Oleh: Husain Heriyanto

(Seri tulisan merespon esai Denny JA: NKRI Bersyariah atau Ruang Publik yang Manusiawi)

Jika bukan karena tergoda untuk mengapresiasi esai Denny JA berjudul “NKRI Bersyariah atau Ruang Publik yang Manusiawi?” yang cukup menarik, saya sebetulnya enggan membahas sebuah isu yang pengertiannya tidak jelas, seperti NKRI Bersyariah ini. Istilah ‘NKRI Bersyariah’ tidak jelas dan tidak akan pernah jelas secara akademik, entah teologis ataupun sosiologis, karena pengertiannya sendiri memang bermasalah. Kenapa?

Istilah ini merupakan penggabungan dua pengertian dasar, yaitu NKRI dan Syariah. NKRI merujuk kepada pengertian kesatuan entitas negara dalam wilayah tertentu, dengan warganya yang diikat oleh konsensus bersama mengenai ideologi negara (Pancasila) dan konstitusi (UUD 1945), beserta sistem pemerintahannya yang diturunkan dari kedua asas primer negara tersebut.

Sedangkan Syariah adalah salah satu aspek ajaran Islam yang terkait dengan hukum-hukum Allah, yang disampaikan dan dicontohkan oleh Rasul-Nya, yaitu Al-Qur’an dan Sunnah, yang mencakup ibadah mahdhah kepada Allah dan mu’amalah, yang berhubungan dengan sesama manusia dan alam raya.

Makna kedua istilah dasar ini, NKRI dan Syariah, masing-masing sangat jelas, baik secara konotatif maupun denotatif. Namun, ketika digabung dengan menempatkan NKRI sebagai subyek dan Syariah sebagai atribut, maka istilah gabungan ini adalah produk sesat nalar dan sebuah bentuk pelecehan dan distorsi serius terhadap Islam. Alasannya adalah sebagai berikut.

Pertama, pengimbuhan Syariah kepada NKRI menimbulkan makna bahwa NKRI adalah entitas yang tidak mengenal dan mengandung Syariah, dan sebaliknya Syariah merupakan predikat yang baru dan asing terhadap NKRI, sehingga perlu ditambahkan. Ini jelas-jelas ahistoris, yang menunjukkan pembuat istilah ini tidak mengenal sejarah terbentuknya NKRI.

Siapapun yang mau belajar sejarah nasional akan menemukan bahwa negara Indonesia ini merupakan buah wawasan dan pandangan para ulama dan tokoh Islam bersama founding fathers lain. Para ulama dan tokoh Islam sejak dini turut serta memikirkan dan berjuang untuk membangun NKRI, yang terintegrasi dengan nilai-nilai Islam.

“Perumusan nilai-nilai Pancasila saja,” tulis Nurcholish Madjid (Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan, 2013), “tampak hadir unsur-unsur Islam melalui konsep-konsep tentang adil, adab, rakyat, hikmat, musyawarah, dan wakil. Dari contoh yang diambil dari rumusan dasar negara ini dan dari berbagai kata pinjaman dari bahasa Arab lainnya, dapat diketahui bahwa unsur-unsur Islam terpenting dalam budaya Indonesia ialah di bidang konsep-konsep sosial dan politik. Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila seperti ketuhanan, kemanusiaan, persatuan (kebangsaan), musyawarah dan keadilan sosial adalah nilai-nilai yang diajarkan dan dijunjung tinggi oleh Islam.”

Sejarah mengungkap bagaimana Syeikh KH Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama –sebagaimana tokoh Muhammadiyah Ki Bagus Hadikusumo dan tokoh-tokoh Islam lainnya, yang tak bisa disebutkan satu per satu di sini– sejak dini telah memikirkan bagaimana menyatukan Islam dengan keindonesiaan.

Lalu, muncul doktrin yang terkenal: Ĥubbul wathon minal imān (Cinta tanah air sebagian dari iman), yang sangat menggema saat fatwa Resolusi Jihad 22 Oktober 1945. Doktrin ini, sebagaimana diakui oleh sejarawan nasional, sangat berpengaruh besar terhadap integrasi Islam dan nasionalisme, sebagai basis ideologis-teologis pembentukan NKRI berikut proses historis yang mengiringinya, seperti peneguhan Pancasila sebagai dasar/falsafah negara dan UUD 1945 sebagai konstitusi negara.

