oleh: Puthut EA
Saya sebetulnya tidak terlalu kenal Unggun. Hanya kenal muka saja. Bahwa dia berusaha berbuat baik dan ramah dengan saya, itu soal lain. Mungkin sejenis rasa ingin menghormati senior.
Hingga kemudian suatu malam, dia datang ke kos saya bersama Kardono. Mereka membawa minuman keras. Jelas ini bukan hal biasa. Setelah gelas berputar sekian kali, baru Kardono menjelaskan maksud kedatangan mereka berdua.
Sebelum saya lanjutkan kisah ini, sedikit saya bentangkan latar-belakang cerita ini. Kardono dkk anak Filsafat angkatan 1998. Kecuali Jimmy, dia Filsafat angkatan 1999. Tapi Jimmy lulus sekolah tahun 1997. Dia menganggur dua tahun. Sebetulnya tidak menganggur. Karena kebetulan dia kenal baik dengan Bagor, maka saya agak tahu Jimmy. Lebih tepatnya, dia dua tahun jadi anak jalanan alias gali di Kotagede. Namanya sangat terkenal waktu itu. Baru kemudian setelah merasa bosan hidup di jalanan, dia ikut UMPTN dan masuk Filsafat tahun 1999.
Tahun ketika Kardono dkk masuk kampus adalah tahun di mana saya nyaris tak pernah berada di kampus. Saya balik ke kampus tahun 2001. Salah satu orang yang paling saya kenal di kampus bernama Fendry Ponomban. Dia anak Filsafat tahun 1994, setahun di atas saya. Saya kenal dekat dengan Fendry karena dia dulu Sekjen KPRP. Saya adalah penggantinya. KPRP ini kemudian melebur dengan berbagai organisasi mahasiswa lain di seluruh Indonesia membentuk LMND. Karena saya diberi mandat sebagai ketua Presidium, maka saya pun lebih sering meninggalkan kampus. Tahun 2001, ketika agenda Reformasi sudah mentok, saya balik lagi ke kampus.
Di fase itulah saya kembali bertemu Fendry, dan dia sudah dikelilingi belasan sosok ganjil. Termasuk Kardono dkk. Maka di kepala saya, Kardono dkk adalah kader Fendry.
Balik ke situasi di kos saya, ketika Kardono dan Unggun datang, setelah gelas berisi vodka gepengan sekian kali berputar.
“Thut, ini Unggun mau konsultasi soal asmara.” kata Dono.
Saya tentu saja kaget. Saya ini mantan orang gerakan. Masak diajak konsultasi soal asmara. Tapi melihat muka Unggun yang unik, dan cara tertawanya yang aneh, saya akhirnya mencoba lapang dada mendengarkan persoalan yang mereka bawa.
“Bos, aku lagi naksir anak Sastra Prancis…” ucap Unggun. Saya kira, dia satu-satunya orang yang paling sering memanggil saya dengan panggilan ‘bos’. Panggilan yang tidak biasa di waktu itu. Karena itu kurun ketika sesama orang menyebut dengan sebutan: coy, bung, kawan, dll.
“Terus?”
“Situ kan pernah pacaran sama anak Sastra Prancis…”
“Terus?”
“Bagi kiat-kiatnya lah, Bos…”
Kardono tiba-tiba memotong. “Thut, aku wis ngomong neng Unggun. Cinta, rindu, sayang, iku terlalu rumit untuk dia. Dheke ki kan sakjane cukup dengan ngaceng. Peradabannya tidak cukup untuk mengenal pacaran dan sebagainya.”
“Don, koen meneng wae. Nggatheli.”
Saya lupa ngomong apa waktu itu. Tapi intinya, Unggun pulang dengan puas. Kardono pulang dengan cemas.
Benar, tidak lama kemudian, saya mendengar Unggun berhasil mengajak bribikannya keluar, nonton acara musik di kampus Filsafat. Sialnya, sepanjang konser berlangsung, si cewek justru asyik ngobrol dengan cowok lain. Unggun tidak digape sama sekali. Menyaksikan itu semua, teman-teman Unggun di kampus akhirnya menggelandangnya. “Nggun, wis kowe ki ra sah pacaran. Mbalik njaga parkiran wae. Kae tenagane cah-cah kurang…” ucap Jimmya, antara ingin menghibur Unggun sekaligus ingin mengembalikan kesadaran atas realitas hidupnya.
