Ia adalah serapan dari bahasa Parsi, ustad (استاد) brasal dari ایستادن, berarti berdiri, lalu diarabkan dengan ditambahkan titik pada dal (استاذ).
Dalam bahasa Parsi dan Arab, kata ini berarti profesor, pengajar dengan kualifikasi tinggi dalam sebuah displin, ilmu alam, humaniora dan agama.
Selain berarti gelar akadenik, kadang ustad jadi gelar personal pemikir terkemuka seperti Muthahhari. Penceramah di sana belum tentu ustadz.
Ustadz (gurubesar) tidak diberikan publik karena pandai melawak atau tampan tapi ia adalah gelar akademik yang diraih dengan prosedur kejenjangan.
Sebagai profesi, penyandang gelar ustadz tidak niscaya ahli agama. Ahli agama yang nenyandangnya pun tidak niscaya menjadi panutan spiritual.
Kata ulama (plural dari alim) berarti “berilmu” yang dalam bahasa Arab modern berarti ilmuwan. Dalam pustaka Islam, alim berarti ahli agama.
Dalam masyarakat Syiah, setiap alim pasti ahli agama dalam bidang tertentu. Demikian juga sebutan rohani/Mulla yang semula berasal dari Maula.
Jenjang dan hierarki keulamaan dalam masyarakat Syiah selalu terpelihara generasi demi generasi melalui prosesi dan upacara pengukuhannya.
Dalam masyarakat ushuli, jenjang dimulai dari pelajar agama tingkat tertentu dst yang diharuskan menguasai pengantar ilmu-ilmu instrumental, rasional dan ekstual.
Ulama muda atau pelajar agama (thalabah) menyandang gelar Tsiqatul Islam diharuskan menyelesaikan strata dasar disebut Muqadimat selama beberapa tahun.
Pada level ke-2, disebut Suthuh (plural dari. سطح) diharuskan mempelajari ilmu-ilmu tekstual dan rasional secara komprehensif & analitik.
Bila lulus ujian, ia bisa melanjutkan, dia diperbolehkan naik ke jenjang Bahts Kharij. Gelarnya adalah Hojjatul Islam wa Muslimin.
Bila bisa melewati jenjang ini melalui serangkaian ujian, ia bisa menyandang gelar Ayatullah. Ia pada tahap ini berhak berijtihad.
Dengan semua proses yang melelahkan itu, di Indonesia orang atau beberapa orang leluasa mngklaim diri ulama tanpa ujian dan tanda bukti kompetensi.
Banyak yang mengklaim diri sebagai ustadz ulama juga intelektual lalu mengeluarkan license to kill dipatuhi publik tanpa diketahui prestasinya.
Di Iran ada mahkamah khusus ulama yang mengadili figur agamawan yang diadukan atau didakwa melakukan pelanggaran legal dan moral.
Ada juga semacam Majelis Ulama bukan untuk mensesatkan sesama umat, tapi berfungsi sebagai lembaga perumus kode etik juga pemberi sanksi anggotanya.
Pelanggaran moral berbeda dengan pelanggaran legal. Sanksinya juga berbeda bergantung pada jenis perbuatan, posisi publik dan luas dampaknya.
Ustadz disini menjadi pilihan terakhir yang paling mudah saat profesi-profesi yang memerlukan syarat kompetensi dan sebagainya tidak diperoleh.
Karena profesi ini tidak diperoleh karena kelulusan tes moral dan intelektual, posisi tawarnya lemah dan rela jadi penghibur, bukan pencerah.
Karena ia memerlukan panggung, ia harus mengikuti selera pasar,mematuhi rating, pasrah diarahkan, dibedaki, disuruh melucu, menangis dan sebagainya.
Keustadzan dan event-event keagamaan bisa pisitif dan bisa negatif. Ia bisa jadi industri yang mmproduksi relijiusitas ngepop, funny dan menghibur.
Banyak tipe ustadz produk pasar yang masing-masing punya retorika andalan; retorika cengeng, retorika cabul, retorika marah, retorika jenaka dan sebagainya.
Sekarang muncul edisi baru, yaitu ustadz dengan retorika dusta dan provokasi. Ia mengajak umat mensesatkan dan mengkafirkan pengucap 2 syahadat.
Di luar tipe-tipe di atas, alhamdulillah kita masih bisa menemukan ustadz-ustadz yang tidak melucu terus atau nangis melulu, mngajarkan cinta sesama.
Inilah ustadz-ustadz asli. Ia punya integritas, mengarahkan umat, tidak diarahkan management, santun tapi tegas, berwibawa tapi tidak sombong.
M. Quraisy Shihab, meski tidak harus sepakat dengan sebagian pendapatnya, menurut saya adalah contoh ustadz asli di Indonesia.
Masyarakat yang cerdas bisa membedakan penghibur & pencerah, pemersatu dan penebar benci meski sorbannya radial dan jubahnya ala superman.
“Jadi ulama (ustadz) tidak sesulit jadi manusia.” [Sa’di]
Bila seorang yang diberi panggung sebagai ustadz laris, memperagakan sikap negatif, mungkin yang paling layak disalahkan adalah pasar modal.
Ia memang salah karena melakukan tindakan buruk. Tapi dia juga bisa dianggap korban. Dengan rekayasa media, orang tidak pandai agama tiba-tiba ngetop.
Karena memperoleh ketenaran luas melebihi ekspektasi (juga kompetensi)nya, sesorang bisa lupa diri. Ketenaran itu terlalu berat baginya.
Ia tersungkur oleh ketenaran itu. Yang melejitkannya itupun yang menjatuhkannya. Ia tidak jatuh ke level ustadz tidak tenar tapi di bawahnya.
Apa yang diperolehnya ternyata tidak sepadan dengan yang diambil darinya. Kini kejatuhannya menjadi komoditas media. Tapi dia tidak sendirian.
Yang turut jatuh dan hancur berkeping-keping adalah atribut mulia itu. (Andi Naja FP Paraga)