Atas dasar itulah, Marshall Hodgson, peneliti sejarah peradaban Islam, menyimpulkan bahwa kemenangan Islam di Jawa khususnya, dan Nusantara umumnya, begitu sempurna. Menurut penulis “The Venture of Islam” (1974) ini, Islam telah sedemikian mempengaruhi budaya Indonesia di segala bidang secara menyeluruh dan mengesankan.

Di samping bidang sosial politik kenegaraan, Islam juga sangat mempengaruhi budaya keagamaan Indonesia, seperti yang diekspresikan Martin van Bruinessen (The Tarekat of Naqsyabandiyah in Indonesia, 1989): “The main characteristic and special colour of the long history of Indonesia until today is its Sufism affection. Indonesia is a Sufism-loving country.” (Karakteristik utama dan warna khas sejarah panjang Indonesia hingga hari ini adalah ketertarikannya pada tasawuf. Indonesia adalah sebuah negara yang mencintai tasawuf).

Kedua, pengatributan Syariah kepada NKRI hanya bermakna jika NKRI selama ini tidak mengindahkan ajaran Islam dan kepentingan umat Islam. Inipun tidak sesuai dengan sejarah dan realitas di lapangan. Negara Pancasila ini sejak awal memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada umat Islam, untuk turut membangun bangsa di pelbagai bidang (pendidikan, ekonomi, politik, sosial budaya) dengan berbasiskan ajaran dan tradisi Islam.

Pada era Orde Lama, tahun 1951 Menteri Agama KH A Wahid Hasyim dan Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan Bahder Johan membuat kesepakatan tentang pendirian madrasah ibtidaiyah, madrasah tsanawiyah, dan madrasah aliyah. Ini adalah sebuah keberhasilan strategis yang menyatukan keindonesiaan dan keislaman, yang memberi tempat bagi pendidikan Islam di dalam sistem pendidikan nasional. Pada masa Orde Baru, yang meskipun dikenal represif terhadap umat Islam, terbentuk UU Perkawinan (1973) dan UU Peradilan Agama, yang merujuk pada Syariah.

Pada era Reformasi, Syariah semakin terbuka untuk berperan seperti dalam pengesahan UU Perbankan Syariah, UU Haji, dan UU Wakaf. Lalu, UU Sistem Pendidikan Nasional (2003) memasukkan pesantren ke dalam nomenklatur pendidikan Indonesia, sehingga memberikan peluang lebih luas bagi pesantren untuk mengembangkan diri. Ini sebuah capaian yang sangat strategis untuk kian mengintegrasikan Islam dengan NKRI.

Solahuddin Wahid menulis, “Kini, tampak peningkatan minat masyarakat untuk mengirim siswa ke pesantren dan juga minat untuk mendirikan pesantren. Jumlah pesantren yang pada 1999 hampir 10.000 kini mendekati angka 30.000, yang keseluruhannya adalah milik swasta.” (Harian Kompas, 16 Mei 2017).

Ketiga, pengatributan sebuah pengertian kepada suatu subyek tanpa menambah makna sama saja bermain-main dengan kata, seperti istilah “Tempe berkacang kedelai.” Faktanya, tempe memang mengandung kacang kedelai bahkan terbuat dari kedelai; tidak ada tempe tanpa kedelai. Sama halnya dengan istilah NKRI Bersyariah yang tidak menambah makna apa-apa karena Islam, yang di dalamnya mengandung Syariah, telah terintegrasi dengan NKRI.

Secara tak sadar mereka yang menyuarakan NKRI Bersyariah mengakui fakta ini. Karena, jika merujuk uraian Rizieq Shihab tentang 17 ciri-ciri NKRI Bersyariah, tidak ada yang baru kecuali satu hal, yaitu keinginan menghidupkan Piagam Jakarta (adanya tambahan frase pada sila pertama “kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”), meski tak disebutkan secara eksplisit. Di samping sebuah utopia dan angan-angan yang tak ada gunanya – toh, Islam tengah berkembang pesat di negeri ini– tentu saja keinginan ini sama saja hendak memutar balik sejarah dan berpotensi merusak integrasi bangsa.

Sementara 16 poin lainnya adalah semuanya normatif dan sudah terkandung dalam pengertian NKRI dan Pancasila yang dipraktekkan selama ini. Misalnya, disebutkan NKRI Bersyariah adalah NKRI yang berketuhanan Yang Maha Esa, NKRI yang menjaga persatuan Indonesia, NKRI yang menjamin setiap agama beribadah, NKRI yang anti-korupsi, anti-narkoba dan seterusnya.