Beberap bulan kemudian, Unggun datang lagi diantar Kardono ke kos saya. Kali ini, setelah meletakkan botol minuman, sebelum gelas diputar, dia sudah langsung bertanya, “Bos, nek situ tau gak pacaran karo cah Farmasi?”
Saya menggelengkan kepala. “Nek cah kedokteran gigi, wis tau, Nggun. Piye?”
“Halah wis padha wae iku, Bos. Pokoke ya mambu-mambu obat dan praktikum. Piye carane ngentukke pacar cah Farmasi?”
Saya juga lupa apa yang saya katakan waktu itu. Tapi yang jelas, tidak lama kemudian Unggun berhasil punya pacar anak Farmasi. Itu era di mana Unggun penuh percaya diri kalau ke kampus. Pacarnya selalu diajak ke kampus. Dikenalkan ke teman-temannya.
Tapi itu pun tidak berlangsung lama. Kejadian tragis menghampiri nasib Unggun. Dia menghilangkan sepeda motor pacarnya. Ceritanya, dia meminjam motor pacarnya lalu mabuk-mabukan di kampus. Kemudian Unggun membeli minuman lagi bersama Akbar dan Anton. Akbar boncengan dengan Anton, dan Unggun naik sepeda motor sendiri. Begitu balik lagi ke kampus, mereka boncengan bertiga. Dan mereka baru menyadari keesokan harinya. Sampai sekarang, Unggun masih tetap tidak habis pikir kenapa berangkat naik motor sendiri, dan pulangnya mereka cenglu.
Pacarnya marah. Tapi yang lebih parah lagi, kakak pacarnya. Si kakak rupanya sudah lama tidak setuju adiknya pacaran dengan Unggun. Unggun ditantang duel senggel satu lawan satu dengan kakaknya. Sebagai petarung, Unggun tentu saja berani. Namun menimbang bahwa dia memang bersalah, juga rasa sayang sama pacarnya, Unggun tidak mau melayani tantangan duel itu. Unggun akhirnya menjual sepeda motornya, meminta orangtuanya menambah uang, lalu mengganti sepeda motor pacarnya. Urusan selesai? Tidak. Begitu pacarnya dapat sepeda motor baru, si cewek lalu memutus hubungan dengan Unggun. Sempurna sudah. Pacar ilang, sepeda motor juga ilang.
Mungkin karena kejadian inilah, kelak nasib Unggun bergantung pada jualan sepeda motor.
Setelah kejadian itu, Unggun tak pernah lagi datang ke kos saya. Kami biasa bertemu di kos Kardono. Suatu saat, ketika kami sedang bertemu, iseng saya bertanya kepadanya: “Nggun, pacarmu saiki sapa?”
“Ada, Bos. Ayu. Apikan. Calon perawat.”
Cerita Unggun dibenarkan oleh Kardono cs. “Ya akeh-akeh bersyukur, Nggun. Aladene wong kaya kowe, kok ya isih ana sing gelem…” ucap saya agak ngguyoni.
“Wajah tak penting, Bos. Dia melihat kebersihan jiwaku.”
Belum ada sebulan setelah pertemuan itu, nasib Unggun kembali remuk. Ketika pacarnya wisuda, kedua orangtuanya datang dari Pekanbaru. Unggun diperkenalkan oleh sang pacar kepada kedua orangtuanya. Besoknya, sang pacar langsung bilang minta putus karena kedua orangtuanya tidak setuju dan meminta agar segera pulang kampung.
Unggun curhat kepada kami semua sambil minum anggur orangtua bersloki-sloki. “Benar, ternyata hidup ini tidak adil.”
“Maksudmu apa, Nggun?” tanya Kardono penasaran.
“Lha kuwi atas dasar apa wongtuwane mantanku kok kon anake mutus hubungan ro aku?”
“Lha kan jelas. Anake ayu, sementara kowe remuk. Bocahe nduwe masa depan, kowe lulus wae rung karuwan. Tur nek lulus ya ra ngerti meh kerja apa. Justru nek kowe rabi ro mantanmu kuwi, itulah yang disebut ketidakadilan. Paham ra kowe, Nggun?” tanya Kardono sengak.
Unggun mecucu. Lalu setengah berteriak dia berkata, “Orangtua yang adil dan bijaksana hanyalah anggur cap orangtuaaaa!”
Puthut EA: penulis asal Jogjakarta,aktivis 98