemilu ini virus hoaks bertaburan lalu lalang dalam lalu lintas udara melalui media sosial. Entah siapa yang memproduksi, rakyat awam tidak tahu. Produsen hoaks itu berada di kubu mana, mereka juga tidak tahu.
Apakah mereka aktivis politik atau sekadar mencari uang berdasarkan pesanan, lagi-lagi
rakyat juga tidak tahu.
Saya sendiri pernah mendengar cerita, para pegiat dan kreator hoaks itu sesungguhnya bersahabat,tetapi mereka bekerja untuk bos yang berbeda.
Mereka sengaja menciptakan peperangan fiktif lewat media sosial semata untuk menaikkan pemasukan uang dan mencari kepuasan pribadi ketika produk-produk kebohongannya itu dilahap masyarakat serta menjadi topik bahasan dalam media televisi.
Dalam etika agama dan etika keilmuan, hoaks jelas merupakan kejahatan. Di dunia akademis, tindakan plagiasi termasuk kebohongan yang sangat terkutuk.
Makanya, ketika mengutip pendapat orang mesti mencantumkan catatan kaki yang menyebutkan sumbernya. Dalam tradisi keilmuan, salah itu hal biasa dan dimaafkan asal dia jujur mengakui kesalahannya. Yang dilarang keras adalah melakukan kebohongan.
Dalam agama juga begitu, menebarkan fitnah itu diancam dosa besar. Namun, etika ini kelihatannya sangat lemah dalam dunia politik. Sampai-sampai muncul guyonan di dunia politik yang mungkin sekali masih berlaku, politisi itu tidak boleh salah dan terlihat bodoh.
Untuk menutupi kesalahan dan kebodohannya, jika perlu, dengan berbohong agar tidak jatuh di hadapan rakyat. Mereka tidak segan melakukan kebohongan demi memenangi pertarungan, sekalipun mengorbankan nilai moral dan ajaran agama serta memecah belah masyarakat.
Politik cerdas dan bermartabat
Membicarakan politik yang cerdas dan etis itu bukanlah utopia bagi kita karena dulu bangsa ini pernah memiliki politisi-intelektual yang selalu menjaga standar etika yang tinggi. Politisi seperti Soekarno, Hatta, Nasir, Roem, Soekiman, Agus Salim, dan teman-teman seangkatannya yang berpolitik secara cerdas dan bermartabat. Mereka berbeda agama dan ideologi, tetapi tidak mau menebarkan hoaks dan fitnah untuk menjatuhkan lawan.
Belakangan ini media sosial penuh dengan pengkhotbah agama. Tentu itu perkembangan yang positif. Namun, ketika agama dipelintir dan dimanipulasi semata untuk cuci otak masyarakat, itu juga termasuk hoaks karena
menyembunyikan niat yang tidak tulus.
Kemuliaan agama direduksi. Lewat jendela gawai, kita diajak memasuki labirin gosip politik yang serba remang-remang, pengap, dan tidak mendidik. Realitas dunia yang luas, kompleks, dan indah diperas selebar gawai yang telah ”di-framing” sehingga kita terputus
dari dunia yang otentik dan empiri lalu masuk ke pelataran post-truth. Kita heboh memperdebatkan pseudo-kebenaran.
Prof. Komaruddin Hidayat
Rektor UIN Jakarta