Sangat menggelikan dan kekanakan-kanakan, ketika disebutkan NKRI Bersyariah adalah NKRI yang menghormati para ulama dan santri, bukan mengkriminalisasi mereka. Sungguh menyedihkan, ruang lingkup Islam yang demikian luas termasuk mengenai sains dan peradaban – yang sama sekali tak disebut – ternyata dikerdilkan sedemikian sempit dengan rumusan, “jangan mengkriminalisasi ulama.” Apakah karena Rizieq sedang bermasalah hukum dan kabur ke luar negeri, tidak berani menghadapi pengadilan, lalu keluarlah rumusan seperti itu?

Di samping itu, faktanya sendiri betulkah terjadi kriminalisasi ulama? Ratusan pejabat tinggi dan anggota dewan yang terhormat telah dicokok operasi tangkap tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tetapi tidak terdengar istilah kriminalisasi pejabat/anggota dewan. Bukankah Nabi Muhammad SAW bersabda, “Demi Allah yang jiwaku ada di tangan-Nya, seandainya Fatimah putri Muhammad mencuri niscaya aku memotong tangannya” (Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim).

Begitu pula kisah Sayyidina Ali yang kalah dalam pengadilan karena membawa saksi yang tidak diakui oleh hukum formal, padahal Ali secara hukum material benar dan posisi beliau ketika itu adalah khalifah. Inilah Syariah yang sesungguhnya, setiap orang sama di hadapan hukum. Kenapa bukan hal ini yang dimasukkan dalam poin NKRI Bersyariah?

Jelaslah, rincian poin-poin NKRI Bersyariah itu hanya sekedar memperalat kata Syariah untuk kepentingan-kepentingan yang tidak ada hubungannya dengan pemberdayaan dan pencerdasan umat Islam. Mungkin itu sebabnya, kenapa tokoh yang didukung Rizieq sebagai capres/cawapres bukan mereka yang memiliki rekam jejak sebagai tokoh yang mengerti dan peduli Islam, atau mereka yang punya kapasitas sebagai tokoh politik Islam, katakanlah seperti Yusril Ihza Mahendra atau Tuan Guru Bajang.

Jika hanya karena perbedaan pandangan politik atau kekurangan logistik, lalu mereka ini disingkirkan, maka itu pertanda jelas bahwa jargon NKRI Bersyariah itu bersifat kepentingan kekuasaan jangka pendek. Bukan untuk kepentingan Islam atau bangsa secara umum jauh ke depan.

Keempat, terjadi distorsi serius terhadap Islam dan konsep berbangsa bernegara, ketika mengimbuhkan NKRI dengan Syariah. Kenapa demikian?

Menyandingkan NKRI dengan Syariah berimplikasi dua hal: (1) NKRI dipersepsi semata sebuah entitas hukum, karena Syariah secara formal hanya berkaitan dengan hukum; (2) Islam dipersepsi identik dengan Syariah. Jelaslah kedua persepsi ini sebuah pemiskinan dan distorsi terhadap konsep negara dan Islam. Negara tidak hanya melulu berurusan dengan hukum tetapi jauh lebih luas menyangkut bagaimana mencerdaskan bangsa, memajukan tingkat keadaban dan peradaban, membangun nilai kebudayaan, sastra, seni, dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Sementara Islam juga jauh lebih luas dari Syariah, yaitu bagaimana menumbuhkan kesadaran fitrah manusia, mengajak manusia ke jalan Tuhan dengan hikmah (bi’l-ḫikmah), pengajaran yang baik (maw`izhoti-l-ḫasanah), dan berdebat dengan caya yang baik (jādilhum billatīhiya aḫsan) (Qur’an Surat An-Nahl ayat 125). Juga, bagaimana melatih kepekaan spiritualitas umat dan kalbu mereka untuk mencintai Allah dan sesama manusia, menumbuhkan cinta umat kepada ilmu, kearifan dan keadilan, dan senantiasa membina kemuliaan akhlak dan budi pekerti umat, yang merupakan alasan pokok diturunkannya Nabi SAW (Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia).

