Reportase : Rintahani Johan Pradana
Mahasiswa Pascasarjana Universitas Negeri Malang

ALAM Madura yang cenderung terbuka bagi aktivitas bahari pada akhirnya juga mengajak manusia untuk berinteraksi dengan alam. Sisi lain yang tak hanya bersinggungan dengan aktivitas mengembangkan layar dan jala, namun mampu menghidupkan denyut nadi warga Madura juga tersaji di sana. Menyulap air laut menjadi butiran-butiran garam, sebuah keterampilan tersendiri yang telah menjadi identitas pulau dengan empat kabupaten ini.

Selama ratusan tahun warga Madura masyhur dengan kemampuan mengolah air laut menjadi butir-butir garam. Namun kini, seolah gaungnya tiada terdengar lagi. Perjalanan panjang menjejak Madura yang saya lakukan, nuansa pulau garam tiada sekuat dulu. Ironi bagi bangsa yang luas wilayah lautnya melebihi tanah tempat bangunan dan tanaman tumbuh.

Dari Surabaya menuju Sumenep, sebuah kisah terdengar dari tempat bernama Kalianget. Salah satu wilayah di ujung timur Madura yang menyisakan cerita panjang dari kemasyhuran Madura sebagai ladang garam. Di sana pernah berdiri tempat pengolahan garam yang sudah digagas sejak masa pendudukan Hindia Belanda.

Kisaran akhir abad ke 19 dan menuju gerbang abad ke 20, modernisasi telah coba menyentuh aktivitas pengolahan garam di Madura. Meski demikian, jalan warga Madura untuk menghasilkan garam dengan cara tradisional masih dapat ditemui. Pemerintah Hindia Belanda kemudian mengambil langkah untuk mengembangkan industri garam di Kalianget.

Memasuki dekade 1970an, industri garam warisan pemerintah kolonial yang telah dinasionalisasi oleh pemerintah, masih menunjukkan gaungnya. Seiring program swasembada yang dicetuskan pemerintah kala itu, produksi garam seolah juga menjadi aspek yang musti ditingkatkan.

Sayang, tantangan kebutuhan yang membeludak, membuat garam Madura harus bersaing dengan guyuran butiran garam dari negeri seberang.

Saksi Bisu

Gedung yang menjadi saksi kejayaan industri garam di Kalianget, kini lebih akrab dengan vegetasi tanaman liar. Menjadi bulan-bulanan zaman dan mungkin suatu saat bisa saja tinggal puing-puing reruntuhan.

Robbiansyah, mahasiswa jurusan sejarah menuturkan, kini gedung bekas aktivitas industri garam itu lebih banyak memainkan peran sebagai tempat kegiatan warga. “Kadang digunakan untuk tempat bermain badminton,” ucapnya.

Ada beberapa desa di sekitaran Kalianget yang masih melanjutkan proses produksi garam. Di antaranya Karanganyar, Kertasada, dan Pinggirpapas atau kerap disebut Girpapas. Geliat produksi garam mungkin sudah tak sebanyak dulu. Namun julukan sebagai ladang garam melekat pada kawasan di bagian timur Pulau Madura ini.

Ladang garam di sekitaran Kalianget bisa saja berjumpa dengan senjakala kejayaanya. Hal yang tentu tak diinginkan terjadi. Butuh langkah kongkret guna meningkatkan swasembada produksi garam dengan membekali dan memberikan pendampingan terhadap petani garam.

Tentu menjadi kebanggan bagi seluruh anak negeri bila mampu berdikari dengan hasil dari tanahnya sendiri. Hikayat kemasyuhran ladang garam di masa silam merupakan modal moril untuk membangkitkan kembali kejayaan Madura sebagai tanah garam. Karena ada harapan yang tersimpan dari hamparan ladang garam.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here