Oleh: Muhsin Labib
Sejak dahulu dusta merupakan bahan favorit dalam arena perebutan kekuasaan. Dalam sejarah Islam hadis-hadis maudhu’ alias teks-teks palsu (yang mencatut nama mulia Nabi) telah menciptakan petaka besar, membunuh karakter para pemikir kritis dan pejuang tulus, menewaskan ribuan Muslim yang dikafirkan hanya karena berbeda haluan dengan para tiran dinasti-dinasti korup dan mewariskan ketegangan sektarian hingga detik ini.
Sabda-sabda hoax dicetak secara massif dan sistematis hingga jumlahnya melebihi sabda-sabda asli yang merupakan sumber kedua agama sehingga umat pun tak mampu memilah dan membedakannya.
Industri hadis maudhu’ telah berkembang pesat hingga tak hanya mencetak teks palsu dengan konten pesanan berupa penganugerahan hak istimewa kepada pihak-pihak tertentu dan penyebaran ujaran kebencian dengan pengkafiran serta vonis zindiq namun juga menciptakan sederet perawi fiktif dalam semua urutan masa.
Dusta yang disakralkan dengan label hadis bersanad abal-abal, karena didistribusikan oleh sentra-sentra yang menjadi BUMN dinasti-dinasti, mengakar kuat menjadi doktrin final yang menciptakan teologi fatalisme dan fanatisme sektarian. Selanjutnya seiring bergulirnya daur masa, teks-teks abal-abal berhasil menggusur prinsip-prinsip rasional yang merupakan jantung ajaran suci agama.
Tak hanya teks ucapan dan perawi abal-abal diciptakan, industri hoax juga menghadirkan fragmen-fragmen sejarah fiktif dan kisah heroik imajinal yang dilekatkan pada tokoh-tokoh elit tanpa jejak jasa dan prestasi nyata.
Doktrin takdir dengan makna yang mencerabut hak memilih sumber ajaran agama dan menentang kezaliman adalah salah satu produk unggulan industri hoax dalam sejarah umat.
Salah satu korban agung industri hoax para penguasa dinasti-dinasti yang menjajah umat adalah tokoh paling berjasa dalam mengawal Nabi Muhammad, yaitu Abu Talib, paman beliau yang diabadikan dari masa ke masa di mimbar-mimbar umat di seantero wilayah Islam sebagai contoh pembangkangan terhadap ajaran keponakan sekaligus anak asuhnya.
Industri hoax tak hanya mencetak teks palsu, perawi fiktif dan sejarah abal-abal juga mengubah karakter faktual para pelaku sejarah namun juga menjamah keagungan Nabi dengan aneka dongeng tak logis dan tak selaras dengan kesuciannya seperti kisah sihir, gosip bermuka masam dan puluhan sejenisnya.
Teks-teks palsu yang bertebaran dalam banyak mauskrip dan kitab-kitab referensial riwayat dan sejarah telah memberi secara gratis kepada para pembenci bahan untuk mencemooh dan menghina ajaran suci ini. Salah satunya adalah Salman Rushdie yang mengolok-ngolok Nabi teragung dengan dongeng “Gharaniq”.
Hadis-hadis maudhu yang kadang disebut “Isra’iliyyat” juga “Umawiyyat” bukan isu ekslusif dan tak identik dengan sebuah mazhab atau kelompok tertentu. Para ahli hadis dan analis “Rijal” telah bersepakat tentang faktanya seraya berupaya dengan ragam metode sesuai pandangannya masing-masing menangkal serta mensortirnya.
Dahulu hoax yang dibungkus dengan sanad dan dianggap hadis bisa memfaktualkan yang fiktif dan memfiktifkan yang faktual sepanjang masa, karena mempertanyakannya bisa dituduh oleh dinasti-dinasti despotik sebagai penodaan dan mendustakan Sunnah atau anti Salaf. Namun kini kesadaran tentang pentingnya peran akal dalam memfilter info-info seputar agama telah merata dalam masyarakat dengan ragam mazhab dan cenderungannya.
Dari sini kita bisa mengetahui bahwa hoax bukan hasil kreasi manusia modern dan bukan salah satu produk “peradaban” zaman now, tapi seusia sejarah manusia. Kita juga bisa tahu bahwa tendensi utama di balik fabrikasi dusta adalah pembodohan demi merampas kekuasaan dan mempertahankannya. (Andi Naja)