Nah, paragraf terakhir di atas merupakan salah satu jawaban, mengapa banyak negara berlabel Islam memiliki indeks keadaban yang rendah. Meskipun indeks Islamicity itu terbuka untuk dikritik – misalnya, bagaimana menentukan kriteria kebahagiaan yang kualitatif dan subyektif – namun setidaknya bisa dijadikan barometer kasar untuk mengenali adanya problem kemanusiaan yang serius dalam tubuh umat Islam.

Jadi, salah satu penyebab kondisi itu adalah pemiskinan dan distorsi serius terhadap ajaran Islam, yang telah direduksi hanya menjadi seperangkat hukum-hukum formal tanpa komitmen moralitas dan visi spiritualitas. Padahal, menurut Malek Bennabi asal Aljazair dan Ali Allawi asal Irak, keduanya adalah pakar kebudayaan Islam, moralitas dan spiritualitas merupakan poros utama masyarakat dan peradaban Islam (The Crisis of Islamic Civilization, 2009).

Syariah tanpa akhlak dan kerohanian, bukan saja distorsi, tetapi juga mengoyak pesan sentral Islam itu sendiri. Ini bukan petuah moral belaka yang bersifat voluntaristik, melainkan sebuah tesis ilmiah. Penjelasan sederhananya sebagai berikut.

Karakteristik Syariah, yang berurusan dengan aspek luar dan perilaku manusia, dengan sendirinya menuntut pendekatan formal-legalistik, yang sekaligus mengukuhkan identitas. Sementara aspek moralitas dan kerohanian berkaitan dengan prinsip-prinsip universal yang berlaku untuk semua kalangan, menembus sekat-sekat sektarian dan identitas komunitas.

Sebetulnya manusia, yang terdiri jiwa dan tubuh, membutuhkan aspek dalam (batin) dan aspek luar (zhahir) sekaligus. Syariah tanpa moralitas dan spiritualitas adalah ibarat badan tanpa jiwa, sebaliknya spiritualitas tanpa syariah seperti jiwa tanpa badan.

Masalah timbul tatkala agama diperalat untuk kepentingan politik, karena dapat dipastikan hanya aspek lahiriah agama atau penguatan identitas kelompoklah yang akan dikedepankan, karena politik membutuhkan diferensiasi. Sementara pesan-pesan moral dan kerohanian justru mencari integrasi, titik temu, keharmonisan kosmik, dan persaudaraan metafisis. Jalaluddin Rumi bersyair:

Tatkala kebeningan dimangsa warna, Musa berselisih dengan Musa

(Matsnawi I, baris ke 2467)

Sebuah syair yang sangat indah dan sarat makna, ketika Rumi hendak melukiskan bagaimana Nabi Musa sekalipun, andai dia jatuh ke dalam warna (simbol identitas, atribut partikular), dia akan berselisih dengan kebeningan fitrah dirinya sendiri yag universal.

Spiritualitas menyingkap benang-benang interrelasi dan interkoneksi antar segala sesuatu yang dalam pandangan awam/biasa tampak selalu terhijab. Pengalaman rohani mendorong seseorang untuk menemukan titik-titik temu alih-alih mencari-cari perbedaan. ***

*Husain Heriyanto adalah dosen Filsafat Ilmu, Etika, dan Sains & Peradaban Islam pada Program Master Studi Islam Universitas Paramadina. Ia juga Direktur IC-THuSI (International Center for Thoughts on Human Sciences in Islam) dan Vice President CRVP (Council for Research in Values and Philosophy).

Ia adalah alumni S2 dan S3 Departemen Filsafat Universitas Indonesia. Menulis sejumlah buku, di antaranya “Menggali Nalar Saintifik Peradaban Islam” (Jakarta, 2011). Pernah dan sedang mengampu sejumlah mata kuliah: Logika, Epistemologi, Ontologi, Sejarah Filsafat Yunani, Sejarah Filsafat Islam, Sejarah Filsafat Barat modern, Kalam Jadid (Teologi Islam Modern), Relasi Sains dan Agama, Filsafat dan Metodologi Ilmu Pengetahuan, Filsafat Lingkungan, dan Tasawuf.

-000-

Tulisan Denny JA soal NKRI Bersyariah atau Ruang Publik Yang Manusiawi dapat dibaca di https://www.facebook.com/322283467867809/posts/1919263768169763/

Tulisan Husein Heriyanto di atas berasal dari https://www.facebook.com/322283467867809/posts/1966143003481839/

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here