Oleh: Muchtar Pakpahan

Tadi, Rabu 9 Januari 19 jam 08.00 saya dan isteri (Rosintan Marpaung) naik grab dari rumah duren sawit ke kantor di Tanah Tinggi.

Dari logatnya supir grab bernama Walid itu adalah kental dialeg Maduranya. Tulisan ini berawal dari pertanyaan sederhana, sudah berapa lama bapak di Jakarta. Kami berdua banyak mendengar dan inilah pernyataannya.

1. Baru dua tahun tinggal di Jakarta. Tadinya keluarganya bertani garam. Petani garam Madura tidak mendapat perhatian dari Presiden Jokowi. Buktinya pemerintah lebih senang mengimport garam. Sebenarnya tidak susah memproduksi garam, tetapi karena sdh lama tidak ada perhatian pemerintah, keadaan berubah dari sejak Belanda pengeksport garam, sekarang gila – gilaan pengimport garam. Kami sengsara ditambah lagi pembodohan yang dialami Mahfud MD.

2. Kami sebagai orang Madura khawatir dengan keadaan sekarang, membawa agama menjadi bahan kampanye untuk kekuasaan. Tidak ada pembicaraan untuk membantu kesejahteraan petani seperti kami petani garam. Kami takut dengan keadaan sekarang, Indonedia bisa seperti Syria dan Irak.

3. Lihatlah nanti paling banter 20% Madura memilih Jokowi-Ma’ruf. Dan mohon Bapak dan ibu dukung kami jangan memilih Jokowi-Ma’ruf.

Sepanjang jalan dia bicara, saya menjadi pendengar dan Rosintan sekalisekali menimpali. Pengamatan saya sebagai pelanggan grab bike dan car sejak Oktober 2018 ditambah info dari pengemudi grab anggota SBSI, rata-rata pengemudi grab bersikap seperti Walid.

Saya menuliskan ini sebagai ilmuwan dengan maksud saya menginfokan ke TKN No 01 atau ke BPN no 02 agar memperhatikan suara mereka.

Menurut yang saya rekam, penduduk Jakarta lapisan bawah terutama penerima upah di swasta atau pemerintah honorer atau PPPK mayoritas bersikap sama.

Kalau dari pihak yang bijak akan memakai info ini menjadi bahan perbaikan. sebaliknya kalau dari yang kurang/tidak bijak akan menyikapinya dengan yang aneh-aneh. Saya berharap tulisan ini disikapi dengan bijak.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here